Masalah Prostitusi di Berbagai Negara Dunia
https://www.naviri.org/2017/11/prostitusi-di-berbagai-negara.html
Naviri.Org - Topik prostitusi mengemuka akhir-akhir ini, seiring dengan penutupan tempat hiburan malam Alexis, oleh Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan. Alasan penutupan itu, sebagaimana yang banyak diwartakan media, karena Alexis disinyalir terkait dengan praktik prostitusi. Karena itulah izinnya tidak diperpanjang, dan Alexis harus tutup. Entah benar Alexis memang menyediakan prostitusi atau tidak, bisa dibilang belum ada kepastian. Yang jelas, orang Indonesia tampaknya memang “alergi” dengan prostitusi.
Kenyataan itu bisa dilihat dari ditutupnya tempat-tempat prostitusi di berbagai daerah di Indonesia. Dolly, prostitusi terkenal di Surabaya, misalnya, telah ditutup. Begitu pula tempat-tempat lain di wilayah-wilayah lain. Intinya, Indonesia tidak melegalkan prostitusi, dan ingin semua tempat prostitusi ditutup. Bagaimana dengan negara-negara lain?
Pada dasarnya, setiap negara memiliki pendekatan berbeda mengenai permasalahan prostitusi. Di Swedia, misalnya, melalui Undang-Undang Prostitusi Swedia (Sex Purchase Act atau Sexköpslagen) yang diperkenalkan sejak 1999, pemerintah mengkriminalisasi prostitusi dengan menghukum pelanggan, bukan pekerja seks. Untuk pekerja seksnya sendiri, pemerintah memberi bantuan untuk berhenti dari pekerjaannya.
Berdasarkan laporan resmi pemerintah dalam Skarhed Report yang dirilis 2010 menyebutkan, undang-undang tersebut telah mengurangi aktifitas prostitusi serta menurunkan jumlah pelanggan pria sampai lebih dari 40 persen. Klaim keberhasilan pemerintah Swedia itu membuat Islandia dan Norwegia menirunya pada 2009. Parlemen Eropa juga memutuskan hal serupa dengan menghukum para pelanggan prostitusi.
Namun, di balik catatan tersebut terdapat masalah yang tak kalah pelik. Hasil penelitian Asosiasi Pendidikan Seksual dari Universitas Malmo menjelaskan bahwa turunnya aktivitas prostitusi pada tahun 1990an tak bisa dilepaskan dari faktor minimnya penggunaan dan penguasaan teknologi semacam internet maupun seluler. Sekarang kondisinya berbeda. Akses internet serta seluler tak sulit didapatkan. Hasilnya, prostitusi berubah dalam bentuk baru; dari transaksi di jalanan berpindah ke gawai dengan bantuan internet.
Undang-undang itu juga memaksa perempuan terjebak dalam situasi berbahaya karena melakukan transaksi secara sembunyi-sembunyi. Belum lagi stigma masyarakat terhadap pekerja seks masih meluas dengan adanya undang-undang ini. Dampaknya, perempuan sulit memperoleh layanan sosial hingga ancaman kehilangan hak asuh anak.
Sedangkan penelitian May-Len Skilbrei dari Universitas Oslo dan Charlotte Holms dari Universitas Malmo menunjukkan bahwa undang-undang tersebut sebetulnya tidak menyampaikan pesan jelas mengenai apa dan siapa yang terkait dalam permasalahan prostitusi. Undang-Undang Prostitusi Swedia kerap dikatakan menjadi alat efektif untuk melawan perdagangan manusia.
Menurut May-Len dan Charlotte, klaim itu lemah sebab tak ada data resmi yang jelas. Tak sebatas Undang-Undang Prostitusi, di Swedia juga terdapat Aliens Act yang melarang perempuan asing melakukan praktek prostitusi. Dalam implementasinya, aturan ini sering digunakan sebagai dalih untuk mendeportasi para imigran dan orang-orang non-Swedia.
Norwegia tak beda dengan Swedia. Mengutip pendapat May-Len dan Charlotte, ada kesenjangan antara ideologi, kebijakan tertulis, serta praktik di lapangan mengenai penyelesaian masalah prostitusi. Para pekerja seks di Norwegia mendapatkan tekanan dari aparat sampai pandangan buruk dari masyarakat yang membuat mereka lebih rentan.
Situasi serupa dialami salah satu negara bagian Australia. Pada 1999, Perdana Menteri Queensland Peter Beattie mensahkan Undang-Undang Prostitusi yang mengizinkan beroperasinya rumah bordil. Dari undang-undang tersebut, dibentuk pula Otoritas Perizinan Prostitusi yang bertugas mengawasi kegiatan di dalamnya.
Akan tetapi, berdasarkan studi Universitas Queensland, sejak Undang-Undang Pelacuran disahkan, implementasinya dianggap gagal. Laporan Universitas Queensland menyebutkan hanya 10 persen aktivitas industri prostitusi di Queensland yang diatur keberadaannya.
Profesor Andreas Schloenhardt, salah satu peneliti, mengatakan 90 persen prostitusi di Queensland justru terjadi di luar rumah bordil yang sah secara hukum. Schlenhardt menambahkan, undang-undang tersebut hanya berlaku efektif untuk melindungi pekerja seks di rumah yang sudah memiliki lisensi.
Terpaksa keadaan hingga mengolahnya menjadi pemasukan
Di Kamboja, prostitusi tidak legal tapi keberadaannya ditolerir. Pasalnya, orang masuk ke dalam industri prostitusi karena terhimpit kondisi ekonomi. Untuk menjauhkan perempuan dari prostitusi, LSM dan kepolisian mengalihkan mereka ke industri garmen yang memproduksi pakaian murah bagi pasar Amerika. Namun, banyak pekerja perempuan itu kembali ke bisnis prostitusi akibat kondisi maupun gaji di pabrik garmen yang dirasa tidak memadai.
Sementara di Republik Dominika, para perempuan banyak yang memilih pergi ke daerah wisata pantai di sebelah utara untuk terjun ke bisnis prostitusi. Alasannya, dengan menjadi pekerja seks mereka mampu membayar biaya sekolah dan membantu perekonomian keluarga.
Cerita di Jerman beda lagi. Pada 2001, Parlemen Jerman atau Bundestag yang dikuasai koalisi Partai Sosial Demokrat, mengeluarkan undang-undang prostitusi yang bertujuan memperbaiki kondisi pekerja seks. Berdasarkan undang-undang itu, pekerja seks dapat menuntut kelayakan upah serta berkontribusi pada program asuransi kesehatan sampai dana pensiun. Singkatnya, Jerman ingin membuat pekerja prostitusi setara dengan profesi lainnya. Alih-alih dikucilkan, Jerman hendak mengajak masyarakat untuk menerima prostitusi.
Sebelum undang-undang itu berlaku, prostitusi di Jerman tidak melanggar hukum tapi dianggap tidak bermoral. Setelah undang-undang prostitusi Jerman berjalan lebih dari 11 tahun, terdapat sekitar 3.000 hingga 3.500 rumah bordil yang tersebar di seluruh negeri. Total pekerjanya sendiri mencapai 200 ribu yang 65 persennya merupakan perempuan dari luar Jerman (kebanyakan Rumania dan Bulgaria). Diprediksi, prostitusi Jerman menyumbang sekitar 14,5 miliar euro dalam setahun.