Perjalanan Hidup Mugabe, Sang Diktator Zimbabwe
https://www.naviri.org/2017/11/mugabe.html
Naviri.Org - Ada banyak kisah tentang seorang yang semula dikenal sebagai pahlawan, lalu mendapat kekuasaan sebagai pemimpin, dan pribadinya berubah. Jika semula dipuja sebagai orang baik, kepribadiannya berubah setelah mendapat kekuasaan. Di dunia politik, hal semacam itu bisa dibilang sudah klise. Mugabe tampaknya bisa menjadi salah satu contoh.
Robert Gabriel Mugabe adalah presiden Zimbabwe, yang semula dikenal sebagai pahlawan, namun belakangan dianggap sebagai diktator. Ia tidak mau melepaskan kekuasaannya di Zimbabwe, bahkan mungkin ingin terus berkuasa sampai mati.
Pada bulan Mei dan Juni 1998, mahasiswa Zimbabwe melakukan demo besar-besaran dan mengambil alih Parlemen Zimbabwe. Mereka ingin menumbangkan kediktatoran Mugabe, yang dinilai telah membuat masyarakat Zimbabwe jatuh dalam krisis pangan dan kebutuhan pokok lain.
Mugabe, yang saat itu “baru” memerintah 11 tahun, menghadapi demonstrasi dengan represi militer, dan kemudian melarang adanya demonstrasi selama enam bulan berikutnya, serta melanjutkan kekuasaan hingga bertahun kemudian.
Robert Gabriel Mugabe lahir di Rhodesia Selatan (nama Zimbabwe selama masa penjajahan Inggris) pada tanggal 21 Februari 1924, sehingga kini usianya sudah 93 tahun. Sangat tua untuk ukuran seorang presiden. Sebagaimana Soeharto, kepiawaiannya bermain politik—meski kotor—membuat usia tua tak menghalangi dirinya untuk menduduki tahta selama hampir empat dekade.
Meski dikenal sebagai diktator, di awal kekuasaannya, tak ada yang menyangkal bahwa Mugabe adalah sosok penting dalam perjuangan kemerdekaan Zimbabwe (sebelumnya bernama Rhodesia).
Dalam catatan Al Jazeera, Mugabe muda sempat meniti karier sebagai pengajar bermodal tujuh gelar dari universitas. Marah karena tanah airnya dijajah oleh koloni Inggris dan diperintah oleh minoritas kulit putih, Mugabe tergerak untuk ikut perjuangan kemerdekaan, apalagi setelah dirinya kenyang mempelajari Marxisme dan Leninisme.
Ia bergabung dengan golongan nasionalis Afrika lain untuk menyerukan pembentukan negara independen yang dikuasai oleh orang kulit hitam. Kecamannya untuk pemerintah keras dan pedas. Hingga pada suatu hari, ia melontarkan komentar anti-pemerintah yang dianggap mengancam rezim sampai-sampai dijebloskan ke penjara atas dasar hasutan. Selama 1964 hingga 1974 ia mendekam di balik jeruji besi, namun visinya untuk Rhodesia yang merdeka tak pernah surut.
Semangat itu ia lanjutkan saat sudah bebas dengan terbang ke Mozambique dan mendirikan Partai ZANU-PF. Selanjutnya ia kembali ke Rhodesia untuk turut serta dalam perang gerilya melawan pemerintahan Inggris. Perang yang sudah berlangsung sejak tahun 1964 itu berakhir pada 1979. Setahun kemudian, Rhodesia melaksanakan pemilu pertama. Partai Mugabe menang, ia diangkat jadi perdana menteri dan mengubah nama negeri itu menjadi “Zimbabwe”.
Mugabe menganggap kepemimpinannya sebagai masa revolusi—sebuah tema rutin tiap kampanye—dan menekankan apabila revolusi belum selesai, dan Zimbabwe membutuhkan komandonya. Sudah bisa ditebak bahwa dengan kredo ini ia lambat laun jadi diktator. Caranya beragam, dan kebanyakan dilakukannya dengan memanfaatkan pengaruh kebesaran partainya di segala lini kehidupan warga Zimbabwe. Lagi-lagi persis seperti Soeharto dan Golkarnya, dengan retorika serupa Sukarno Tua.
Ia, misalnya, merevisi konstitusi negara pada tahun 1987 yang mengubah statusnya menjadi presiden. Ia juga mematikan demokrasi di Zimbabwe dengan memberlakukan aturan yang mengizinkan dirinya ikut pemilu berkali-kali, tanpa ada batasan periode. Mugabe dan partainya pun bisa memenangkan lima kali pemilu (1990, 1996, 2002, 2008, 2013)—meski lembaga dan pegiat demokrasi di dalam dan di luar Zimbabwe kerap mengkritik jalannya pemilu yang dinilai tak transparan serta penuh kecurangan sistematis.
Bagi pendukungnya, Mugabe dipuji sebagai pejuang kemerdekaan yang membebaskan masyarakat Zimbabwe dari sistem kolonial yang rasis. Namun, sebagai diktator, ia bertanggung jawab atas bobroknya ekonomi Zimbabwe yang berujung pada hiperinflasi yang masih tak terkendali, korupsi masif terutama oleh elite anggota partai, diskriminasi rasial anti-kulit putih, berbagai kasus pelanggaran HAM terhadap lawan politik dan rakyat sipil yang kritis terhadapnya, dan matinya demokrasi di Zimbabwe.
"Jika Anda kalah dalam pemilihan dan ditolak oleh rakyat, itulah saatnya Anda untuk meninggalkan politik." demikian kata Mugabe, sebagaimana dikutip BBC News, sebelum pemilu tahun 2008.
Sejak beberapa tahun belakangan, desakan oposisi dan kritik agar dirinya turun makin mengemuka. Namun Mugabe tetap bernafsu berkuasa, bahkan ingin mewariskannya ke sang istri meski harus menyingkirkan calon potensial lain dengan cara yang tak elegan. Apa yang diucapkannya sembilan tahun yang lalu itu hanya retorika di antara retorika lain yang selama ini ia ucapkan. Barangkali kata-kata oposisi terkemuka Morgan Tsvangirai lebih tepat: “Hanya Tuhan yang mampu menyingkirkannya (Mugabe) dari kantor kepresidenan.”
Baca juga: Krisis Ekonomi Paling Gila di Dunia