Suami Istri Bekerja, dan Rumitnya Membina Rumah Tangga
https://www.naviri.org/2017/10/suami-istri-bekerja.html
Naviri.Org - Ketika pria dan wanita menikah untuk bersatu membangun rumah tangga, biasanya ada semacam pembagian peran untuk masing-masing. Umumnya, pria bertugas mencari nafkah, sementara wanita bertugas di rumah sebagai ibu rumah tangga, termasuk mengurus anak (kalau memiliki anak). Bisa dibilang, pembagian tugas atau peran semacam itu jamak dilakukan di mana-mana.
Namun, seiring perkembangan zaman, pembagian tugas semacam itu mulai bergeser. Jika dulu tugas mencari nafkah ada di pundak pria, kini wanita juga mulai mengambil peran itu. Misalnya, ada pasangan suami istri yang pihak suaminya kesulitan mencari kerja. Karena latar belakang itu, pihak istri kemudian berinisiatif untuk menjadi TKI yang bekerja di luar negeri, sementara pihak suami diam di rumah mengurus anak-anak. Dalam hal ini, si pencari nafkah berpindah ke pundak istri.
Ada pula, pasangan suami istri yang sama-sama bekerja. Hal semacam itu bisa terjadi karena berbagai latar belakang. Bisa jadi, sebelum mereka menikah, si wanita atau si istri sudah lama bekerja. Jadi, ketika menikah, pihak istri merasa keberatan meninggalkan pekerjaannya, dan meneruskan bekerja meski telah ada suami yang memberi nafkah. Apalagi jika pekerjaan si istri tergolong mampu menopang ekonomi rumah tangga.
Atau, ada pula suami istri yang sama-sama bekerja, karena alasan ekonomi semata-mata. Bisa jadi, ketika awal menikah, pihak suami yang bekerja, sementara si istri mengurus rumah tangga. Namun, lantaran gaji atau penghasilan suami tidak mencukupi, akhirnya si istri terpaksa juga ikut bekerja mencari nafkah.
Dalam hal ini, tentu saja, semua kembali ke pilihan masing-masing pasangan. Namun, ada yang menarik dari hal-hal di atas. Ketika suami maupun istri sama-sama bekerja, dan kebetulan gaji atau penghasilan istri lebih besar atau lebih tinggi dari penghasilan suami, kadang suami jadi merasa rendah diri. Itu bisa dibilang rahasia umum yang terkait rumah tangga. Selain itu, ada pula hal-hal lain yang mengilustrasikan peliknya pria wanita, terkait urusan kerja dan rumah tangga.
Sebuah studi pada 2013 dari Pierce et.al. juga mengafirmasi efek buruk dari istri berpendapatan lebih tinggi dari pasangannya. Berdasarkan temuan mereka, suami yang bergaji jauh lebih rendah dari istri cenderung mengalami masalah seksual dan psikologis. Sementara bagi istri, menjadi pencari nafkah utama dapat mendatangkan stres dan insomnia untuk mereka.
Perkara psikologis seperti stres dan kecemasan yang ditemukan dalam diri responden penelitian ini berasal dari kerangka berpikir tradisional yang masih memilah secara tegas peran kedua gender.
Temuan Pierce et.al. tak serta merta dapat menjadi landasan generalisasi dalam melihat kondisi rumah tangga dengan istri bekerja. Sejumlah studi lain terus menggali efek-efek positif lainnya dari partisipasi perempuan sebagai pencari nafkah. Satu di antaranya dirilis pada 2016 yaitu dari para sosiolog University of Connecticut.
Menurut studi tersebut, suami yang menjadi pencari nafkah utama cenderung mengalami masalah psikologis dan kesehatan—sebuah temuan yang berseberangan dengan penelitian Pierce et. al. Mengapa demikian? Nilai tradisional yang mendorong suami untuk menjadi tulang punggung keluarga mendatangkan tekanan lebih besar untuk fisik dan psikis mereka.
“Laki-laki diharapkan menjadi pencari nafkah, tetapi mendanai kebutuhan keluarganya dengan sedikit sekali atau bahkan tanpa bantuan siapa pun menimbulkan dampak negatif untuk mereka,” ungkap Christin Munsch, profesor Sosiologi University of Connecticut seperti dilansir The Guardian.
Temuan studi ini menyuguhkan fakta bahwa tidak hanya perempuan yang terdampak dari implementasi nilai tradisional seputar peran gender dalam rumah tangga. Laki-laki pun sebenarnya menanggung beban besar yang tak melulu dan tak seluruhnya dapat tahan melaksanakannya.
Mengingat berumah tangga bukanlah perkara sepele, apalagi untuk urusan finansial, sebagian orang pun merasa pernikahan yang paling ideal bagi mereka adalah pernikahan di mana kedua belah pihak sama-sama mencari nafkah.
Studi dari University of Connecticut tadi juga menemukan, istri yang menjadi pencari nafkah utama lebih bahagia dan sejahtera. Menurut Munsch, perempuan bisa memandang mencari nafkah sebagai suatu kesempatan atau pilihan, bukan tuntutan masyarakat. Berkarier bagi perempuan menciptakan suatu kebanggaan tersendiri, dan bila mereka suatu hari memutuskan tidak lagi meneruskannya, mereka tidak akan seperti laki-laki yang jamak dihujani pandangan merendahkan di lingkungan konservatif.
Baca juga: Konflik Menantu-Mertua, dan Panduan Mengatasinya