Guncangan Bisnis Ritel, dari H&M Sampai Zara
https://www.naviri.org/2017/12/bisnis-ritel.html
Naviri.Org - Dunia ritel sedang menghadapi awan kelabu. Entah karena daya beli yang turun atau karena faktor lain, yang jelas terjadi masalah pada dunia ritel di hampir semua negara. Bisnis-binis ritel yang semula meraksasa tumbang satu per satu.
Semula, sebagian pihak menyatakan bahwa tumbangnya bisnis ritel karena kalah bersaing dengan toko online atau e-commerce di internet. Namun, yang jelas, guncangan bisnis ritel belum juga berakhir. Satu per satu peritel mesti bersiasat, sebelum terjungkal lebih dalam.
Peritel H&M, misalnya. Pada Jumat (15/12/2017), peritel asal Swedia itu mempublikasikan hasil penjualan tiga bulanannya. Laporannya tak begitu menggembirakan, penjualan sebelum pajak merosot 4 persen menjadi 50,4 miliar kronor Swedia (sekitar 6 miliar dollar AS).
Saham H&M juga terseok hingga 16 persen, penurunan paling tajam sejak Maret 2001. Lantas, apakah kondisi serupa juga dialami peritel raksasa lainnya, yakni Zara?
Beberapa hari sebelum H&M mengumumkan hasil kinerjanya, Zara juga melansir kondisi perusahaannya. Kala itu, Rabu (13/12/2017), Inditex sebagai pemilik merek Zara, melaporkan perlambatan tumbuhnya penjualan pada kuartal ketiga 2017.
Seperti diwartakan Reuters, penjualan Zara antara bulan Agustus hingga Oktober memang naik 6 persen dibandingkan tahun sebelumnya, menjadi 6,3 miliar Euro (sekitar 7,4 miliar dollar AS).
Namun, angka pertumbuhan tersebut menurun dari 9,2 persen pada kuartal sebelumnya, atau 11,6 persen dibandingkan tahun lalu. Sementara itu, laba bersih peritel Spanyol itu naik tipis 2,7 persen menjadi 975 juta Euro.
Cuaca lebih dingin di Eropa pada bulan November menjadi angin segar bagi Zara untuk menebalkan pundi-pundinya. Mereka mengklaim, penjualan di sekitar 7.500 toko fisik dan juga situs daring meningkat 13 persen, antara 1 November hingga 1 Desember lalu.
Sejumlah analis mengatakan, keuntungan yang diraih Zara selayaknya tak membuat peritel tersebut jemawa. Sebab, bisnis Zara amat sensitif terhadap fluktuasi Euro.
Untuk diketahui, sebagian besar pakaian Zara diproduksi langsung di Eropa demi merespons secara cepat perubahan tren fesyen. Namun, lebih dari separuh penjualan produk Zara justru terjadi di negara-negara luar Eropa.
Memang, model bisnis yang dijalankan membuat Zara mampu mengungguli pesaingnya, misalnya H&M. Dengan mempertahankan basis manufaktur dekat dengan pusat distribusi di wilayah Galicia di utara Spanyol, Zara dapat memajang desain baru hanya dalam beberapa minggu.
Hal itu berbeda dengan H&M yang produksi barangnya lebih dominan dilakukan di negara berkembang, seperti Kamboja dan Bangladesh.