Hikayat Si Unyil, Kisah Legendaris Anak Indonesia
https://www.naviri.org/2017/11/si-unyil.html?m=0
Naviri.Org - Anak-anak Indonesia pada era 1980-an memiliki serial televisi kesayangan, yaitu Si Unyil. Tokoh yang diperankan boneka ini memiliki penampilan kalem, dengan peci di kepala, dan sarung yang biasa diselempangkan di tubuhnya.
Unyil punya beberapa teman, di antaranya Usrok, Ucrit, dan lain-lain. Sementara di luar mereka ada tokoh-tokoh unik lain, di antaranya Pak Raden yang galak tapi baik, Bu Bariah yang punya logat khas, sampai Pak Ogah yang suka tidur di pos ronda dan senang minta “cepek dulu”.
Dalam serial boneka legendaris itu, suara Pak Raden diisi pencipta karakter Si Unyil, yakni Drs. Suyadi. Menurut catatan Apa dan Siapa Sejumlah Orang Indonesia 1985-1986 (1986), suara Suyadi mirip Dursasana dan Burisrawa, jika marah akan mirip Baladewa dalam kisah pewayangan (hlm. 1089). Tak semua orang bisa bersuara seperti itu.
Dia kerap memperkenalkan diri sebagai Raden Mas Singomenggolo Jalmowono. Raden Mas ini lahir di Puger, Jember, Jawa Timur, tepat 85 tahun lalu pada 28 November 1932. Secara garis keluarga, Suyadi memang keturunan raden. Ayahnya pernah jadi patih di zaman kolonial Hindia Belanda. Jadi sah-sah jika ia mengaku diri sebagai "Pak Raden".
Meski karakter Pak Raden dimusuhi anak-anak dalam filmnya, Suyadi yang asli mampu menjadi kawan yang baik dalam latihan baris-berbaris. Pada 1942, ketika umurnya 10 tahun, balatentara Jepang menduduki Indonesia. Sejak umur 10 hingga 13 tahun, Suyadi merasakan masa jelang remaja di zaman pendudukan Jepang. Waktu itu, baris-berbaris menjadi keharusan di sekolah-sekolah. Ia merasakan sendiri bagaimana rasanya berada dalam gemblengan fasis Jepang.
Suyadi kecil doyan menggambar. Pensil warna akrab dengannya sejak bocah. Selain hobi gambar-menggambar, dia juga suka membuat patung dari tanah liat atau lilin. Dia sering membayangkan diri memainkan ciptaannya sambil menembang. "Saya waktu kecil bercita-cita jadi dalang," katanya dalam Apa dan Siapa Sejumlah Orang Indonesia (hlm. 1089).
Setelah dewasa, dia malah tak jadi dalang. Gelar Doktorandus-nya diperoleh dari jurusan Seni Rupa ITB dan sempat jadi dosen luar biasa di almamaternya. Dia pernah berkeinginan memiliki studio animasi dan film boneka. Selain itu, melanjutkan kegemaran menggambarnya dari kecil, dia pembuat ilustrasi cerita anak sejak kuliah.
Ia pernah terpilih sebagai ilustrator buku anak terbaik dalam acara Tahun Buku Internasional 1972. Setelah tiga tahun ia belajar perfilman di studio Prancis, Les Cineastes Associes dan di Les Films Martin Boschet, dia menjadi art director yang ikut memproduksi film seperti Lampu Merah, Pemburu Mayat, Kabut di Kintamani, dan Cobra.
Mengenai kelahiran serial boneka si Unyil, semua tak hanya karena Suyadi. Selain Kurnaen Suhardiman, yang menggarap skenarionya, ada pula pemikiran perwira tinggi bernama Gufran Dwipajana dalam tiap-tiap episodenya.
Media propaganda Orba
Siapa Gufran Dwipajana? Waktu Gerakan 30 September 1965 (G30S) dibabat, Gufran adalah pemimpin redaksi harian Berita Yudha dan Sapta Marga. Berita Yudha termasuk segelintir koran yang bisa terbit setelah 1 Oktober 1965.
Menurut Harsya Bachtiar dalam Siapa Dia Perwira Tinggi TNI-AD (1988), Brigadir Jenderal ini adalah mantan tentara pelajar (hlm. 105). Sejak 1950-an, dia perwira pers Pusat Penerangan Angkatan Darat di Jawa Tengah. Akhir 1950-an, Soeharto adalah Pangdam di sana.
Sejak 1978, Gufran dijadikan Direktur Pusat Produksi Film Negara (PPFN) merangkap Asisten Menteri Sekretaris Negara. Kala itu, Menteri Sekretaris Negara dijabat Sudharmono.
“Ketika ia mulai memimpin PPFN, 1978, perusahaan milik negara itu masih acak-acakan dalam segala hal, terutama disiplin,” tulis Apa dan Siapa Sejumlah Orang Indonesia (hlm. 204).
Seperti Suyadi, Gufran Dwipajana alias Dipo juga kelahiran Jember. Dipo, yang lahir pada 12 Desember 1932, bersekolah dasar di Malang, sementara Suyadi di Surabaya. Suyadi adalah bocah beruntung yang bisa sekolah di sekolah dasar elit Europeesche Lagere School (ELS).
Di masa Dipo memimpin PPFN, Suyadi ditunjuk jadi art director dari 1969 hingga 1977. Selama masa itu, dia lebih senang mengurung diri di studio berukuran 8x8 meter milik PPFN. Dia merasa lebih bisa menjadi dirinya: tukang gambar. Di ruangan art director itulah dia mengembangkan karakter dan perwajahan tokoh-tokoh dalam serial boneka Si Unyil.
“Semuanya dibuat berdasarkan skenario yang digarap Kurnaen Suhardiman, (yang dianggap) Bapak Film Boneka Si Unyil,” catat Apa dan Siapa Sejumlah Orang Indonesia (hlm. 1090).
Menurut Phillip Kitley dalam Television, Nation, and Culture in Indonesia (2014), Unyil yang pertama kali tayang 5 April 1981 itu adalah proyek kebudayaan nasional pemerintah Indonesia. Karakter bocah tersebut digunakan sebagai "agen penting sosialisasi politik dan kebudayaan melalui pengembangan seri boneka anak-anak” (hlm. 112). Serial yang diproduksi 603 episode ini perlahan menjadi program televisi yang paling banyak ditonton orang Indonesia.
“Semula memang serial boneka itu dikerjakan sebagai hiburan untuk anak-anak. Ke dalam kisahnya itu disisipkan pesan-pesan pemerintah. Jadi semacam pelajaran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila buat anak-anak,” aku Dipo seperti dikutip majalah Tempo (31/10/1981), dan belakangan oleh Phillip Kitley dalam makalah berjudul "Pancasila in The Minor Key: TVRI's Si Unyil Models the Child" di jurnal Indonesia nomor 68 (Oktober 1999).
Di masa Dipo memimpin PPFN, selain serial boneka Si Unyil, lembaga film milik negara ini juga memproduksi film Penumpasan Pengkhianatan G 30 S PKI (1983), Serangan Fajar (1981), Djakarta 1966 (1981), dan Kereta Api Terakhir (1981). Film-film tersebut sama legendarisnya dengan serial boneka Si Unyil, yang diproduksi dalam rangka media belajar anak-anak untuk memahami Pancasila dan, tentunya, propaganda pemerintah.
Baca juga: Fakta-fakta Menarik di Balik Teletubbies