Venezuela, dari Krisis Utang ke Krisis Kemanusiaan
https://www.naviri.org/2017/11/krisis-venezuela.html
Naviri.Org - Negara-negara di dunia menghadapi satu masalah yang sama, yaitu utang. Bisa dibilang, semua negara punya utang. Sebagian hanya kecil, sebagian lain punya utang dalam jumlah besar. Sebagian negara bisa mengatasi atau bahkan melunasi utangnya, sementara sebagian lain kebingungan, bahkan terus menumpuk utang hingga sangat banyak.
Kenyataan semacam itu terhjadi di mana-mana, di berbagai negara di dunia. Karena adanya masalah di dalam negeri, mereka berusaha mendapatkan utang dari luar negeri, dengan harapan utang tersebut bisa mengatasi masalah yang terjadi di dalam negeri. Tetapi, kenyataan kadang tak sesuai harapan. Utang yang didapatkan tidak mampu mengatasi masalah, bahkan belakangan mereka tidak bisa membayar utang tersebut.
Ketika hal semacam itu terjadi, masalah makin rumit dan bertambah. Utang yang menumpuk akan sampai pada jatuh tempo. Saat jatuh tempo dan belum juga bisa membayar, dampaknya akan macam-macam, bahkan bisa mengancam kemanusiaan di negara bersangkutan. Salah satu contoh dalam hal ini adalah Venezuela.
Lembaga Pemeringkat Standard & Poor's (S&P) pada Senin (12/11) malam waktu setempat menyatakan Venezuela gagal bayar alias default. S&P memberikan peringkat selective default untuk Venezuela, menyatakan tenggat waktu 30 hari bagi Venezuela untuk membayar utangnya sudah terlewati. Venezuela gagal bayar kupon obligasi berjumlah 200 juta dolar untuk global bond yang jatuh tempo pada 2019 dan 2024.
S&P juga memperkirakan Venezuela akan mengalami gagal bayar pada pembayaran obligasi lainnya. Ada 420 juta dolar yang akan jatuh tempo. Jika Venezuela tidak mendapatkan dolar, obligasi ini juga akan default.
Gagal bayar obligasi ini dapat membuat Venezuela kekurangan makan dan obat-obatan. Jika para pemegang obligasi meminta pembayaran obligasi penuh, hal itu dapat membuat pemegang seluruh obligasi Venezuela meminta hal yang sama. Karena Venezuela tidak harus membayar semua kepada para pemegang saham, para investor akan menyita aset negara seperti cadangan minyak.
Pengumuman dari S&P itu dikeluarkan setelah pemerintah, dan pemegang obligasi mengadakan rapat singkat. Dalam rapat tersebut pun tidak jelas bagaimana Venezuela akan merestrukturisasi utangnya. “Proses refinancing utang Venezuela dimulai dengan sukses,” demikian pernyataan pemerintah seperti dikutip Reuters.
Venezuela tidak memiliki sumber pendapatan lain selain hasil ekspor minyak. Pemerintah pun gagal mendatangkan makanan dan obat mencukupi untuk rakyatnya. Sudah menjadi pemandangan biasa, ketika rakyat harus antre berjam-jam untuk membeli makanan atau sekarat di rumah sakit karena kekurangan obat atau perlengkapan lain. Para analis memperkirakan krisis kemanusiaan akan muncul setelah krisis finansial ini.
“Pertemuan pemegang obligasi di Venezuela hanya berlangsung 20-30 menit dan dilaporkan hanya ada 10 investor di luar Caracas. Pejabat yang berbicara hanya VP Tareck El Aissami,” kata Siobhan Morden Kepala Strategis Fixed Income Nomura yang tidak hadir dalam pertemuan, seperti dilansir dari Reuters.
Kabar baik datang pada Rabu (15/11), saat Rusia dan Venezuela secara resmi mengumumkan kesepakatan restrukturisasi utang senilai 3,15 miliar dolar AS. Seperti dilansir dari Financial Times, Rusia memberikan kesempatan kepada Venezuela untuk membayar utang lebih dari 10 tahun, dengan pembayaran minimal saja pada enam tahun pertama. Kesepakatan dengan Rusia itu memberikan sedikit kelonggaran kepada Venezuela sehingga bisa memenuhi kewajibannya kepada kreditor.
Rusia untuk sementara menjadi penyelamat Venezuela. Namun, tumpukan utang masih besar dan mengancam Venezuela. Belum diketahui dengan jelas langkah apa yang akan diambil oleh para pemegang obligasi Venezuela setelah gagal bayar ini. Tetangganya, Argentina, pernah mengalami gagal bayar dan para pemegang obligasinya berproses selama 15 tahun hingga masalah itu selesai tahun 2016 lalu.
Casey Reckman, seorang ahli pasar negara berkembang di Credit Suisse, mengatakan kepada Telegraph, restrukturisasi Argentina perlu waktu 15 tahun, jika menghitung juga perselisihan dengan pemegang obligasi. “Di Venezuela ada ICSID (International Centre for Settlement of Investment Disputes) pemegang obligasi seperti PDVSA, pemerintah, pemasok PDVSA dan pinjaman bilateral dengan Cina dan Rusia,” ujar dia, seperti dilansir dari Telegraph.
Venezuela dan perusahaan minyaknya, PDVSA, memiliki utang lebih dari 60 miliar dolar kepada para pemegang obligasi. Total utang negara itu sebanyak 196 miliar dolar. Selain kepada para pemegang obligasi, Venezuela juga berutang kepada Cina, Rusia, dan Amerika Serikat, perusahaan penerbangan, dan lainnya. Bank sentral Venezuela hanya memiliki dana cadangan sebesar 9,6 miliar dolar. Cadangan devisa itu terus mengalir keluar karena digunakan untuk membayar utang.
Pemerintah Venezuela menyalahkan perang ekonomi dengan AS sebagai penyebab kesulitan finansial mereka. Baru-baru ini, pemerintahan Trump juga menjatuhkan sanksi finansial. Bank AS dilarang bertransaksi atau berinvestasi pada surat utang Venezuela yang baru diterbitkan.
Akan tetapi, para ahli mengatakan, rezim yang berkuasa sejak 1999 menjadi penyebab semua kesulitan ini. Rezim sosialis mematok atau menentukan berbagai macam harga mulai dari secangkir kopi hingga gas untuk membuat harga barang menjadi lebih terjangkau rakyat. Selama bertahun-tahun juga, mata uang Venezuela, bolivar, dijangkarkan.
Langkah tersebut malahan berdampak buruk. Pasokan pangan menjadi semakin terbatas. Para petani justru tidak dapat menjual barangnya dengan harga murah karena biaya produksi lebih mahal. Para importir juga tidak dapat memasukkan barang karena mereka tahu harga yang mereka jual akan lebih rendah.
Kekurangan pangan ini semakin kacau karena memunculkan pasar gelap yang menjual barang selundupan. Para produsen menjual barangnya dengan harga lebih tinggi ketimbang harga pemerintah. Inflasi pun melonjak, membuat bolivar semakin terkapar tidak berdaya. Satu dolar AS dapat ditukarkan dengan lebih dari 55.200 bolivar. Pada awal tahun ini, satu dolar AS masih seharga 3.200 bolivar. IMF memperkirakan inflasi di Venezuela tahun ini akan mencapai 650% dan tahun depan naik lagi menjadi 2.300%.
Perusahaan minyak
Asosiasi swap dan derivative ISDA sedang mempertimbangkan apakah akan menyatakan PDVSA juga berada dalam posisi default. PDVSA merupakan perusahaan perminyakan milik negara dan sebenarnya sudah membayar utangnya, tetapi berada di luar tenggat waktu. Jika PDVSA juga dinyatakan default, akan memicu berbagai reaksi lainnya.
PDVSA dimiliki sepenuhnya oleh pemerintah. Sehingga, utangnya akan memengaruhi peringkat kredit Venezuela. Karena saat ini posisi peringkat sovereign Venezuela sudah default, wacana membantu PDVSA dengan menerbitkan obligasi baru juga bukan pilihan.
Sementara itu, Fitch menempatkan PDVSA pada peringkat selective default karena sudah satu pekan lebih melewati batas pembayaran total obligasi sebesar 2 miliar dolar yang jatuh tempo pada 2 November dan 27 Oktober. Menteri Komunikasi Jorfe Rodriguez menurut CNBC siap menyediakan pembayaran obligasi yang jatuh tempo itu.
Kekacauan di Venezuela menyeret juga perusahaan minyak Rusia, Rosneft. Perusahaan ini sudah membeli banyak sekali minyak mentah dari Venezuela. Pada Agustus lalu, Rosneft membayar uang muka sebesar 6 juta dolar kepada PDVSA. Saham Rosneft kemarin turun 4 persen menjadi 312 rubel. “Tampaknya saham terpukul setelah S&P menurunkan peringkat Venezuela,” kata seorang sumber di pasar saham.
Pavel Fyodorov, VP Rosneft, mengatakan, Venezuela sedang berusaha membayar utangnya, dan mengatakan perusahaannya tidak merencanakan meminjamkan uang ke Venezuela lagi.
Upaya pembayaran dan restrukturisasi obligasi ini masih akan menjadi cerita panjang di Venezuela.
Baca juga: Ketika Para Pemimpin Dunia Saling Mengejek