Sensor Pengetahuan dan Pengaburan Sejarah di Cina
https://www.naviri.org/2017/11/sejarah-cina.html
Naviri.Org - Bagi sebagian pihak, khususnya kalangan penguasa, pengetahuan sering kali bisa dianggap berbahaya. Penguasa yang mendapatkan kekuasaannya dengan cara kudeta, misalnya, tentu berusaha meyakinkan rakyatnya bahwa ia mendapatkan kekuasaan secara sah. Untuk hal itu, sang penguasa akan menulis sejarahnya sendiri yang sesuai keinginannya, sekaligus akan memberangus pengetahuan sejarah lain yang bertentangan dengan keinginannya.
Latar belakang semacam itulah yang menjadikan kaisar pertama Cina, Qin Shi Huang, sampai mengubur hidup-hidup 460 cendekiawan bersama buku-buku mereka yang dianggap terlarang. Belakangan, Mao Zedong pernah menyatakan bahwa ia melakukan represi yang lebih keras terhadap kalangan akademisi di era kepemimpinannya.
Kini, Presiden Republik Rakyat Cina (RRC) sekaligus Sekretaris Jenderal Partai Komunis Cina (PKC) Xi Jinping sedang memulai manuver serupa setelah baru-baru ini konstitusi negara direvisi dan mengangkat statusnya menjadi setara dengan Mao dan Deng Xiaoping.
Jinping memerintahkan universitas dan penerbit artikel ilmiah sedunia, terutama dari Barat, untuk menghilangkan konten-konten terkait isu-isu politik yang sensitif bagi rezim. Isu-isu tersebut meliputi status dan intrik dalam dimensi sosial-politik RRC dengan Taiwan, Tibet, Hong Kong, diskriminasi terhadap muslim Uighur di Provinsi Xinjiang, pembantaian di Lapangan Tiananmen (1989), Revolusi Kebudayaan yang dituduh melahirkan kelaparan massal, atau sejarah kelam anggota PKC masa lampau.
Financial Times melakukan riset mandiri dengan menelusuri artikel-artikel ilmiah di Springer Nature, penerbit akademik yang mengklaim diri sebagai yang terbesar di dunia. Rabu (1/11/2017) mereka merilis laporan bahwa penerbit asal Jerman yang menyajikan konten-kontennya di kanal terkemuka seperti Nature dan Scientific American itu telah menghapus minimal 1.000 artikelnya.
1.000 artikel tersebut menyebutkan isu-isu yang dianggap sensitif oleh Beijing, seperti ulasan tentang Tibet, Hong Kong, dan Taiwan. Artikel-artikel Springer Nature ditarik dari dua kanal jurnal ilmiah Journal of Chinese Political Science dan International Politics. Keduanya memang dikhususkan untuk pasar Cina dan kerap diakses oleh peneliti serta akademisi Negeri Tirai Bambu tersebut.
Institusi sekelas Cambrige University bahkan mengikuti jejak ini beberapa bulan sebelumnya. Sebagaimana diberitakan pada 18 Agustus kemarin, Cambridge University Press (CUP) memblokir akses untuk lebih dari 300 artikel ilmiah yang memuat topik sensitif tentang Cina. Penerbit tertua di dunia tersebut memang merilis banyak artikel kritis melalui kanal China Quarterly. Topik pembahasannya merentang dari isu pelanggaran hak asasi manusia terhadap muslim Uighur di Provinsi Xinjiang hingga penduduk Tibet.
Tim Pringle, editor dan dosen di University of London School of Oriental and African Studies, berkata bahwa CUP mengambil kompromi dengan alasan otoritas Cina akan melarang terbitan-terbitan ilmiah CUP lainnya jika permintaan rezim tak diperhatikan. Rupanya kekhawatiran yang sama juga dinyatakan oleh Springe Nature. Mereka ingin patuh dengan “undang-undang distribusi lokal” dan menghindari ancaman pemblokiran konten-konten ilmiah lainnya.
Keputusan CUP segera menuai dualisme sikap di kalangan akademisi. Ada yang menilainya sebagai langkah yang tepat, namun banyak pula yang mengecam dengan keras—terutama dari lulusan Cambridge maupun orang-orang yang artikelnya diblokir. John Sullivan, anggota komite eksekutif China Quarterly mengatakan langkah CUP tergolong pragmatis. Sullivan kecewa sebab tulisan tentang kemerdekaan Taiwan yang diunggah China Quarterly pada 2010 tak bisa diakses lagi oleh pembaca Cina daratan.
“Kehilangan 300 artikel adalah pukulan besar, dan kami menentangnya... Keputusan lembaga akademik untuk menerima penyensoran ini mengkhawatirkan sebab membantu memperbesar pesan Beijing kepada peran akademisi,” katanya pada Financial Times.
Sikap serupa ditunjukkan James Leibold, profesor sejarah Cina di La Trobe University di Melbourne, Australia. CUP “mengirim pesan yang salah ke Cina”, ujar Leibold, sebab menghalangi akses ke artikel-artikel ilmiah justru “membenarkan pandangan Partai (Komunis Cina) mengenai berbagai isu, mulai dari etnis minoritas hingga hak asasi manusia.” Singkatnya, “sebuah tindakan yang memalukan.”
Leibold prihatin sebab CUP tak membela prinsipnya dan hanya menuruti insting komersilnya karena lima tahun belakangan sedang meraup pertumbuhan yang menjanjikan di pasar pembaca Cina. Louisa Kim, akademisi penulis buku laris soal tragedi Tiananmen 1989 mencuit kritik yang sama. Ia menilai CUP memberikan contoh yang “mengerikan” atas “motif keuntungan ... ketimbang kebebasan akademis.”
CUP tak kuat menghadapi gelombang kecaman ini. Empat hari setelahnya atau tanggal 22 Agustus, mereka memutuskan untuk membuka kembali akses 300-an artikel ilmiah yang diblokir. Tim Pringle menyadari bahwa pemblokiran semestinya tidak dilakukan oleh penerbit dengan reputasi dunia seperti CUP.
Berbeda dari CUP, beberapa penerbitan lain menyatakan sikap yang berani. Massachusetts Institute of Technology (MIT) Press berkata bahwa sensor politis adalah “antitesis untuk semua prinsip yang seharusnya dipegang oleh semua universitas dan penerbitannya.” Oxford University belum dan tidak akan memblokir konten ilmiahnya meski Cina, seperti CUP, adalah negara yang menjadi sumber pendapatan yang penting bagi kampus.
Sayangnya sikap tegas ini tak diikuti institusi akademik lain yang masih abu-abu, antara berpegang pada prinsip kebebasan penerbitannya atau tunduk pada otoritas Cina untuk menghindari konsekuensi yang tak diharapkan di masa depan. SAGE Publications, misalnya, menyatakan belum memblokir konten akademisnya. Tapi itu pun karena belum diminta oleh otoritas Cina. Jika diminta, mereka akan berkonsultasi dengan pihak-pihak terkait untuk memutuskan sikap.
University of Chicago Press, yang menerbitkan kanal prestisius Chinese Journal, mengatakan bahwa pihaknya belum memblokir konten-kontennya yang dibaca oleh para akademisi Cina. Namun mereka akan memotong akses ke institusi yang diawasi pemerintah sebuah negara. Michael Magoulias, direktur Chinese Journal, berujar bahwa mereka akan menuruti permintaan dari pemerintah manapun untuk menghapus materi yang “secara ideologis tidak dapat diatasi”.
Sensor dan pengaburan sejarah
Sensor politik di Cina sesungguhnya bukan barang baru. Dalam sejumlah kasus, kebijakan yang diambil kadang terdengar lucu.
Sejak awal menjabat, Jinping diolok-olok oleh warganet Cina dengan cara diidentikkan dengan karakter beruang madu fiksi keluaran Disney, Winnie the Pooh. Pooh dan Jinping dianggap mirip secara fisik. Ulasan politik yang kritis terhadap rezim kemudian mengganti foto Jinping dengan karakter ciptaan A. A. Milne tersebut. Tak tahan dengan pelecehan tersebut, pertengahan Juli lalu pemerintah Cina resmi memblokir segala bentuk visual Winnie the Pooh.
Akibat perannya di Seven Years in Tibet (1997), film yang kritis kepada Partai Komunis Cina, Brad Pitt dilarang masuk teritori Cina—hingga larangannya dicabut akhir 2016 silam.
Pemerintah Cina juga melarang penggunaan aplikasi Facebook, Snapchat, Pinterest, Youtube, dan Twitter.
Mereka tak membolehkan pemberian nama muslim bagi warga pemeluk agama Islam di Provinsi Xinjiang. Pada tahun 2011 pemerintah melarang distribusi maupun pemutaran film atau serial televisi tentang perjalanan mesin waktu karena penuh mitos, absurd, dan mempromosikan feodalisme serta takhayul.
Dengan menyensor kebebasan dalam mengakses jurnal ilmiah, banyak akademisi yang menilai pemerintah Cina telah melahirkan kekhawatiran level baru. Situasi tambah pelik sebab sejak beberapa bulan belakangan pemerintah Cina juga mulai menulis ulang sejarah negaranya dengan cara mengubah catatan arsip negara.
Glenn Tiffert, peneliti University of Michigan, menyatakan pada Financial Times bahwa menurut penelitiannya pihak bewenang Cina kini mulai memanfaatkan digitalisasi dokumen sejarah untuk menghapus artikel tentang sejarah Cina secara sistematis dari tahun 1950-an, khususnya untuk narasi sejarah yang mengkritisi gaya pemerintahan ortodoks alias yang sekarang sedang dipraktikkan oleh Xi Jinping.
Tiffert menunjukkan dua portal online utama yang tak lagi memuat artikel-artikel ilmiah yang menelanjangi pelanggaran hukum oleh para anggota PKC saat itu. Dua portal online tersebut adalah China National Knowledge Infrastructure yang dikelola secara komersil oleh Tsinghua University, dan National Social Sciences Database, sebuah platform arsip yang disponsori oleh pemerintah.
Tiffert menyimpulkan bahwa pemerintah Cina sekarang mengambil pelajaran dari keruntuhan Uni Soviet bahwa pemerintahan komunis “tidak dapat bertahan dari pengawasan kritis.”
Ia membandingkan dengan masa lalu di mana sensor dilakukan dengan membuang salinan atau halaman yang tak ingin diingat khalayak. Tapi di dunia yang serba digital dan online ini mereka cukup menekan satu tombol, semua data hilang atau berubah, dan penelitian yang baru akan didasarkan pada data yang salah atau menyimpang.
Zhang Lifan, sejarawan Beijing yang telah diblok aksesnya ke seluruh aplikasi media sosial karena kritis kepada Mao Zedong, menganggap kebijakan mengubah konten arsip sejarah akan menjadi bumerang bagi pemerintah Cina sendiri. Pejabat negara, katanya, akan membuat kebijakan dan keputusan yang bodoh sebab didasarkan pada sejarah yang menyimpang. Ia menyayangkan situasi hari ini, sebab banyak akademisi diawasi pemikirannya atau dilarang bicara ke media asing.
“Banyak dari mereka yang mengajarkan sejarah sesuai kebenaran, lalu dipecat atau dihukum. Tidak ada yang berani melakukan penelitian tentang gerakan sosial dan kebanyakan meluangkan waktu hanya untuk meneliti gagasan Xi (Jinping) dan Marxisme-Leninisme.”
Baca juga: Sejarah Gelap Kolonialisme Prancis di Masa Lalu