Urusan Poligami, dari Inggris Sampai Jalur Gaza
https://www.naviri.org/2017/11/poligami-di-inggris-dan-jalur-gaza.html
Naviri.Org - Di Indonesia, ada aplikasi yang membantu siapa pun untuk melakukan poligami. Aplikasi yang disebut AyoPoligami itu sempat menimbulkan kontroversi, meski bisa dibilang cukup banyak pula penggunanya. Namun, aplikasi AyoPoligami sebenarnya bukan yang pertama dalam urusan poligami.
Jauh sebelum munculnya aplikasi AyoPoligami, ada aplikasi serupa yang ditujukan untuk poligami, bernama SecondWife.com. Aplikasi itu dibuat oleh Azad Chaiwala, seorang pengusaha asal Inggris keturunan Pakistan. Azad membuat aplikasi SecondWife.com pada 2014, lantas menyusul Polygamy.com pada 2016.
Perbedaan mendasar dari dua situs tersebut ialah SecondWife.com untuk pangsa pasar orang-orang Muslim dan Polygamy.com terbuka untuk semua kalangan. Azad mengaku, apa yang diciptakannya melalui kedua situs poligami itu adalah “yang pertama di dunia.” Sejauh ini jumlah anggota situs Azad mencapai puluhan ribu. Mereka yang mendaftarkan diri berasal dari Inggris, Amerika, India, dan juga Pakistan.
Dalam perjalanannya, Azad berharap dapat menyebarkan nilai-nilai poligami berlandaskan “cinta keluarga” yang menurutnya bisa menangkal pelacuran sampai perceraian. Azad juga menolak mereka yang mengkritik poligami sebagai anakronistik (sesuatu yang tidak sesuai zamannya). “Saya mengatakan, ‘Nikahilah dua atau tiga orang dan setialah pada mereka,’” ujarnya seperti dilansir The New York Times.
Tiga per empat pengguna SecondWife.com merupakan laki-laki. Sementara kebanyakan mereka yang mengunggah profil di situs Polygamy.com adalah perempuan. “Jika mereka mampu merawat satu istri, mungkin mereka bisa merawat saya,” kata Azad berspekulasi mengenai isi pikiran perempuan tentang situs poligami.
Hal sama juga terjadi di Gaza lewat situs biro poligami bernama Wesal, situs biro jodoh pertama di Gaza. Kehadirannya bisa dikata sukses, selain karena Tinder dan aplikasi jodoh lainnya dilarang beredar, juga sebab perhitungan cermat sang pendiri. Hashem Sheikha, pendiri Wesal, paham bila sekitar 1.400 laki-laki terbunuh dalam perang melawan Israel semenjak 2008, sehingga meninggalkan banyak janda yang memiliki keinginan menikah lagi.
Tradisi setempat menyatakan, seorang janda akan sulit untuk menikah lagi. “Kaum lelaki di sini maju ke medan perang dan meninggal. Sementara perempuan tetap hidup,” jelasnya. “Ini mengapa proyek saya (melalui Wasel) mendukung kehadiran poligami.”
Reham Owda, analis tentang masalah perempuan yang berbasis di Gaza, menyebutkan, “Perempuan kehilangan lelaki selama tiga perang terakhir. Dampaknya, hidup mereka sulit.” Owda menjelaskan dalam beberapa kasus, perempuan janda diminta menikahi saudara ipar suaminya karena alasan finansial.
Belum lagi apabila suami sang janda berafiliasi dengan partai politik, maka kemungkinan besar si perempuan akan ditekan untuk menikahi pria dari kelompok yang sama untuk menunjang penghidupan sehari-hari. “Layanan perjodohan ini positif karena mendorong perempuan untuk memilih calon suami tanpa rasa takut maupun tekanan dalam masyarakat yang religius dan patriarkis ini,” terang Owda.
Perlahan, situs Wesal mulai tenar di Gaza. Sejak pertama kali diluncurkan pada Maret 2016, Wesal telah memfasilitasi 160 proses pernikahan. Setengah di antaranya melibatkan lelaki yang mencari istri kedua atau ketiga. “Kami ingin menyebarkan sukacita dan koneksi di antara khalayak seraya membantu mereka dengan menemukan cinta maupun kedamaian setelah mengalami banyak penderitaan,” tutur Sheikha.
Amal Seyam, Kepala Asosiasi Urusan Perempuan Gaza mengatakan, layanan Wesal hadir di waktu tepat untuk memanfaatkan perubahan kondisi dalam masyarakat Gaza. "Poligami telah mencapai tingkat tinggi di Gaza selama beberapa tahun terakhir. Hal itu tampaknya karena meningkatnya kecenderungan religius masyarakat, terutama setelah Hamas berkuasa pada tahun 2007," kata Seyam, merujuk pada kelompok militan yang menguasai Gaza.
Baca juga: Aplikasi Poligami yang Menyulut Kontroversi