Daftar Perusahaan Rintisan yang Gulung Tikar
https://www.naviri.org/2017/11/startup-yang-gagal.html
Naviri.Org - Perusahaan rintisan atau yang juga populer disebut startup sedang marak di negara mana pun. Tren ini dipicu oleh karena adanya startup yang berhasil sukses, dan menjadi perusahaan besar dengan omset miliaran dolar. Prestasi semacam itu menjadi semacam iming-iming bagi banyak orang untuk melakukan hal serupa. Sayang, membangun startup hingga sukses ternyata tidak semudah khayalan.
Menjelang pembukaan Indonesian E-Commerce Summit and Expo (IESE), misalnya, perusahaan rintisan bidang e-commerce Shopious mengumumkan tutup. Menurut pendiri Shopious, Aditya Herlambang, tutupnya Shopius bukan karena mereka kehabisan dana atau tidak bisa mendapatkan penyuntik modal.
Dalam penuturannya di layanan blog Medium, Aditya membeberkan perusahaan itu masih punya banyak dana dari angel investor. Namun, menurutnya, ekosistem perusahaan rintisan di Indonesia mengecewakan. Pasalnya, e-commerce tidak berkompetisi dengan kualitas produk tapi dengan banyaknya bonus yang memanjakan konsumen, seperti layanan diskon, pembebasan ongkos kirim, hingga perang harga. Alhasil, mereka yang bertahan adalah yang membakar uang paling banyak.
Akhirnya, perusahaan rintisan yang baru berumur 2,5 tahun itu tutup. Mereka gulung tikar. Investasi yang sudah ditanamkan mereka kembalikan kepada investor.
Indonesia memang menjadi magnet buat pemain e-commerce global. Dengan ranah media sosial yang riuh, bisnis e-commerce memang tampak empuk. Apalagi dengan penetrasi internet yang masih sepertiga dari jumlah penduduknya. Peluangnya masih terbuka luas.
Mundurnya Shopious ini bukan yang pertama kali di gelanggang e-commerce. Sebelumnya, beberapa perusahaan juga pada lenyap. Entah tutup, atau hengkang dari Indonesia. Berikut ini, mereka yang keluar dari pasar Indonesia.
1. Rakuten
E-commerce dari Jepang ini masuk ke Indonesia lima tahun lalu. Mereka menggandeng MNC group sebagai mitra. Nahas, kongsi ini pecah dua tahun sesudahnya.
Saat itu, Presiden Direktur dan CEO Rakuten Belanja Online, Ryota Inaba, menyebut penyebab perceraian itu karena adanya "perbedaan filosofi". Mereka yakin dengan bermain sendiri, manuver akan kian elastis.
"Dengan memiliki seratus persen saham di Rakuten Belanja Online, kami bisa melakukan banyak hal, dan kami bisa tumbuh cepat," ujarnya di sela acara Rakuten Expo 2013 di Jakarta.
Tiga tahun jalan sendiri, Rakuten akhirnya pergi. Mereka mundur dari Indonesia per 1 Maret 2016. Tak jelas apa alasan mereka hengkang. Prediksi yang meramalkan pertumbuhan e-commerce tak membuat mereka betah untuk tetap beroperasi di Indonesia. Domain Rakuten.co.id kini sudah dialihkan ke Rakuten Global. Mereka menggantikannya dengan Rakuten Global Market, yang berpusat di Ichiba, Jepang.
2. Lamido
Lamido digawangi oleh raksasa internet asal Jerman, Rocket Internet. Tapi ini juga bukan jaminan. Didirikan pada 2013, Lamido mencoba menantang Tokopedia dan Bukalapak. Johan Antlov, Direktur Utama Lamido saat itu, optimistis melihat pasar Indonesia.
Johan mengaku melihat potensi yang luar biasa di sektor e-commerce di Indonesia, terutama melihat bagaimana penjual menggunakan situs jejaring sosial untuk berjualan. Mereka fokus pada produk elektronik, busana, dan aksesori untuk pasar menengah-bawah.
Tapi, nasib berkata lain. Rencana menyasar pasar menengah bawah tak terjadi. Selain bersaing dengan rival, Lamido juga bersaing dengan saudaranya sesama anak usaha Rocket Internet, Lazada. Pada Maret 2015, Lamido akhirnya digabungkan dengan Lazada.
3. Paraplou
Perusahaan rintisan ini awalnya bernama Vela Asia. Didirikan pada 2012, Paraplou mengkhususkan diri pada produk busana, sesuai dengan potensinya yang besar di Indonesia. Mereka bahkan menyasar kelas premium. Awal 2015, mereka mendapatkan dana US$1,5 juta dari pemodal ventura asal Singapura, Majuven.
Tapi, tak sampai setahun dari terima uang itu, mereka akhirnya lempar handuk. Dalam pengumuman resminya, menajemen portal yang bermain di produk busana premium ini terpaksa menutup layananannya lantaran kondisi pemodalan. Mereka menilai pasar e-commerce untuk produk branding tengah bertumbuh, tapi ekonomi global tengah bergolak. "Kami terpaksa menutup layanan karena kondisi permodalan," tulis manajemen Paraplou dalam pengumumannya.
4. Valadoo
Mengkhususkan diri pada layanan travel dan gaya hidup, Valadoo didirikan pada penghujung 2010. Co-Founder Jaka Wiradisuria menuturkan awalnya mau membuat situs daily deal, tapi akhirnya bergeser fokus ke ranah travel. Dua tahun berjalan, ada pendanaan masuk dari Wego.
Namun karena model bisnis tak jelas, mereka tak melihat ke arah mana Valadoo akan berlabuh. Biaya pemasaran yang tinggi membuat mereka putar otak. Hasilnya, pada 2014, mereka merger dengan Burufly, media sosial yang mengunggulkan foto wisata. Namun merger ini tak juga menolong. Teknologi yang berbeda membuat integrasi fitur yang mereka bayangkan tak berjalan. Mereka akhirnya tergulung ombak pada 30 April tahun lalu.
5. Inapay
Inapay adalah startup yang menyediakan rekening bersama (escrow) dalam transaksi daring. Selama tiga tahun beroperasi, Inapay telah memproses 29.466 transaksi. Mereka mengumumkan tutup pada Januari 2015.
Padahal, saat baru setahun beroperasi, penggunanya mencapai 25 ribu orang. Pemodal Ventura East Venture, bahkan sempat menyuntikkan dana. Di tahun 2014, mereka menargetkan pelanggan berlipat hingga dua kali. Sayangnya rencana tersebut tidak berhasil.
Mereka tak menjelaskan alasan tutup. Namun, dalam pengumumannya, mereka menyebut banyak tantangan dalam dunia escrow yang belum terpecahkan, mulai dari edukasi sampai regulasi yang sampai saat ini menjadi tantangan terbesar.