Kisah Para Selebriti yang Berkiprah di Balik Industri
https://www.naviri.org/2017/11/selebriti-di-balik-industri.html
Naviri.Org - Nama tenar seorang selebriti umumnya bisa dimanfaatkan untuk keperluan kampanye, dari kampanye produk tertentu sampai kampanye partai tertentu. Selain itu, ketenaran seorang selebriti, yang ditunjang kemampuan atau skill tertentu, bisa membawanya ke dunia industri yang membutuhkan.
Bagaimana pun, seorang selebriti dekat dengan aneka hal, khususnya industri fashion dan industri hiburan, dan kedekatan itu tentu memberinya pengetahuan yang tidak dimiliki kebanyakan orang. Jika diolah secara kreatif, pengetahuan terkait fashion atau hiburan semacam itu bisa digunakan untuk menunjang bisnis di suatu industri.
Seperti Agnez Mo, misalnya, ia ditarik untuk ikut mengembangkan e-commerce bernama LYKE. Perusahaan itu dibangun pada 2015, di Singapura, dan baru masuk pasar Indonesia pada Februari 2016.
Agnez pun tertarik mengembangkan minat bisnisnya di dunia teknologi. Ia bukan cuma sekadar bergabung, tapi langsung ditarik ke kursi direksi sebagai Chief Creative Officer (CCO) LYKE. Kabar itu diumumkan Kamis, 26 Oktober 2017, bersamaan dengan peluncuran fitur Image Search—fitur terbaru yang digagas e-commerce itu. Konon, fitur tersebut bermula dari gagasan Agnez memanfaatkan teknologi kecerdasan buatan (Artificial Inteliigence/AI) dan deep learning.
Fitur itu sederhananya diciptakan untuk mempermudah cara pencarian para konsumen dalam aplikasi LYKE. Tanpa harus mengetik, seseorang dapat mencari pakaian yang diminatinya dengan memasukkan referensi foto.
Selain menempati posisi CCO, Agnez juga didapuk sebagai co-founder terbaru mendampingi nama Bastian, sang CEO, sebagai representasi LYKE.
Didapuknya selebritas ke kursi direksi sebuah bisnis digital bukan kabar baru. Sehari sebelumnya, perusahaan teknologi musik asal Inggris ROLI, mengumumkan nama CCO baru mereka yang ditempati musisi dan produser musik dari Amerika Serikat, Pharell Williams. Sama seperti Agnez, Pharell juga didapuk sebagai co-founder, karena akhirnya juga menaruh saham pada perusahaan yang dimasukinya.
Pada Mei lalu, Jared Leto adalah selebritas lain yang juga ditarik startup teknologi bernama Fandor. Vokalis Thirty Seconds to Mars dan aktor kawakan ini juga ditunjuk sebagai CCO setelah perusahaan miliknya, VyRT, yang dibangun 2011 silam melebur dengan Fandor.
Sebagai pelanggan lama Fandor, Jared mengapresiasi pemrograman Fandor yang berbeda dari yang lain. Unsur manusia yang membedakan Fandor dari banyak layanan lainnya.
"Dengan keterlibatan saya dalam bisnis penyiaran dan platform sosial selama lebih dari lima tahun dengan perusahaan saya, VyRT, saya sangat menantikan kolaborasi ini dan tahu bahwa saya bisa menghadirkan perspektif yang unik [untuk itu],” ungkap Jared seperti dikutip dari Movie Pilot.
Bukan cuma Agnez, Pharell, dan Jared yang memulai cerita ini. Tren mendapuk para selebritas ke kursi direksi dan memberi jabatan CCO sudah didahului Trent Reznor dengan Apple Music, Nick Cannon dengan RadioShack, atau will.i.am dengan 3D System, sebuah perusahaan percetakan.
Dengan nama jabatan sedikit beda, tapi deskripsi kerja yang mirip, Alicia Keys juga sudah memulainya dengan BlackBerry, Lady Gaga dengan Polaroid, Gwen Stefani dengan HP, serta Solange Knowles dan Rihanna dengan Puma. Mereka mendapuk jabatan Creative Director.
Bahkan will.i.am, sang penggagas grup musik The Black Eyed Peas juga pernah mendapuk jabatan itu untuk Intel. Bedanya, CCO adalah posisi tertinggi di divisi kreatif sebuah perusahaan, sementara seorang Creative Director masih punya atasan yang duduk di kursi direksi, kecuali Alicia Keys, yang merupakan Global Creative Director BlackBerry yang bekerja setara CCO.
Namun, apa sebenarnya yang dilakukan direktur-direktur kreatif selebritas ini? Apakah mereka benar-benar bekerja untuk perusahaan yang mempekerjakan mereka, atau malah cuma membiarkan nama mereka dicatut demi gaji tunai yang lumayan?
Jawabannya tak bisa digeneralisasikan.
Seperti Agnez yang menelurkan fitur Image Search untuk LYKE, para CCO ini umumnya dituntut terus berinovasi untuk perusahaan. Gwen Stefani membuktikan dedikasinya dengan menjadi bintang iklan HP sekaligus memproduksi “HP Photosmart R607 Harajuku Lovers Digital Camera” dalam edisi terbatas karena cuma dicetak 3 ribu unit. Lady Gaga juga mendesain kacamata Polarez GL20s untuk Polaroid. Meski kontrak Gwen dan Gaga tak berlangsung lama, masing-masing cuma menempati posisi itu selama setahun saja.
Dipilihnya para selebritas untuk posisi itu biasanya juga mempertimbangkan sifat kreativitas mereka sebagai seniman. Namun, dalam praktiknya, tak semua nama itu menunjukkan cerita sukses sebagai pemegang kursi CCO di sebuah perusahaan.
Sebagai Global Creative Director, Alicia Keys kabarnya bekerja baik dalam menggagas kerja kreatifnya di BlackBerry. Pada New York Times, bahkan ia menyebut perangkat ponsel yang paling menambat hatinya adalah milik perusahaan itu. Namun, sebuah kicauan Alicia di Twitter tertangkap diketik menggunakan iPhone pada 2013 lalu. Alih-alih meminta maaf, ia malah mengklaim diretas. Ujungnya, kontrak Alicia diputus BlackBerry.
Cerita Nick Cannon, mantan suami Mariah Carey sekaligus mantan pembawa acara America’s Got Talent, juga menarik. RadioShack, perusahaan yang didatanginya untuk bekerja sebagai CCO justru bangkrut dalam dua tahun kepengurusannya.
Digadang-gadangnya Agnez, Jared, dan Pharell untuk perusahaan masing-masing dibawa dengan nada positif. Purrer sendiri yakin kalau hadirnya Agnez akan membawa angin segar pada pengembangan e-commerce mereka. Sementara Pharell dan Jared yang memang punya pengalaman berbisnis sebelumnya justru dianggap selebritas yang tepat untuk mengembangkan perusahaan masing-masing.
Di Indonesia sendiri, selebritas lain yang sudah lebih dulu duduk di kursi CCO di perusahaan e-commerce adalah Alice Norin. Ia bekerja pada 8Wood, startup milik sang suami yang seperti LYKE juga mengincar pasar fesyen Indonesia. Ada juga Dian Sastro dengan aplikasi fotografer Frame A Tip, dan Dewi Rezer lewat Bebelian yang menawarkan barang bekas milik selebritas.
“Teknik (marketing) ini relatif hal baru,” kata Margaret Campbell, seorang profesor pemasaran di Universitas Colorado, yang mempelajari endorsements dari selebritas. “Perusahaan-perusahaan yang melakukan ini berjuang meningkatkan kredibilitas kreativitas atau inovasi mereka,” ujar Campbell pada CNBC.
“Membuat seorang selebritas duduk di kursi CCO tak menggaransi atau bahkan meningkatkan peluang suksesnya endorsement,” ungkap Jeetendr Sehdev, profesor pemasaran dari Universitas California, memberikan pandangan yang lain.
Ia juga bilang, salah satu faktor yang harus lebih diperhatikan adalah elemen kecocokan antara jenama dan selebritas yang dipilih. Bagi konsumen, hal itu harus masuk akal.
Namun, bukankah seorang petinggi di divisi kreatif haruslah pribadi yang kreatif? Terlepas ia selebritas atau bukan?
Baca juga: Skandal Pelecehan Seksual Hollywood yang Bikin Geger