Keperawanan Wanita, dari Masa ke Masa
https://www.naviri.org/2017/09/keperawanan-wanita.html?m=0
Naviri.Org - Pada era 1990-an, ada artis penyanyi terkenal bernama Farid Harja yang menceraikan istrinya setelah menikah sehari sebelumnya. Berita pernikahan yang teramat singkat itu—hanya satu hari—sempat menghebohkan Indonesia waktu itu. Meski tidak dijelaskan secara gamblang sebab musabab perceraian, banyak pihak yang menduga bahwa perceraian itu disebabkan kekecewaan Farid Harja yang mendapati istrinya tidak perawan.
Kisah itu hanya satu contoh, karena ada banyak kisah atau berita serupa, terkait artis atau orang terkenal maupun orang biasa, yang bercerai karena dilatarbelakangi kenyataan si wanita (istri) ternyata sudah tidak perawan.
Keperawanan, khususnya bagi masyarakat dengan budaya ketimuran seperti Indonesia, memiliki nilai yang tinggi, khususnya dalam menilai seorang wanita. Seorang wanita yang masih perawan, dalam pandangan pria, adalah wanita yang masih “suci” dalam arti belum pernah berhubungan seks dengan pria lain sebelumnya. Bagi pria yang menganggap keperawanan sebagai hal penting, keperawanan bisa dibilang syarat mutlak dalam memilih dan mencari pasangan.
Lain lubuk memang lain belalang, kata pepatah. Begitu pula dengan keperawanan wanita. Jika di kalangan masyarakat Indonesia banyak pihak yang menilai penting keperawanan, ada pula masyarakat di tempat lain yang menganggap keperawanan sebagai hal “biasa” atau tidak terlalu diperhitungkan.
Kultur di masyarakat Amerika dan Eropa, misalnya, menganggap keperawanan sebagai hal yang alami, dan kehilangan keperawanan juga sesuatu yang sama “alami”, terlepas bagaimana si wanita menghilangkan keperawanannya.
Dari masa ke masa, nilai keperawanan juga tampaknya kian mengalami perubahan, termasuk di Indonesia. Diakui atau tidak, sebagian kalangan di Indonesia juga mulai menganggap kehilangan keperawanan sebelum menikah adalah hal biasa, sehingga ada cukup banyak wanita yang telah kehilangan keperawanan, meski statusnya masih lajang atau belum menikah.
Terkait keperawanan, ada cerita menarik dari Thailand. Di sana ada seorang artis wanita, bernama Aranya "Pui" Pathoumthong. Dia berusia 40 tahun, dan masih perawan. Karenanya, dia menawarkan keperawanannya secara gratis melalui sebuah Billboard. Tapi dia juga tidak sembarangan memberikan keperawanannya. Dia akan menyerahkan keperawanan miliknya, kepada pria yang bersedia menikahinya.
Persoalan keperawanan memang selalu menarik dicermati, karena menyangkut hal penting dalam hubungan pria-wanita. Bagaimana pun, sebagian wanita ada yang tetap menganggap keperawanan sebagai hal penting—sehingga menjaganya mati-matian dan hanya diberikan kepada pasangan yang resmi—namun sebagian lain ada yang menganggap keperawanan sudah tak penting lagi. Di pihak lain, sebagian pria juga terbagi dua dalam anggapan yang sama. Sebagian menganggap keperawanan tetap penting, sebagian lain menganggapnya tidak penting.
Allison Danish, dalam tulisannya, “Virginity is a Social Construct”, menyatakan bahwa kehilangan keperawanan tidak berarti “menurunkan harga diri manusia”, dan berhubungan seks untuk pertama kalinya adalah hal “penting”.
Sementara asisten profesor sosiologi di Universitas Vanderbilt di Tennessee, Laura Carpenter, menyatakan bahwa keperawanan memiliki nilai yang tinggi pada manusia zaman dulu.
Di Amerika Serikat, pada tahun 1950-an, perempuan diharapkan untuk tetap mempertahankan kegadisannya hingga menikah. Namun, ketersediaan pil dan IUD pada tahun 1960 yang dikombinasikan dengan gerakan-gerakan hak gay, membuat perempuan yang terlibat seks pranikah menjadi hal yang umum di Amerika Serikat.
Mengacu pada laporan Centers for Disease Control and Prevention, rata-rata perempuan Amerika kehilangan keperawanannya di usia 17 tahun, yang sebagian besar belum menikah di usia tersebut. Bahkan perempuan yang perawan di usia 20 hingga 24 tahun hanya berkisar 12,3 persen.
Selain itu, menurut WHO, dalam laporannya yang berjudul “Sexual Behaviour in Contex: a Global Perspective” juga mengungkapkan bahwa di Inggris, Australia, dan Norwegia, rata-rata perempuan kehilangan keperawanan di usia 17 tahun. Sedangkan di Prancis dan Italia, rata-rata perempuan di negara tersebut kehilangan keperawanan di usia 18 tahun.
Namun yang perlu diingat, bahwa menurut laporan BBC, sebagian besar perempuan yang telah melakukan hubungan seksual untuk pertama kalinya di usia 15 belas tahun akan merasa tertekan. Lebih dari satu per tiga perempuan mengatakan mereka menyesal berhubungan seksual.
Bagaimana pun, alasan dan motif memainkan peran penting dalam pengambilan keputusan para perempuan yang ingin melepas keperawanannya.
Baca juga: Kisah Para Wanita yang Menjual Keperawanan Mereka