Upaya Menghidupkan Bisnis Ritel yang Sekarat
https://www.naviri.org/2017/11/menghidupkan-bisnis-ritel.html
Naviri.Org - Perubahan memang sesuatu yang sulit dielakkan, termasuk dalam gaya hidup dan bisnis. Seperti perubahan pola belanja masyarakat akhir-akhir ini, yang dinilai membawa dampak sekaratnya bisnis ritel di tanah air. Jika sebelumnya orang-orang biasa berbelanja di ritel atau swalayan, kini mereka mulai pindah ke toko-toko online. Perubahan pola belanja itu, tampaknya, menjadikan bisnis ritel mengalami masalah.
Sebagaimana yang telah dirilis banyak media, satu per satu bisnis ritel di Indonesia terpaksa tutup, karena tidak mampu meneruskan bisnis, akibat turunnya peminat yang datang. Itu artinya, bisnis ritel tidak lagi mampu menangguk keuntungan, sehingga melanjutkan bisnis hanya menambah jumlah kerugian. Kabar paling baru adalah penutupan dua merek ritel milik PT Mitra Adiperkasa (MAP), Lotus Department Store, dan Debenhams.
Lima gerai Lotus, salah satunya di Jl. MH Thamrin, akan ditutup seluruhnya pada akhir Oktober 2017. Sementara dari tiga gerai Debenhams, dua di antaranya—berada di Kemang Village dan Supermall Karawaci—sudah ditutup, satu gerai lagi yang berada di Senayan City menyusul ditutup.
Head of Corporate Communication MAP, Fetty Kwartati, dalam Katadata mengatakan, penutupan dua merek itu dilakukan setelah manajemen mempertimbangkan perubahan tren ritel secara global, berikut perubahan gaya belanja dari luring (offline) ke daring (online).
Sama dengan PT Matahari Department Store Tbk, meski menutup dua merek dagangnya, MAP tetap menargetkan pembukaan 200 gerai baru lainnya yang bergerak pada sektor makanan, toko serba ada, dan toko mode hingga akhir tahun ini.
Penutupan dua merek MAP itu menambah panjang daftar gerai-gerai perniagaan yang sudah terlebih dahulu gulung tikar; Ramayana, 7-Eleven, dan Matahari Department Store.
Konsumen umumnya menjadi girang dengan kabar penutupan gerai ini. Sebab, selalu ada promo diskon besar-besaran untuk menghabiskan stok barang pada gerai-gerai yang ditutup. Tapi, di sisi lain, kondisi ini menciptakan ketidakstabilan iklim bisnis ritel konvensional.
Peralihan model belanja konsumen ke daring lagi-lagi disebut menjadi penyebab. Data BPS memang pernah menyebut adanya kenaikan pelaku niaga elektronik yang merata, baik di tingkat perdesaan hingga perkotaan.
Hanya saja, data tersebut tak turut menyimpulkan besaran aliran dana dalam bisnis daring yang bisa menyimpulkan bahwa bisnis konvensional telah tergeser. Meski begitu, para pelaku bisnis ritel memang tak menampik peralihan model belanja itu memengaruhi kinerja bisnis ritel konvensional.
Bos Lippo Group, James Riady, mengakui bahwa bisnis ritel tengah menghadapi krisis akibat adanya pergeseran pola konsumsi konsumen dan persaingan sektor ini yang semakin dinamis.
Usai menghadap Presiden Joko "Jokowi" Widodo dan beberapa jajaran Menteri di bawah koordinasi Kementerian Koordinator Perekonomian, di Istana Negara, Kamis (26/10/2017) malam, James mengakui bahwa tak banyak yang bisa dilakukan pelaku bisnis ritel konvensional selain berbenah diri dan menyesuaikan perkembangan teknologi.
Di tempat yang sama, Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Rosan Roslani, mengusulkan adanya pembebasan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dengan jangka waktu yang ditentukan. Pembebasan PPN, menurut Roslan, dinilai mampu meningkatkan belanja masyarakat yang selama ini ditahan.
Senada dengan James, Direktur Utama PT Bank Mandiri Tbk, Kartika Wirjoatmodjo (Tiko), menyebut tutupnya gerai ritel dalam kurun waktu setahun terakhir disebabkan karena kompetisi yang semakin ketat.
"Karena di ritel banyak yang membuka gerai besar, ada yang grosir, ada yang minimart, jadi ritel ada over-expand," ucapnya. Hal ini berbeda dengan kondisi penjualan di ritel lain seperti kendaraan roda dua atau empat yang cenderung tetap stabil.
Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, mengatakan meski digitalisasi memengaruhi fenomena sejumlah ritel konvensional, namun sejatinya tak mengurangi kontribusi sektor ritel terhadap perekonomian. Sebab, penerimaan PPN per September 2017 tergolong cukup berat.
Sri Mulyani menyampaikan, pemerintah masih perlu menganalisa pengaruh digitalisasi ini lebih dalam. Selain itu, pemerintah perlu melihat imbas digitalisasi ke sektor lain.
Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia ini menekankan, pemerintah tak berniat untuk membendung tren perubahan perdagangan yang disebabkan oleh teknologi.
Pemerintah berusaha menciptakan kebijakan yang mampu menciptakan transisi yang mulus dari bisnis konvensional ke daring, sehingga pelaku lama bisa melakukan penyesuaian.
Kebijakan apa yang dimaksud, Sri Mulyani belum bisa memaparkannya. Hanya saja, kebijakan itu akan mengacu pada kebutuhan ritel dari sisi perpajakan atau kepabeanan.
Baca juga: Tips Agar Bisnis Digital Anda Mendapatkan Investor