Upaya Prancis Menutupi Penjajahan Mereka di Masa Lalu
https://www.naviri.org/2017/10/upaya-prancis-menutupi-penjajahan.html
Naviri.Org - Era perang dunia memang sudah lama berlalu, dan peta kekuatan negara-negara dunia juga sudah berubah. Sebagian negara yang dulu kuat kini menjadi negara biasa, sementara negara yang dulu terjajah juga ada bangkit menjadi negara kuat. Terkait hal itu, Prancis adalah salah satu negara yang memiliki kekuatan luar biasa di masa lalu, hingga menjadi penjajah di banyak negara.
Sejarah telah mengungkapnya betapa banyaknya aksi penjajahan yang dilakukan Prancis, terhadap negara-negara di Eropa, Afrika, juga Asia. Kini, ketika zaman sudah modern, Prancis tampaknya berupaya untuk bisa menutup-nutupi aksi barbar mereka di masa lalu. Salah satunya adalah dengan mengajarkan pada murid-murid sekolah, bahwa penjajahan itu baik. Tentu saja ang dimaksud “penjajahan” dalam konteks ini adalah penjajahan yang dilakukan Prancis pada negara-negara lain.
Pada 23 Februari 2005 silam, Majelis Nasional Prancis mengesahkan sebuah undang-undang hukum. Dalam Pasal 4, terdapat ketentuan yakni setiap guru yang mengajar di jenjang sekolah tinggi atau setara SMA diwajibkan mengajarkan nilai-nilai positif dari kolonialisme kepada siswa mereka.
Kontroversi dari Pasal 4 adalah adanya pengakuan dan mengenali khususnya peran positif dari kehadiran Prancis di luar negeri, terutamanya di tanah Afrika Utara—wilayah yang banyak menjadi koloni atau dijajah Prancis. Kewajiban ini seakan mengabaikan atau bahkan mengubur catatan-catatan buruk dan kelam dari praktik kolonialisme Prancis.
Masyarakat di Afrika Utara, terutama Aljazair, Maroko, dan Tunisia, menentang keras kebijakan Prancis yang meloloskan aturan baru dalam mengajarkan kolonialisme di bangku sekolah.
Bagi Aljazair, kebijakan ini seperti membubuhkan cuka pada luka lama mereka lewat peristiwa Pembantaian Aljazair yang dilakukan semasa Prancis berkuasa di tanah mereka. Mei 1945 silam, tentara Prancis menewaskan ribuan orang Aljazair di sekitar kota Setif dalam perayaan untuk menandai kekalahan Nazi Jerman, dan sekaligus menyuarakan protes pro-kemerdekaan.
Karena jaraknya yang berdekatan, Aljazair menjadi negara yang sangat menyayangkan kebijakan Prancis itu.
Hanya sedikit yang diajarkan di sekolah-sekolah Prancis terkait serentetan peristiwa berdarah tersebut.
Menanggapi kebijakan itu, sejumlah sejarawan Prancis ramai-ramai mengkritik kebijakan pemerintah mereka. "Ada risiko nyata bahwa kita akan berakhir menyembunyikan kejahatan dan rasisme yang melekat dalam kenyataan kolonialisme," kata Claude Liauzu, seorang sejarawan untuk urusan kolonial Prancis di Universitas Paris seperti dikutip BBC.
Beberapa bulan setelah pengesahan tersebut, The Guardian melansir ihwal petisi dari 1.000 sejarawan, penulis, dan intelektual, yang menuntut pencabutan undang-undang baru tersebut yang telah mewajibkan para guru sejarah di sekolah untuk menekankan aspek positif dari kolonialisme Prancis.
Narasi dalam produk hukum yang antagonis ini nyatanya memicu serangkaian kritik, terutamanya dari kelompok sayap kiri dan negara-negara bekas koloni.
Pada akhirnya, Dewan Konstitusi menetapkan bahwa regulasi buku pelajaran sejarah merupakan hal administrasi, bukan hukum. Dengan demikian, pengesahan undang-undang yang menimbulkan pro dan kontra ini dicabut pada awal tahun 2006.
Baca juga: Sejarah Gelap Kolonialisme Prancis di Masa Lalu