Sejarah dan Perkembangan Tembakau di Indonesia
https://www.naviri.org/2017/09/sejarah-dan-perkembangan-tembakau.html
Naviri.Org - Indonesia adalah salah satu negara yang menjadi penghasil tembakau besar di dunia. Tanaman ini mulai berharga tinggi pada akhir 1800-an, lantaran sentuhan industri, namun mulai menjadi kontroversi pada 1980-an ketika Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memberi label "anti", sebab dituding sebagai biang banyak penyakit.
Hingga hari ini, Indonesia masuk peringkat keenam sebagai negara penghasil tembakau terbanyak di dunia. Hasil panen tembakaunya, menurut data yang diperoleh pada 2012, menyumbang 2,67 persen pasokan daun tembakau di pasar global, atau setimbang dengan 165 ribu ton per tahun.
Pada tahun yang sama, produksi tembakau Indonesia mencetak rekor tertinggi selama 30 tahun terakhir. Dari data Kementerian Pertanian yang berhasil diolah menunjukkan angka produksi tembakau di Indonesia mencapai 260.818 ton.
Tembakau di Indonesia ditanam di hampir 200 ribu hektare lahan. Dirawat dan menghidupi sekitar 551 ribu keluarga petani yang tinggal membentang di 14 provinsi. Dari Aceh di barat negeri, hingga Nusa Tenggara Timur.
Dengan paparan data sedemikian, patut kiranya Indonesia disebut sebagai negeri yang kaya tembakau. Hasil panen tembakau yang 90 persennya lebih dimanfaatkan untuk industri rokok, dengan kualitas yang cukup diperhitungkan dunia, sepatutnya republik menaruh perhatian lebih terhadap komoditas tembakau.
Namun itu mungkin tinggal cerita, sebab kondisi nyata memang berbeda. Sejak 1990, Indonesia mulai melakukan impor tembakau. Saat itu, produksi dalam negeri yang berjumlah 150 ribu ton lebih dirasa tak mencukupi kebutuhan nasional. Alhasil, sebanyak 26 ribu ton lebih tembakau impor menyusup masuk ke pasar nasional. Kebanyakan tembakau impor berasal dari Tiongkok, Brasil dan Amerika Serikat.
Penyusupan impor tembakau pada 26 tahun lalu itu momentum berbaliknya keadaan selama hampir puluhan tahun sebelumnya. Tercatat selama 20 tahun sebelum 1990, laju ekspor tembakau Indonesia selalu berada di atas impor.
Setahun kemudian, alih bisa membalikkan keadaan, impor Indonesia akan tembakau meningkat. Pada 1991, angka impor menanjak hingga 28 ribu ton lebih. Sejak itu negeri kaya tembakau ini harus rela berbagi porsi dengan tembakau luar negeri.
Lantas apa yang terjadi pada rentang masa itu? Dicuplik dari penelitian Tobacco Control Support Center yang berisikan para ahli kesehatan masyarakat pada 2012, kala itu disimpulkan terjadi penurunan produksi daun tembakau secara global. Penurunan itu rupanya tercatat juga di Indonesia. Sayangnya di Indonesia, penurunan produksi daun tembakau terus terjadi hingga satu dekade berikutnya.
Produksi pada 1990 tercatat dalam data Kementerian Pertanian dan Badan Pusat Statistik mencapai 156 ribu ton, menurun terus hingga menjadi 135 ribu ton pada tahun 2010.
Produktivitas lahan tembakau Indonesia sempat mengalami kenaikan dari 649 kg/ha pada 1995 menjadi 867 kg/ha pada 2009. Namun kembali menurun pada tahun 2010 menjadi 764 kg/ha.
Menurut TCSC, proporsi lahan pertanian tembakau dibanding total lahan pertanian di Indonesia semakin lama terus menurun. Pada 1990 proporsi lahan pertanian tembakau sebesar 0.52 persen dari luas seluruh lahan pertanian di Indonesia, sedangkan pada 2010 proporsinya tinggal 0,38 persen. Dari luasan lahan 235.866 Hektare di 1990 menjadi 216 ribu hektare saja pada 2010.
Terlihat dari data, selama 20 tahun terakhir, terdapat kecenderungan peningkatan impor daun tembakau. Berbanding terbalik dengan ekspornya.
Pada 2010, Indonesia mengimpor 65 ribu ton lebih daun tembakau setara 48 persen dari total produksi, dan mengekspor 57 ribu ton atau sekitar 42 persen dari total produksi. Jika dilihat dari nilai net ekspor, selama 20 tahun (1990-2010) Indonesia selalu mengalami net ekspor negatif yang berarti lebih banyak mengimpor dibandingkan mengekspor (kecuali 1990, 1992 dan 1998).
Selama dua dekade ini, Indonesia mengekspor daun tembakau berkisar antara 11,1 persen hingga 47,3 persen dari total produksi. Namun juga mengimpor daun tembakau sebesar 17-48,4 persen dari total produksi.
Rasio Impor daun tembakau terhadap konsumsi berkisar antara 14 persen hingga 54,8 persen selama 19 tahun. Dilihat dari rasio impor terhadap ekspor, terlihat bahwa selama 12 tahun Indonesia lebih banyak mengimpor daripada mengekspor, sedangkan 7 tahun sisanya Indonesia lebih banyak mengeskpor daun tembakau.
Walaupun nilai net ekspor negatif tersebut besarnya cenderung fluktuatif dari tahun ke tahun, akan tetapi lima tahun terakhir nilainya semakin negatif yang artinya Indonesia semakin banyak mengimpor daun tembakau yang pada 2010 jumlahnya mencapai USD183,077 juta.
Bukan hanya soal produksi, Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) menilai terbitnya PP No.109/2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan juga merugikan petani tembakau dan terkesan membuka keran bagi impor tembakau sebesar-besarnya. Apa sebab?
Dalam aturan itu, tercantum pasal-pasal yang memberatkan petani, terutama yang mengatur soal standarisasi, tata niaga, diversifikasi produk dan kegiatan promosi juga periklanan produk hasil tembakau.
PP No.109/2012 menurut asosiasi jelas menekan industri hasil tembakau, yang selanjutnya dapat dipastikan turut menggencet petani. Pasal 10 hingga pasal 12 dalam aturan itu soal adanya standardisasi hasil tembakau, jelas tak akan bisa dipenuhi petani Indonesia.
"Implementasi PP itu juga dapat menyebabkan produk tembakau impor membanjir, karena tembakau itu lebih dapat memenuhi standarisasi ketimbang tembakau lokal," demikian pernyataan asosiasi dalam kesempatan jumpa media.
Aturan lain yang menghimpit perkembangan tembakau dalam negeri dan melonggarkan impor tembakau adalah Peraturan Pemerintah No 38 tahun 2000 tentang Pengamanan Rokok Bagi Kesehatan. Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) mengatakan aturan itu mengatur soal kandungan zat yang terkandung di dalam rokok seperti kadar tar dan nikotin. Aturan itu hanya bisa dipatuhi oleh tembakau impor. "Itu akhirnya, impor tembakau Indonesia terus naik tiap tahun," kata mereka.
Data GAPPRI memaparkan, pada 2011 jumlah impor tembakau Indonesia mencapai 64,8 juta kilogram (kg) atau senilai US$ 376,3 juta. Jumlah ini terus meningkat tajam pada 2012 yang sebanyak 104,4 juta kg atau senilai USD503,2 juta dan 2012 sebanyak 133,8 juta kg atau senilai USD665,5 juta.
Penurunan impor baru terjadi pada 2013 yang menjadi 121,2 juta kg atau senilai USD627,3 juta. Namun jumlah itu pun masih terhitung besar. Posisinya sekarang lebih dari 50 persen kebutuhan tembakau untuk kebutuhan produksi rokok itu berasal dari impor. Kondisi diperparah dengan menurunnya produksi tembakau Virginia, varietas tembakau asal Amerika Serikat yang sesuai standar WHO, di Indonesia.
Baca juga: Sumbangan Pajak Tembakau Terhadap Negara