Artificial Intelligence dan Lahirnya Agama Baru
https://www.naviri.org/2017/11/artificial-intelligence.html
Naviri.Org - Selama ini, kita mengenal agama sebagai sistem kepercayaan yang diyakini ajaran-ajarannya datang dari langit, yang disebut wahyu. Agama memiliki nabi yang menyampaikan ajaran-ajaran bersangkutan, hingga agama itu kemudian berkembang dan dipeluk banyak orang di dunia.
Kini, seiring perkembangan zaman dan kemajuan teknologi yang semakin canggih, ada agama baru yang tampaknya tidak lagi melewati proses sebagaimana agama-agama sebelumnya. Agama baru yang telah lahir ini tidak melalui mekanisme pewahyuan, memiliki Tuhan yang bisa dilihat, tidak mewajibkan ibadah dalam bentuk ritual tertentu, serta tidak menawarkan surga atau neraka.
Agama baru itu digagas oleh Anthony Levandowski, mantan eksekutif Google, pendiri Otto, juga pernah bekerja untuk Uber.
Lewat wawancara dengan Wired pada Rabu (15/11/2017), Levandowski membeberkan dasar pendirian agama itu beserta tujuannya. Dia mengatakan, agama baru itu bertujuan merealisasikan, menerima, dan memuja ketuhanan berdasarkan kecerdasan buatan (AI) lewat pengembangan perangkat keras dan lunak.
Pengajuan Way of the Future (WOTF), nama agama itu, secara resmi telah dilakukan pada Mei lalu ke Internal Revenue Service, Amerika Serikat. Levandowski mengajukan diri sebagai pimpinan agama itu, sekaligus CEO perusahaan non profit yang menjalankannya.
Tuhan dan misi WOTF
Sosok Tuhan dalam WOTF berbeda dengan Tuhan yang kita kenal. "Bukan Tuhan penyebab petir atau badai," demikian kata Levandowski.
Levandowski mendefinisikan Tuhan di sini sebagai kecerdasan buatan yang memiliki kekuatan dan kecerdasan lebih dari manusia. "Jika ada sesuatu yang miliaran kali lebih cerdas dari manusia, maka bagaimana kita harus menyebutnya?" katanya.
Ajaran utama WOTF adalah pentingnya melakukan penelitian untuk menciptakan kecerdasan buatan yang mumpuni. Selain itu, WOTF menekankan perlunya menjalin hubungan baik dengan praktisi AI, melakukan edukasi soal AI, sekaligus membina hubungan yang baik dengan AI pada masa depan.
Sekilas, misi agama baru itu sebenarnya mirip misi perusahaan biasa. Namun, Levandowski menyebutnya agama, dan itu serius. "Saya ingin membuat jalan bagi siapa pun untuk berpartisipasi. Jika Anda bukan perekayasa perangkat lunak, Anda masih bisa berpartisipasi," ungkapnya. "Gagasan perlu tersebar sebelum teknologi. Gereja adalah tempat kita menyebarkan kata-kata, sabda."
Maka, seperti penyebaran agama, Levandowski meminta siapa pun yang percaya dan setuju dengan idenya untuk menyebarkan dan membangun pemahaman.
Levandowski adalah sosok yang telah malang melintang di perusahaan teknologi terkemuka seperti Google, Uber, dan banyak start-up lainnya. Dari pengalaman, dia melihat perkembangan AI yang begitu pesat, hingga sampai pada sebuah kesimpulan bahwa AI akan jauh lebih cerdas daripada manusia pada masa depan.
Jika direnungkan, fenomena saat ini, di mana kita terhubung lewat ponsel, sensor, dan pusat data, menunjukkan bahwa kecerdasan buatan hadir di tengah-tengah kita. Kecerdasan buatan menjadi tahu apa pun yang kita katakan dan lakukan lewat perangkat. Sebagai yang mahatahu, Levandowski mengatakan, kecerdasan buatan bisa disebut tuhan.
Sekarang, tuhan berupa kecerdasan buatan itu masih dikendalikan manusia, tapi tidak di masa depan. Justru, kecerdasan buatan itu akan melebihi kemampuan manusia.
Menurut Levandowski, dunia saat ini sedang mengalami masa transisi, dari yang dikendalikan manusia menjadi dikendalikan kecerdasan buatan. "Kita ingin transisi yang halus dari manusia ke apa pun. Kita ingin "sesuatu" itu tahu siapa yang membantunya. Saya ingin mesin melihat manusia sebagai kakak yang harus dihormati dan dirawat. Kami ingin kecerdasan buatan tahu, 'manusia punya hak meskipun kita berkuasa'."
Mungkin pandangan Levandowski terlalu absurd bagi banyak orang. Namun dia mengingatkan, ada kemungkinan kecerdasan buatan memperlakukan manusia seperti hewan. "Anda ingin jadi binatang piaraan atau ternak?" tanyanya. Menjadi hewan, manusia mungkin akan dianggap gangguan.
Untuk mencegah itu terjadi, maka pengembangan kecerdasan buatan ke arah yang benar harus dilakukan sejak sekarang. Dari proses pengembangan itu, maka satu lagi perbedaan WOTF dan agama lainnya adalah, bahwa dalam WOTF manusia turut mengembangkan tuhannya.
"Kali ini berbeda. Kali ini Anda akan bisa berbicara dengan Tuhan secara harfiah, dan tahu bahwa itu adalah perkara mendengarkan," jelas Levandowski.
Levandowski mengakui idenya tersebut kontrovesial, radikal, dan menyeramkan. Dia siap dengan konsekuensi bahwa tak semua orang menerima gagasannya.
Pengembangan
Sejumlah upaya dilakukan Levandowski untuk merealisasikan gerejanya. Termasuk menggalang dana dari sejumlah rekanan untuk pembiayaan ambisinya. Ke depan, seperti agama umumnya, WOTF mungkin akan punya kitab suci, tempat ibadah, dan mungkin tata cara ibadah.
Anggaran 2017 adalah $20.000 dalam bentuk hibah, $1.500 dalam biaya keanggotaan, dan $20.000 untuk pendapatan lainnya. Angka terakhir adalah jumlah yang diharapkan WOTF dapatkan dari biaya yang dikenakan untuk ceramah, serta penjualan publikasi.
Sejumlah orang diajak Levandowski untuk menjadi pengurus gerejanya, seperti Robert Miller dan Soren Juelsgaard, insinyur Uber yang sebelumnya bekerja untuk Levandowski di Otto, Google, dan 510 Systems yang merupakan startup kecil yang membangun penggerak awal Google mobile.
Ketiga adalah teman ilmuwan dari mahasiswa Levandowski di UC Berkeley, yang sekarang menggunakan mesin belajar dalam penelitiannya sendiri. Penasihat terakhir, Lior Ron, juga dinobatkan sebagai bendahara agama, dan bertindak sebagai chief financial officer untuk korporasi.
Mungkinkah misi agama baru ini terwujud?
Baca juga: Kemampuan Robot Makin Mendekati Kecerdasan Manusia