Global Witness, dan Tahun Mengerikan untuk Aktivis
https://www.naviri.org/2017/12/global-witness-dan-tahun-mengerikan-untuk-aktivis.html
Naviri.Org - Ketika terjadi konflik antara negara dengan warga, umumnya akan muncul para aktivis yang membantu para warga dalam menghadapi masalah yang terjadi. Khususnya konflik yang terjadi karena masalah penggusuran. Pemerintah bisa jadi ingin membangun sarana tertentu di lahan milik warga, sementara warga menolak dan berupaya mempertahankan lahan milik mereka.
Keberadaan para aktivis dalam konflik semacam itu penting, karena beberapa hal.
Pertama, karena pendidikan. Umumnya, para aktivis datang dari kampus atau lembaga tertentu, yang memiliki pengetahuan lebih luas dibanding para warga (masyarakat biasa), sehingga setidaknya para aktivis bisa memberi bantuan pengetahuan dan advokasi kepada warga mengenai kasus yang mereka hadapi.
Kedua, sebagai dukungan moral. Bagaimana pun, keberadaan para aktivis yang membantu warga ketika bermasalah dengan negara akan memberi dukungan moral kepada warga bersangkutan, sehingga mereka tidak merasa sendirian.
Ketiga, memperluas jangkauan. Ketika warga berkonflik dengan pemerintah, bisa jadi masalah itu terlokalisir, dalam arti tidak sampai terdengar secara luas. Entah karena memang lokasi yang menjadi masalah berada di tempat terpencil, atau bisa pula karena hal tersebut ditutup-tutupi sebagian pihak. Dengan adanya para aktivis yang membantu warga, kabar mengenai konflik itu akan lebih mudah terdengar dunia luar, karena para aktivis biasanya memiliki jaringan luas, termasuk jaringan ke media.
Dengan latar belakang itu, keberadaan para aktivis dalam setiap masalah yang terjadi antara warga dengan pemerintah menjadi penting. Setidaknya, mereka akan membantu memastikan bahwa pemerintah tidak melanggar hak yang dimiliki oleh warga negara.
Sayangnya, perjuangan para aktivis tersebut kadang tidak mudah. Dalam beberapa kasus, mereka sampai harus menghadapi penangkapan, pidana, dan kekerasan, bahkan kematian.
Menurut laporan bersama The Guardian dan Global Witness pada Oktober 2017, jumlah korban tewas akibat konflik agraria di tengah gempuran industrialisasi dan ekspansi perusahaan mencapai 153 orang di tiga benua. Itu termasuk Ruben Arzaga dari Filipina dan Elías Gamonal Mozombite dari Peru. Keduanya ditembak mati saat mempertahankan hak kedaulatan atas tanah.
Billy Kyte dari Global Witness mengatakan kematian Ruben Arzaga dan Gamonal Mozombite adalah bukti "skala krisis mencapai taraf memprihatinkan", ketika upaya-upaya perlindungan maupun penegakan hak milik lahan menghadapi serbuan pemerintah maupun perusahaan global.
“Statistik menunjukkan tahun 2017 adalah tahun mematikan bagi individu-individu di garis terdepan perlindungan hak atas tanah,” katanya, sebagaimana dilansir The Guardian.
Global Witness mencatat, setiap tahun grafik korban tewas akibat konflik lahan semakin naik. Pada 2016, ada 200-an aktivis hingga pimpinan adat terbunuh. Angka itu sangat mungkin dilewati pada tahun ini, menyusul perusahaan-perusahaan global maupun pemerintah belum mau berupaya secara riil menyelesaikan kasus-kasus lahan.
“Para investor punya darah di tangan mereka. Seharusnya mereka tidak berinvestasi dalam proyek yang terkait pelanggaran HAM,” ujar Kyte, yang menyebut proyek-proyek seperti pertambangan, agrobisnis, hingga pembangunan-pembangunan dengan dalih "untuk kepentingan umum."
Laporan Global Witness menyebut bahwa Brasil, Kolombia, dan Filipina sebagai "tempat paling berbahaya untuk kasus konflik agraria."
Di Indonesia, menurut catatan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), organisasi payung nonpemerintah tingkat nasional yang berdiri sejak 1994, sengketa agraria mencapai 450-an sepanjang 2016. Mayoritas muncul dari sektor perkebunan (163), properti (117), infrastruktur (100), kehutanan (25), tambang (21), migas (7), pesisir-kelautan (10), dan pertanian (7).
Baca juga: Pusaran Konflik Agraria, dari Indonesia Sampai Vietnam