Hoax: Dari Perburuan Penyihir Sampai Kebangkitan Hitler
https://www.naviri.org/2017/10/hoax-hitler.html
Naviri.Org - Hoax adalah kabar atau berita bohong yang sengaja dihembuskan untuk suatu tujuan. Dalam hal ini tentu saja sesuai tujuan pihak yang menghembuskan berita bohong alias hoax tersebut. Meski istilah hoax santer disebut-sebut pada akhir-akhir ini, namun keberadaan hoax sebenarnya sudah ada sejak zaman dulu. Setidaknya, kita bisa menengok kisah perburuan orang-orang yang dituduh sebagai penyihir di Salem, Massachusetts, dan kisah kebangkitan Nazi Hitler.
Di Amerika Serikat, tepatnya Kota Salem, Massachusetts, memburu dan melenyapkan nyawa orang-orang yang dituduh sebagai penyihir atau pelaku ilmu hitam di akhir abad ke-17 adalah semacam tradisi yang dilakukan warga setempat dengan penuh semangat. Tradisi ini diteruskan dari perburuan para tertuduh penyihir di Eropa, sejak abad-abad sebelumnya.
Dalam periode gelap yang dinamakan Salem Witch Trials itu, tercatat ada 20 orang yang dieksekusi, di mana 14 di antaranya perempuan, dengan cara digantung, dan lima lain (termasuk dua bayi) mati dipenjara. Sebanyak 12 perempuan lainnya juga sebelumnya telah dieksekusi di daerah Massachusetts dan Connecticut. Total orang yang ditangkap dan dipenjara tanpa ada kejelasan nasib kurang lebih 200-an orang, demikian menurut catatan Smitsonian Magazine.
Mereka rata-rata dinyatakan bersalah tanpa bukti kuat. Ada bumbu konflik politik berbalut intrik agama. Mereka adalah korban dari kabar yang diproduksi bukan berdasar pada fakta keras. Beberapa bahkan ada yang dibantai karena ketidaksukaan atau perselisihan personal. Disayangkan bahwa para korban hidup di era ketakutan warga seakan ilmu sihir sedang tinggi-tingginya. Apalagi New England sengaja dibentuk sebagai komunitas hidup yang sepenuhnya didasarkan pada Alkitab, sehingga warganya teramat antipati dengan segala bentuk ilmu hitam.
Penyebaran hoax pula yang digunakan Partai Nazi untuk secara politis membangun kekuatannya sejak awal 1930-an. Korbannya adalah kaum Yahudi yang ada di Jerman pada khususnya dan Eropa pada umumnya. Adolf Hitler tahu bahwa propaganda mesti jadi mesin nomor satu agar ia bisa sampai di puncak kekuasaan. Joseph Goebbels dipercaya oleh Hitler untuk melaksanakan tugas ini, dan hingga berakhirnya Perang Dunia (PD) II ia tergolong sukses melaksanakan tugas tersebut.
Sebagaimana paparan Ian Kershaw di buku Hitler: 1889-1936 Hubris, Goebbels piawai mengarang cerita-cerita hoax tentang orang Yahudi. Melalui kanal radio, koran, dan lain sebagainya, disebutkan bahwa orang-orang Yahudi adalah sumber kekacauan ekonomi rakyat Jerman karena merebut sektor pekerjaan penting di negara tersebut. Sentimen anti-Yahudi di bidang ekonomi melahirkan gerakan pemboikotan produk bikinan orang Yahudi, demonstrasi, dan lain sebagainya. Orang-orang Yahudi juga dijadikan alasan utama mengapa Jerman kalah di PD I.
Hoax yang beredar kemudian bercampur dengan cerita-cerita yang sesungguhnya tak masuk akal. Misalnya, orang-orang Yahudi dituduh menculik dan membunuh anak-anak Kristen yang darahnya lantas dipakai dalam ritual hari raya orang Yahudi. Demi sekaligus memetik keuntungan di lapangan politik, orang-orang Yahudi dituduh sebagai perancang Bolshevisme, Komunisme, dan Marxisme—ideologi-ideologi lawan utama Nazi.
Bangsa Yahudi, pada akhirnya, digambarkan sebagai sekumpulan orang yang berjiwa culas, berstatus parasit, dan inferior belaka. Mereka wajib dibenci, dan jika bisa, diusir secara permanen dari Jerman.
Taktik propaganda ini berhasil menaikkan Partai Nazi ke tampuk kekuasaan tertinggi di Jerman, hingga Jerman terlibat sebagai salah satu pemain besar di Perang Dunia II. Kebencian rasialis itu pula yang mendorong Hitler untuk melangkah ke level baru: pembantaian 6 juta orang-orang Yahudi sepanjang 1941-1945. Kebijakan yang terstruktur dan sistematis ini didukung oleh sebagian besar warga Jerman pada waktu itu, yang telah kenyang makan propaganda Goebbels.
Goebbels tentu tahu jika yang ia sodorkan ke muka umum tidaklah 100 persen akurat. Namun, demi kepentingan politis, Goebbels juga paham bahwa perkara kebenaran informasi di mata publik Jerman tak mesti didasarkan pada fakta ilmiah, namun juga bisa berasal dari sekeranjang kebohongan. Kuncinya satu: sebarkanlah sebanyak-banyaknya dan sesering mungkin.
“Jika Anda menyampaikan kebohongan dengan sering dan berulang-ulang,” ujar Goebbels, “orang akan mempercayainya sebagai sebuah kebenaran—bahkan termasuk Anda sendiri.”
Baca juga: Foto Terakhir Adolf Hitler Sebelum Tewas