Mencari Akar Masalah Kekerasan pada Perempuan
https://www.naviri.org/2017/12/akar-masalah-kekerasan-pada-perempuan.html
Naviri.Org - Kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan seperti menjadi berita yang tak pernah henti. Satu kasus muncul, ditangani, lalu muncul kasus lain. Kasus-kasus semacam itu bisa beragam, dari yang ringan sampai yang berat, di wilayah domestik maupun di lingkungan lebih luas.
Kenyataannya, masalah kekerasan terhadap perempuan bisa terjadi di mana saja, dan dalam bentuk yang beragam. Dari kasus KDRT (kekerasan dalam rumah tangga), kasus kekerasan dalam hubungan pacaran, dan lain-lain.
Gambaran besar atas kasus kekerasan ini tercatat dalam Laporan Tahunan Komnas Perempuan 2017. Ada 259.150 kasus kekerasan terhadap perempuan yang tercatat sepanjang tahun lalu. Kekerasan di ranah personal (keluarga) masih menempati angka tertinggi.
Pengadilan Agama menyebutkan 245.548 kasus kekerasan terhadap istri berujung perceraian. Sementara ada 10.205 kasus yang ditangani lembaga mitra di ranah personal. Di peringkat kedua, ditempati kekerasan di ranah komunitas, mencapai 22 persen atau 3.092 kasus. Dan terakhir kekerasan di ranah negara sebanyak 305 kasus.
Negara mengabaikan kerja domestik
Di Indonesia, stereotip dalam kasus kekerasan seksual adalah korban kerap dianggap ambil bagian sebagai pihak yang bersalah (contoh yang sering dipakai: korban mengenakan pakaian minim atau terbuka).
Baik perempuan yang menggunakan pakaian terbuka atau tidak, mereka bisa menjadi korban pelecehan verbal di jalan. Salah satu penyebab mengapa kejahatan seksual atau pelecehan verbal bisa terjadi adalah cara pandang laki-laki Indonesia terhadap perempuan.
Cara pandang laki-laki terhadap perempuan terbentuk, salah satunya, karena relasi yang mendomestifikasi peran perempuan. Misalnya, periode berburu-meramu yang menggambarkan lelaki berburu sementara perempuan tinggal di rumah untuk mengurus si anak.
Kondisi biologis perempuan saat menjadi ibu menjadi sumber makanan utama dari si bayi. Oleh karena itu, laki-lakilah yang kemudian harus pergi mencari sumber makanan untuk memberikan makanan kepada sang istri. Paradigma ini tidak berubah dan terjadi di banyak tempat. Laki-laki dianggap bertugas sebagai pemberi nafkah dan perempuan yang mengurus rumah tangga.
Ibu rumah tangga sebagai pekerjaan
Sherry B. Ortner dalam "Is Female to Male as Nature Is to Culture?" (Woman, culture, and society; 1974) menjelaskan mengapa posisi perempuan dalam ranah domestik seringkali dianggap lebih rendah dibanding laki-laki yang bekerja di luar rumah untuk mencari nafkah.
Menurutnya, kebanyakan masyarakat seringkali menilai hal-hal yang tampak (atau terlihat di depan mata mereka). Laki-laki yang bekerja di luar lebih punya nilai di mata masyarakat karena interaksinya lebih besar dibanding sang istri yang bekerja sebagai ibu rumah tangga.
Padahal, jika kita memandang ibu rumah tangga sebagai pekerjaan, hal ini akan mempunyai nilai lebih. Nilai lebih ini dapat kita lihat pada bagaimana seorang ibu merupakan seseorang yang menjadi sumber utama dalam mereproduksi dan membentuk individu selanjutnya. Ibu adalah seseorang yang pertama kali memberikan pengetahuan kepada anaknya dan, dalam skala yang lebih besar, juga turut berperan dalam membentuk karakter si anak.
Bahkan, dalam satu kajian khusus tentang peran pengasuhan, ekonom feminis Nancy Folbre memberi nilai pada apa yang disebutnya sebagai “ekonomi perawatan” (economics of care).
Folbre menulis, bahwa kerja mengasuh anak dan merawat orang lansia/sakit, yang biasanya dilakukan oleh perempuan dalam keluarga, selama ini tak dipandang sebagai kerja produktif. Ia tak dianggap punya nilai dalam perekonomian, tak masuk dalam hitungan Produk Domestik Bruto (PDB) nasional yang dipakai sebagai tolok ukur keberhasilan ekonomi suatu negara.
Bangunan stereotip perempuan mesti tunduk pada laki-laki dibuktikan dalam survei PBB pada 2013. Laporan "Why Do Some Men Use Violence Against Women and How Can We Prevent it?" menunjukkan setidaknya 40 persen responden menganggap perempuan mesti rela mengalami kekerasan agar keluarga tetap bisa bertahan. Rata-rata 97 persen responden meyakini perempuan mesti tunduk pada suami dalam keluarga.
Laporan itu menyebut ada 21,1 persen pria Papua setuju wanita ada kalanya pantas dipukul. Di kota yang diwakili Jakarta, ada 4,9 persen pria beranggapan demikian. Adapun di pedesaan (Purworejo), ada 8,5 persen laki-laki beranggapan wanita boleh dipukul. Papua dipilih karena "secara budaya berbeda dengan daerah Indonesia lain, dan Papua adalah salah satu tempat untuk program bersama PBB dalam eliminasi kekerasan terhadap perempuan dan anak, yang dilaksanakan oleh UN Women, UNFPA, dan UNICEF."
Baca juga: Hollaback, Gerakan untuk Perempuan Berani Bicara