Indonesia, Negara dengan Petani Tembakau Terbesar
https://www.naviri.org/2017/09/petani-tembakau.html
Naviri.Org - Sebagai negara yang menjadi salah satu penghasil tembakau terbesar di dunia, Indonesia pun menjadi negara yang memiliki petani tembakau sangat banyak. Sampai saat ini, populasi petani tembakau di Indonesia merupakan yang terbesar di Asia Tenggara, angkanya mencapai 527.688 jiwa.
Pada peringkat kedua, masih soal jumlah, adalah Vietnam yang memiliki 220 ribu orang petani tembakau, lalu diikuti Filipina dengan 55.533 orang petani tembakau, Thailand dengan 49 ribu orang, Kamboja dengan 13 ribu orang, dan posisi terakhir Malaysia dengan tiga ribu orang petani tembakau.
Di Indonesia, ratusan ribu petani itu tersebar di 15 daerah penghasil tembakau. Lebih dari separuh jumlah petani tembakau, tepatnya 301.847 orang, menggarap lahan di Jawa Timur. Daerah yang memiliki populasi terbanyak kedua adalah Jawa Tengah dengan jumlah 102.072 orang, disusul Jawa Barat dengan 25.601 petani tembakau.
Berdasar penelitian Tobacco Control Support Center yang berisikan para ahli kesehatan masyarakat pada 2012, selama kurun waktu 1996-2010, jumlah petani tembakau di Indonesia sebenarnya berfluktuasi antara 400 ribu hingga 900 ribu orang. Jika dibandingkan dengan jumlah petani di seluruh sektor pertanian, maka persentase fluktuasinya berkisar antara 1,0 persen hingga 2,6 persen.
Tercatat, selama satu dekade terakhir terjadi kenaikan jumlah petani tembakau secara absolut maupun relatif terhadap jumlah seluruh pekerja. Angkanya dari 665 ribu menjadi 689 ribu atau terjadi kenaikan sebesar 3,61 persen.
Dalam kurun waktu yang sama, proporsi petani tembakau terhadap pekerja sektor pertanian tidak berubah, yaitu tetap pada angka 1,6 persen. Sementara itu, proporsi petani tembakau terhadap seluruh pekerja menurun dari 0,7 persen menjadi 0,6 persen.
Harga riil daun tembakau mengalami peningkatan hingga tujuh kali lipat mulai dari Rp1.016 per kilogram pada 1996, menjadi Rp7.580 per kilogram pada 2006 dan angka itu terus berlipat hingga hari ini. Namun sayang kenaikan itu tak berdampak banyak kepada para petani.
Umumnya, petani tembakau tidak mencurahkan waktu secara penuh untuk mengelola tanaman tembakau. Selain menanam tembakau mereka juga melakukan kegiatan pertanian lain. Selama kurun waktu 1990 hingga 2010, rata-rata jumlah petani tembakau setara purna waktu berkisar di jumlah setengah juta orang. Itu mengapa kebanyakan petani tembakau tak terlalu hirau dengan isu kesejahteraan. Baru belakangan saat tembakau impor mulai menginvasi, mereka baru merasa gerah.
Dalam relasi petani, kesejahteraannya dan industri terdapat satu profesi unik yang menjembatani semua. Grader namanya. Di tangan para grader yang memiliki tugas memilihkan tembakau terbaik bagi industri itu, rantai komoditas tembakau dan kesejahteraan petani bergantung.
Melalui penciuman, grader bisa membedakan, tembakau biasa saja dengan tembakau yang berkualitas super. Lapisan harga serta jenis ia ciptakan setiap kali panen berlangsung. Konon, seorang grader bisa membuat 40 lapisan harga dalam setiap kali panen tembakau, mulai dari harga Rp500 per kilogram hingga Rp25 ribu per kilogram.
Sayangnya di balik keunikan profesi grader ini, terdapat ganjalan. Ada sebuah kultur perdagangan yang ditentukan secara sepihak dan itu terpelihara selama berpuluh tahun dalam skema bisnis tembakau. Apa sebab? Dengan adanya grader, petani tak pernah tahu bagaimana grader menentukan atau memperoleh nilai untuk selembar daun tembakau.
Itu mengkibatkan posisi tawar petani berada pada kedudukan si lemah, sebab sangat bergantung kepada penilaian grader yang rata-rata posisinya merupakan utusan industri. Meski belum pernah terjadi tumbukan besar antara grader dan petani, dalam relasi bisnis daun tembakau semacam itu, hidup mati kesejahteraan petani ada di tangan para grader.
Baca juga: Ternyata, Tembakau Bisa Mengatasi Virus Ebola