Mengungkap Fakta Kelam di Balik Kesuksesan iPhone
https://www.naviri.org/2017/09/fakta-kelam-di-balik-iphone.html
Naviri.Org - iPhone adalah gawai atau gadget yang sangat populer di dunia, yang lambangnya dikenali dengan apel tergigit. Sejak pertama diciptakan, gawai iPhone memang segera mencuri perhatian dunia, karena menawarkan kualitas yang tak dimiliki rata-rata gawai lain. Steve Jobs, sang pendiri perusahaan iPhone, bahkan dikenang sebagai inventor genius yang mengubah dunia melalui gawai yang ia ciptakan.
Kini, iPhone telah berusia sepuluh tahun. Selama satu dasawarsa, gawai iPhone telah terjual 1,2 miliar unit di seluruh dunia. Keberadaan iPhone tidak bisa dipisahkan dari kerja keras para buruh pabrik komponen elektronika, Foxconn, yang salah satunya ada di Longhua, Shenzen, Cina. Foxconn adalah perusahaan manufaktur elektronik terbesar di dunia.
Beberapa tahun lalu, nama Foxconn kurang sedap, terkait urusan nasib para pekerja. Perusahaan asal Taiwan itu terkenal dengan fenomena bunuh diri yang dilakukan para pekerjanya di Cina. Dalam laporan investigasi Brian Merchant untuk The Guardian, diketahui bahwa pabrik raksasa tersebut adalah rumah bagi 450.000 buruh. Saat ini jumlahnya diyakini lebih sedikit, tulis Merchant, namun tetap menjadi salah satu operasi pabrik terbesar di dunia.
Kasus bunuh diri para pekerja di Foxconn sudah dimulai pada 2007, yang dicatat sejumlah media lokal melibatkan seorang buruh pria yang gantung diri di toilet pabrik. Kasus selanjutnya pada 2009, yang menimpa Sun Dan-yong, buruh berusia 25 tahun. Ia diyakini stres karena dituduh mencuri prototipe iPhone baru. Ia mengaku dipukuli tim keamanan pabrik saat diinterogasi. Pada 15 Juli jadi momen terakhir kalinya sebagai pekerja di Foxconn, ia mengirim pesan terakhir ke pacar, dan keesokan harinya loncat dari lantai 12 gedung apartemen.
Pada 2010 jadi tahun paling merepotkan bagi Foxconn dan tentu para kliennya seperti Apple, Sony, Nintendo, dan HP karena mereka menjadi sorotan. Pada tahun itu, tingkat bunuh diri di kalangan buruh Foxconn meningkat tajam. Tercatat ada 18 aksi percobaan bunuh diri, sebanyak 14 di antaranya berakhir kematian dan sisanya berhasil digagalkan.
Rata-rata para korban mengikuti jejak Sun-Dan yong, mengakhiri hidup dengan terjun dari ketinggian termasuk dari gedung pabrik. Beberapa di antaranya ada yang memilih cara lain, dan ada juga yang memutuskan untuk loncat dari jendela kamar kos-kosan.
Bunuh diri seolah jadi "ritual" tahunan di pabrik Foxconn. Selain pada 2010, ada empat kasus serupa muncul di 2011, satu kasus terjadi lagi pada 2012. Pada 2012 juga sempat ada ancaman 150 pekerja yang akan bunuh massal diri di pabrik. Lalu ada dua kasus pada 2013. Pada 2016 ada satu kasus bunuh diri. Angka-angka ini yang muncul ke permukaan, karena diperkirakan kenyataannya bisa lebih dari itu. Media massa, terutama dari luar Cina, amat susah untuk membuat laporan yang komprehensif atas kasus yang mencuat di Foxconn termasuk harus dialami oleh Merchant.
Selain Sun Dan-yong, kasus lain yang mencuri perhatian publik dialami oleh Wang Ling, buruh perempuan berusia 25 tahun yang diketahui mengalami masalah psikis sehingga dibawa ke rumah sakit jiwa. Persoalan tekanan kerja dan sosial yang dipendam sejak lama, mendorong Ling memutuskan untuk mengakhiri hidup dengan melompat dari lantai gedung rumah sakit tempat dirinya dirawat.
Adanya kenyataan ini, elite Apple dan Foxconn pun menanggapi kasus menahun ini. Saat mendiang Steve Jobs masih hidup, ia sempat menyatakan "Kita sudah move-on."
CEO Foxconn, Terry Gou, sempat menyewa konselor dan para buruh diminta menandatangani janji tertulis berisi komitmen untuk tidak melakukan percobaan bunuh diri. Mereka juga memasang jaring raksasa di banyak dasar gedung pabrik untuk mencegah tubuh para buruh jatuh menimpa aspal. Namun, kebijakan ini dinilai tak efektif sebab dinilai tak menyentuh akar persoalan dan ada banyak cara bunuh diri dan prosesnya tak mesti dilakukan di kawasan pabrik.
Akar bunuh diri di Foxconn
Dikutip dari catatan selamat tinggal dan wawancara sejumlah pekerja yang dikumpulkan Brian Merchant, laporan kompilasi yang disusun oleh 20 universitas Cina--dari hasil wawancara 1.800 buruh di 12 pabrik Foxconn, terkait rentetan kasus di 2010, dan audit yang dilakukan Fair Labor Assosiation pada 2012 ada kesimpulan bahwa penyebab utamanya adalah tekanan kerja yang terlampau tinggi di pabrik Foxconn.
Xu, salah satu narasumber Merchant, berkata bahwa Foxcon “bukanlah tempat yang ideal untuk manusia.” Media lokal hingga internasional memang memberikan porsi liputan yang besar bagi kasus bunuh diri yang terjadi pada 2010, tapi hal ini tidaklah cukup untuk mengubah keadaan di pabrik menjadi lebih ideal, katanya.
Kerja Xu dan rekan-rekannya kerapkali melampaui durasi normal. Mereka kerap dipaksa menjalani lembur sehingga total jam kerjanya mencapai 12 jam per hari. Menurut laporan Forbes bahkan ada yang menjalani 14 jam kerja per hari dan masuk selama tujuh hari penuh dalam seminggu. Belum lagi di tengah potensi kecelakaan kerja yang masih tinggi untuk ukuran pabrik merek terkenal dunia, para buruh juga seringkali telat mendapat bayaran, termasuk untuk upah lembur.
Akar permasalahan untuk tingginya tekanan kerja di Foxconn, kata Xu dan dikonfirmasi buruh lain, adalah gaya para manajer yang terlalu agresif, tak manusiawi, dan gampang melancarkan beragam bentuk kekerasan verbal. Sikap ini ditengarai bertujuan untuk mendisiplinkan buruh, tapi efek buruknya adalah level depresi yang meningkat tajam dan membuat para buruh mudah terdorong untuk mengakhiri hidup.
Beberapa bulan sebelum Merchant datang ke Foxconn, Xu menyaksikan seorang buruh yang dikenalnya melakukan bunuh diri. Kata Xu, buruh itu dipermalukan seorang manajer di depan umum karena ia melakukan sebuah kesalahan. Sang buruh tak terima dan mengajak berkelahi, tapi berhasil didamaikan aparat kepolisian. Menurut Xu, si buruh menjadikan masalahnya jadi sangat personal dan tak mampu menahannya lagi. Tiga hari berselang, si buruh loncat dari lantai 9 gedung pabrik.
Xu bercerita bagaimana para manajer bisa marah sejadi-jadinya jika seorang buruh melakukan kesalahan kecil atau tempo kerjanya melambat. Cara memarahinya pun menegangkan: sang buruh disidang di depan buruh dan manajer lain agar ia malu dan tak mengulangi kesalahannya lagi. Akibat lingkungan kerja yang demikian, ditambah sikap culas dan tak jujur dari para manajer, Xu berkata rata-rata para buruh hanya bertahan satu tahun saja di Foxconn.
“Mereka (kalangan pekerja) menyebut Foxconn sebagai jebakan rubah sebab telah menipu banyak orang,” kata Xu
Ini berkebalikan dengan janji-janji Foxconn saat masa perekrutan, termasuk janji rumah gratis, tapi kemudian buruh dipaksa bayar listrik dan air dengan biaya yang tinggi. Para pekerja tidur di kamar sempit yang biasa dipakai untuk 8-12 orang. Foxconn mengelak dari segala bentuk asuransi sosial dan sering gagal membayar bonus. Banyak pekerja yang menandatangani kontrak tak adil sebab berisi aturan dihukum denda besar jika keluar dari pekerjaannya dalam tiga bulan pertama.
Pada kejadian ancaman bunuh diri 150 orang buruh pada 2012, pihak manajemen sempat menjanjikan perbaikan kondisi kerja dan upah. Setahun setelahnya, sekelompok buruh dengan jumlah lebih kecil juga melakukan manuver serupa lalu Foxconn pun memenuhi permintaan mereka.
Ancaman bunuh diri, pada akhirnya, jadi jalan satu-satunya dan yang paling efektif bagi para buruh Foxconn untuk menuntut hak-haknya. Hak para pekerja Foxconn tentu sebuah kewajaran di tengah kondisi berkebalikan dari produk-produk gawai yang komponennya mereka hasilkan mampu membantu kehidupan orang banyak seperti gawai iPhone yang kini ada di tangan miliaran orang di seluruh dunia.
Baca juga: Fakta Gelap Foxconn, Pabrik Elektronik Terbesar di Dunia