Upaya Mengawasi dan Mengontrol Warga Lewat Data DNA
https://www.naviri.org/2017/12/data-dna.html?m=0
Naviri.Org - Pemerintah di berbagai negara sepertinya memiliki ambisi yang terus membesar dalam upaya mengawasi dan mengontrol warganya. Mereka ingin tahu bagaimana riwayat hidup orang per orang, pendidikannya, pekerjaannya, penghasilannya, dan lain-lain, demi tujuan pengawasan dan pengontrolan. Dalih yang digunakan untuk tujuan itu biasanya berkisar dari upaya menanggulangi kejahatan dan terorisme, atau semacamnya.
Yang menjadi masalah, upaya berlebihan pemerintah dalam mengawasi warga kadang sampai melanggar hak privasi warganya sendiri. Karena pengawasan dan kontrol yang terlalu ketat, warga jadi kehilangan privasi. Contoh dalam hal ini adalah upaya pengawasan dan kontrol yang dilakukan pemerintah Cina, khususnya pada warga yang tinggal di Provinsi Xinjiang.
Setelah memberlakukan berbagai larangan yang bersifat diskriminatif, seperti kaum adam dilarang berjanggut panjang atau kaum hawa dilarang berjilbab, hingga larangan penggunaan beberapa nama tertentu pada bayi, kini privasi warga di Provinsi Xinjiang, Cina, kembali terusik dengan adanya program pemerintah berupa pengumpulan sampel DNA.
Sejak pertengahan tahun 2017, kabar pengumpulan sampel DNA di wilayah yang menjadi rumah bagi 11 juta umat Muslim itu mulai santer terdengar. Pemerintah setempat mulai mengeluarkan sejumlah dana yakni $8,7 juta guna membeli berbagai peralatan untuk melakukan analisis sampel DNA.
Kini pengumpulan sampel DNA pun sudah mulai dilakukan melalui pemeriksaan kesehatan kepada warga yang berusia 12 hingga 65 tahun. Data yang dikumpulkan dari warga yang mayoritas berasal dari etnis Uighur itu berupa golongan darah, sidik jari, hingga iris mata.
Berdasarkan laporan Human Rights Watch, ada pembagian tugas dalam menjalankan program ini. Anggota atau kader Partai Komunis dan polisi bertanggung jawab untuk mengumpulkan foto, sidik jari, dan iris mata. Sedangkan otoritas kesehatan mengumpulkan sampel DNA dan golongan darah.
Sampel DNA yang terkumpul akan dikirim ke biro kepolisian untuk disimpan dan dicocokkan dengan nomor identitas nasional seseorang. Sehingga tak hanya data diri warga yang akhirnya disimpan pihak kepolisian, namun juga data biometrik warga Xinjiang.
Guna menyukseskan program tersebut, pemerintah meyakinkan warga bahwa skema pemeriksaan bertujuan mendapatkan data mengenai populasi dan kondisi warga yang berguna untuk mengevaluasi serta memperbaiki kebijakan pengentasan kemiskinan.
Menurut beberapa laporan, tak dapat dipastikan apakah warga setempat mengetahui pemeriksaan kesehatan yang mereka jalani berkenaan dengan pengumpulan data biometrik. Hingga November lalu, sudah 18.8 juta warga melakukan tes.
Pengumpulan DNA bukan hal baru di Cina. Sejak 1989, sudah 40 juta sampel DNA yang diperoleh pemerintah yang tersimpan dalam database Forensic Science DNA Database System atau National Public Security Agencies DNA Database Application System. Ini menjadi database DNA terbesar di dunia dibandingkan AS yang hanya memiliki 12,8 juta, dan Inggris sebanyak 5,2 juta.
Namun data-data itu merupakan kompilasi dari DNA warga biasa dan pelaku tindak kejahatan. Sedangkan yang diterapkan di Xinjiang berlaku bagi semua warga, termasuk warga Xinjiang yang berada di wilayah lain. Xinjiang menjadi provinsi pertama yang menerapkan program pengumpulan DNA ini.
Melihat program pemerintah yang kerap tak acuh dengan privasi dan hak asasi warga, langkah ini pun ditentang oleh lembaga HAM seperti Human Rights Watch. Menurut kelompok tersebut, pengumpulan sampel DNA dan data biometrik di provinsi yang berada di Barat Cina itu sebagai sebuah pelanggaran HAM, karena data tersebut merupakan privasi warga.
”Xinjiang merupakan kawasan yang tertindas dengan berbagai level pemantauan. Mengumpulkan informasi dalam skala masif yang tidak ada hubungannya dengan investigasi kriminal membuka pintu untuk melakukan pemantauan dan pengawasan yang lebih besar,” kata Peneliti di Human Rights Watch, Maya Wang, dalam pernyataannya, seperti dikutip dari The Independent.
Pengumpulan sampel DNA ini juga memicu kekhawatiran warga Uighur. Pemerintah dapat menggunakan data yang dihimpun untuk mencocokkan DNA pelaku kejahatan, sehingga keluarga atau orang terdekat pelaku mudah diketahui. Imbasnya, dua pihak terakhir ini akan diawasi lebih ketat.
Kekhawatiran lainnya, data-data pribadi itu jatuh ke tangan pihak yang tidak bertanggung jawab, dan disalahgunakan. Dalam laporan Vice, data DNA dalam database mungkin berpotensi mengundang tindak kejahatan seperti peretasan, namun akan lebih berbahaya jika jatuh ke tangan orang yang dikenal.
Dr. Robert Green, direktur penelitian Genomes to People dari Brigham and Women's Hospital, mencontohkan bahwa DNA yang berisi riwayat penyakit bisa digunakan oleh kompetitor dalam sebuah perusahaan. Si kompetitor bisa saja memanfaatkan informasi tersebut untuk menyarankan kepada pihak perusahaan, bahwa rekannya tak layak bekerja di perusahaan tersebut.
"Anda bisa terlibat dalam perebutan hak asuh ketika DNA mampu memperlihatkan kecenderungan penyakit kejiwaan, misalnya," kata Green.
Ann Cavoukian, pengelola Privacy and Big Data Institute di Ryerson University, Kanada, mengibaratkan bahwa ketika seseorang mengetahui atau mengakses data genetika, ia sebetulnya sedang menelanjangi orang lain.
Di beberapa negara, misalnya di Amerika Serikat, proses pengumpulan sampel DNA juga dilakukan, terutama kepada pelaku kejahatan atau korban kecelakaan. Beberapa orang tua juga kerap melakukan pemeriksaan DNA anaknya yang masih balita, guna mendeteksi penyakit sedini mungkin.
Di beberapa wilayah, seperti Minnesota dan Texas, para orang tua dapat meminta pihak kepolisian untuk menghancurkan data DNA anaknya, ketika sudah tak dibutuhkan lagi dalam pemeriksaan lanjutan. Kebijakan setempat memperbolehkan hal tersebut dilakukan demi menjaga privasi sang anak. Namun, tak semua wilayah AS memberlakukan aturan yang sama. Di beberapa negara bagian lain, masih sulit untuk memusnahkan data DNA sang bayi.
Sayangnya, dalam UU di Cina tak ada pedoman atau hukum terkait data DNA yang dikumpulkan pemerintah.
"Pengumpulan DNA secara massal oleh polisi Cina, serta absennya perlindungan privasi yang efektif atau sistem peradilan independen, sangat rentan disalahgunakan," kata Direktur HRW Cina, Sophie Richardson.
Sebelum Cina melakukan pengumpulan sampel DNA secara keseluruhan di wilayah Xinjiang, sebenarnya Kuwait menjadi negara pertama di dunia yang menjalankan program sejenis. Pada 2015, negara di Teluk Persia itu mengumpulkan DNA dari 1,2 juta warganya, dan 2,9 juta pendatang. Siapa pun yang tak menyerahkan sampel DNA akan dikenai dakwaan kurungan satu tahun penjara, serta denda hingga $33.000. Barang siapa yang memberikan sampel DNA palsu dapat dipenjara selama tujuh tahun.
Program ini dilakukan sebagai langkah preventif terhadap kejahatan dan terorisme, yang marak terjadi di berbagai belahan dunia. Para turis yang mengunjungi Kuwait tak hanya wajib memperoleh visa, tapi juga harus menyertakan data DNA, agar bisa masuk ke negeri tersebut.
Berbeda dengan Cina, Pemerintah Kuwait meyakinkan warganya dengan membuat kebijakan khusus, yaitu DNA Law 78/2015. Aturan itu melingkupi proses pengumpulan DNA hingga proses penyimpanan. Pemerintah juga menjamin data DNA tidak akan digunakan untuk mendeteksi garis keturunan dan/atau rekam jejak medis.
Sedangkan di Cina, minimnya regulasi yang seharusnya menjadi pertimbangan pemerintah sebelum memberlakukan sebuah program, menjadi kekhawatiran bagi penduduk minoritas Xinjiang. Berkaca dari berbagai tindakan represif dan kontrol yang kerap dilancarkan pemerintah Cina, program pengumpulan DNA tak lebih dari sebuah model kontrol baru terhadap setiap warga Xinjiang.
Baca juga: Sistem Pengawasan Paling Mengerikan di Dunia