Orang-orang "Gila" di Balik Tren Buku
https://www.naviri.org/2016/12/tren-buku.html
Naviri.Org - Apabila kita perhatikan, tren perbukuan di Indonesia hampir selalu dicetuskan atau digerakkan oleh orang-orang “gila”. Itulah kenapa, untuk dapat melahirkan suatu tren baru, diperlukan suatu kenekatan, entah dari pihak penulis, atau dari pihak penerbit. Tanpa kenekatan, tren baru sulit dilahirkan.
Coba kita lihat tren besar yang pernah dilahirkan Moammar Emka beberapa tahun yang lalu. Emka menulis sebuah buku, ‘Jakarta Undercover’, yang merupakan hasil rangkaian reportasenya dalam dunia malam. Sebagai wartawan yang memang biasa meliput hal itu, Emka tentu memiliki kompetensi dalam bidang itu. Hanya saja, untuk dapat menerbitkan buku semacam itu, diperlukan suatu kenekatan tersendiri.
Emka mungkin sudah nekat, terbukti dia telah mengkristalkan idenya untuk menerbitkan buku tersebut. Tetapi menemukan penerbit yang sama nekatnya, pasti bukan perkara mudah. Waktu itu, penerbitan buku di Indonesia belum begitu marak, dan jumlah penerbit belum sebanyak sekarang. Kebanyakan penerbit waktu itu masih terkurung dalam “idealisme” penerbitannya, dan tentunya sulit untuk menemukan penerbit yang cukup gila agar mau menerbitkan buku yang ditulis Emka.
Tetapi, untungnya, Emka berhasil menemukan penerbit yang sama “gila”. Ketika akhirnya ‘Jakarta Undercover’ terbit, kehadirannya mampu menciptakan tren baru dalam ranah perbukuan di Indonesia. Buku ini tidak hanya luar biasa laris, tetapi juga melahirkan fenomena baru dalam industri penerbitan. Buku ini seolah mendobrak “kekakuan” dan “keangkuhan” para penerbit yang waktu itu masih berkutat dengan buku-buku berat.
Pada waktu-waktu itu, karena tren baru yang timbul, berpuluh-puluh buku terbit dengan isi yang tak jauh beda dengan buku yang ditulis Emka, meski mungkin tidak sesukses ‘Jakarta Undercover’.
Tetapi, yang jelas, kehadiran buku Emka mampu menciptakan tren besar, dan Emka bahkan sanggup mengulangi fenomena yang telah diawalinya. Berturut-turut dia menulis sekuel ‘Jakarta Undercover’ hingga tiga seri, dan semuanya mencapai best seller sebagaimana buku pertama. Sebuah pencapaian dan fenomena yang dilahirkan karena adanya seorang penulis yang nekat, dan penerbit yang gila.
Jika kita membuka sejarah hampir semua tren yang terjadi di muka bumi ini, nyaris semuanya diawali oleh orang-orang “gila”, atau setidaknya orang-orang yang nekat. Tren dalam dunia apa pun, dari dunia fashion sampai teknologi, hampir semuanya diawali atau bahkan dilahirkan oleh orang-orang “gila”, termasuk pula tren dalam dunia perbukuan. Orang-orang “waras” hanya bisa menjadi follower, orang-orang “gila” yang selalu menjadi pionir.
Begitu pula tren blook di Indonesia, tren ini pun dimulai karena adanya orang-orang “gila” di baliknya. Blook adalah sebutan untuk buku yang berasal atau diadaptasi dari blog. Jauh-jauh hari sebelum Indonesia dilanda demam blook, tren blook sudah melanda Amerika. Ya maklum saja, karena Amrik merupakan nenek moyangnya blog, jadi wajar kalau mereka mendului kita.
Nah, kalau kita menguak sejarah tren blook di Indonesia, mau tak mau kita harus menyebut nama Raditya Dika, karena “orang gila” inilah yang pertama kali menerbitkan buku yang berasal dari blog miliknya. Di Indonesia, tak terhitung banyaknya blogger lain selain Raditya Dika yang juga aktif menulis di blog. Tetapi tidak setiap mereka punya “kegilaan” atau setidaknya “kenekatan” sebagaimana Raditya Dika.
Saya tidak tahu pasti apakah Raditya Dika memang sudah memikirkan untuk menerbitkan blognya dalam bentuk buku, jauh-jauh hari sebelumnya. Tetapi fakta bahwa akhirnya dia mengumpulkan catatan-catatan blognya untuk dibukukan, itu sudah menunjukkan kalau dia cukup “gila”, karena waktu itu blook sama sekali belum dikenal di Indonesia. Saya bahkan ragu apakah penerbit di Indonesia sudah ada yang mengenal istilah “blook” waktu itu.
Untungnya, Raditya Dika ketemu penerbit yang pas, yaitu Gagas Media. Dan selanjutnya adalah sejarah. Blook ‘Kambing Jantan’ menuai sukses yang bukan kepalang besar, dan kemudian menciptakan tren baru di Indonesia.
Sejak itulah kemudian Indonesia mengenal tren blook. Sisi positifnya, sukses ‘Kambing Jantan’ tidak hanya melahirkan genre dan tren baru dalam dunia perbukuan Indonesia, tetapi juga mampu menumbuhkan semangat menulis di blog. Tak bisa dipungkiri, jumlah blogger di Indonesia meningkat sejak ‘Kambing Jantan’ diterbitkan, karena setiap orang tentu bermimpi untuk juga membukukan blognya.
Sebagaimana yang kita lihat kemudian, tak terhitung banyaknya blook-blook lain yang terbit, meski sebagian besar tetap berisi catatan-catatan ngocol ala Raditya Dika. Puluhan penerbit berlomba-lomba menerbitkan buku dalam genre yang sama, dan tren blook bahkan nyaris menyamai kehebohan tren yang diciptakan teenlit.
Tetapi, sebagaimana teenlit pula, tren ini juga akhirnya memudar karena ‘digempur’ oleh puluhan penerbit dan ratusan judul buku dalam waktu bersamaan. Toko-toko buku dalam waktu singkat disesaki buku-buku dalam genre ini. Dan secepat tren itu mengalami musim pasang, secepat itu pula tren blook mengalami musim surut.
Sebagai pionir, Raditya Dika memang cukup berhasil mempertahankan ‘tahta’nya. Terbukti dia mampu mengulangi kesuksesan untuk buku-bukunya kemudian. Sementara para penulis lain dalam genre ini harus mengalami ‘seleksi alam’, sebagian ada yang masih menghasilkan karya lain dan namanya tetap dikenal, sebagian lain mulai tenggelam.
Nah, berdasarkan dua kasus tren sebagaimana yang telah saya tuliskan di atas, kita tahu bahwa tren selalu dimulai dari adanya kenekatan atau bahkan kegilaan.
Karenanya, jika penerbit ataupun penulis terus saja mencari “jalan aman” dengan hanya mengikuti tren yang telah terjamin sukses, maka dunia perbukuan Indonesia akan sulit berkembang. Untuk meneruskan sebuah tren yang telah memudar dan melahirkan tren baru, harus ada yang memulai. Harus ada yang menjadi pionir. Harus ada yang cukup gila dan nekat.
Memang tidak setiap upaya atau langkah penciptaan baru akan melahirkan sebuah tren yang sama besar sebagaimana tren-tren sebelumnya. Penerbit Gramedia, misalnya, sudah mencoba untuk menggulirkan novel grafis yang diharapkan dapat menciptakan tren baru. Genre baru ini bahkan telah digulirkan ketika era teenlit dinilai mulai memudar. Meski novel grafis belum mampu menciptakan tren besar, namun Gramedia masih mencoba upaya ini.
Sedang Gagas Media juga sudah mencoba upaya-upaya baru, dari adaptasi film ke buku, sampai adaptasi lagu ke buku. Itu upaya-upaya yang kreatif, yang seharusnya juga dilakukan para penerbit lain di Indonesia, agar dunia perbukuan terus mengalami kegairahan yang stabil, tidak melulu hanya digantungkan pada tren yang telah nyata-nyata berhasil.
Memang sungguh enak (dan aman) jika kita hanya menunggu tren-tren yang sedang hit, kemudian ikut terjun ke dalamnya untuk menuai keuntungan dari tren yang sama. Tetapi, pertanyaannya, sampai kapan…? Jika para penulis hanya mau menjadi follower, jika penerbit hanya mau cari jalan aman, maka dunia perbukuan Indonesia akan terus jalan di tempat, dan tren seolah hadiah dari langit. Kadang-kadang ia muncul, kadang-kadang ia menghilang.
Problematika yang dihadapi dunia perbukuan Indonesia, dari dulu, memang kenyataan ini. Penerbit tentu tak mau terlalu berspekulasi, begitu pula para penulis. Penerbit akan berpikir seribu kali untuk menerbitkan buku yang nyata-nyata belum jelas kemungkinan pasarnya (karena genre buku itu belum dikenal, atau muatan isinya yang cenderung kontroversial). Sedang para penulis juga kebanyakan tak mau buang-buang waktu untuk menulis sesuatu yang hasilnya belum jelas dapat diterbitkan.
Saya sendiri pun, sebagai penulis, selalu memperhitungkan penerbit mana yang dapat saya masuki ketika akan menulis naskah baru. Sebelum menulis sebuah naskah, saya akan mempertimbangkan terlebih dulu, apakah naskah itu kelak akan dapat diterima penerbit atau tidak. Saya memiliki daftar penerbit dan masing-masing kecenderungan mereka. Jika para penerbit dalam daftar saya sekiranya tidak ada yang bisa menerima naskah yang akan saya tulis, maka saya pun akan menunda rencana penulisan naskah itu.
Tetapi, sebagai penulis pula, kembali saya menanyakan pada diri sendiri, “Sampai kapan…?” Sampai kapan saya akan terus seperti itu, hanya menulis naskah yang jelas-jelas akan diterima penerbit?
Sejujurnya, saya memang tidak terpengaruh tren. Kalau memang saya merasa tidak ‘sreg’ dengan suatu genre, saya tidak menulis genre itu meski sedang menjadi tren besar, bahkan meski telah ada penerbit yang jelas-jelas meminta pada saya. Tetapi sampai sebegitu pun, saya tetap berupaya untuk dapat memperhitungkan bahwa naskah yang akan saya tulis bisa diterima penerbit, agar saya tidak hanya membuang-buang waktu percuma.
Jadi, di sinilah problematika kita. Dari sudut pandang penerbit, mereka tidak ingin merugi karena menerbitkan buku yang meragukan pemasarannya. Sementara dari sudut pandang penulis, mereka tidak ingin membuang-buang waktu untuk menulis naskah yang kemungkinan besar sulit diterima untuk diterbitkan. Dua sudut pandang ini, yang satu melibatkan uang dalam jumlah besar, sedang yang satu melibatkan waktu dan pikiran dalam jumlah besar.
Penerbit tak ingin rugi biaya, penulis tak ingin rugi waktu dan pikiran.
Ada kisah tentang seorang penulis yang benar-benar ‘kasihan’. Saya tidak bisa menyebutkan namanya. Tetapi, yang jelas, penulis ini sangat ulet, dan sangat mencintai bidangnya. Sebagai bentuk kecintaan pada bidang yang ia geluti, ia menulis naskah yang ia harapkan dapat diterbitkan menjadi buku.
Karena seorang akademisi, ia tidak sembarang dalam menulis naskahnya. Dia melakukan riset dan penelitian selama empat tahun untuk menulis naskah itu, dan untuk itu pula ia telah mengeluarkan biaya yang cukup besar. Ketika akhirnya naskah selesai dan ia bawa ke penerbit, si penulis nyaris pingsan karena mendengar jawaban pihak penerbit.
Si penerbit meragukan pemasaran naskah yang dibawa si penulis. Secara isi, naskah itu memang hebat. Tetapi secara pemasaran, naskah itu amat meragukan. Sebagai jalan tengah, penerbit itu menawarkan sistem jual putus untuk naskah itu—agar penerbit bisa menerbitkannya secara “mencicil” sembari menunggu respons pasar.
Yang menjadi masalah, harga jual putus yang ditawarkan penerbit itu lebih kecil dari biaya yang telah dikeluarkan si penulis dalam proses penulisan dan penelitian atas naskahnya. Ini ironis, sekaligus problematis. Tetapi ironi dan problem semacam inilah yang hingga kini masih menghinggapi dunia perbukuan kita.
Karenanya, yang ikut bertanggung jawab atas nasib dunia perbukuan di Indonesia seharusnya bukan hanya penulis, bukan hanya penerbit, bukan hanya para aktivis perbukuan, tetapi juga pemerintah. Pemerintah, mau tak mau, harus ikut bertanggung jawab jika menginginkan gairah membaca dan keasyikan literasi bisa tumbuh dan terus terjaga di negeri ini.
Apa yang harus dilakukan pemerintah? Saya tidak mau mengajari, karena mereka telah memiliki banyak ‘petugas’ yang tentunya memiliki kompetensi lebih baik.
Karena saya hanya seorang penulis, maka saya lebih suka menujukan catatan ini untuk sesama penulis. Sebagai penulis, kita tentu menginginkan naskah kita bisa diterima penerbit, berhasil diterbitkan, dan syukur-syukur juga bisa bestseller. Itu impian semua penulis yang “waras”.
Tetapi, kebanyakan penulis yang “waras” sayangnya tidak terlalu berhasil. Untuk mencapai keberhasilan besar, kadang-kadang, kita juga sesekali perlu “gila”. Masih ingat kisah Moammar Emka dan Raditya Dika di atas? Kesuksesan besar mereka terjadi karena diawali ‘kegilaan’ dan ‘kenekatan’, yang untungnya juga menemukan penerbit yang tepat.
Di Indonesia ini, berapa banyak jumlah penulis? Tak terhitung, banyak sekali! Tetapi berapa yang bisa mencapai keberhasilan besar? Jujur saja, lebih banyak penulis yang miskin daripada penulis yang kaya. Ukuran finansial memang bukan ukuran mutlak untuk menilai kesuksesan seseorang, tetapi itu merupakan ukuran yang paling mudah dilihat.
Jadi, kita, para penulis, memang sesekali perlu ‘gila’ jika memang menginginkan kesuksesan besar.
Jika kita hanya mau mengikuti arus tren dan menjadi penulis yang ‘waras’, maka nasib kita akan terus sama seperti kebanyakan penulis di negeri ini, yang berharap jadi penulis profesional, tetapi tidak yakin untuk benar-benar hidup dengan menulis. Jika kita hanya mau menulis sesuai dengan tren yang sedang beredar, maka kita tak jauh beda dengan kebanyakan penulis yang terkenal mendadak karena tren yang menaik, tapi segera dilupakan ketika tren telah menurun.
Harap dicatat, saya tidak menyatakan bahwa kita tidak boleh mengikuti tren. Kalau kita memang mau dan mampu mengikuti arus tren, no problem, lakukan saja. Tapi jangan gantungkan nasib hanya pada tren. Itu cara yang amat riskan untuk menggantungkan nasib atas sebuah profesi. Lebih dari itu, para penulis yang hanya mau mengikuti tren, kebanyakan mengalami nasib yang ‘tragis’.
Ini sama sekali tidak bermaksud menakut-nakuti. Ketika tren teenlit melanda Indonesia dan melahirkan banyak penulis baru, kenyataan itu memang sungguh menyenangkan, karena gairah literasi di negeri ini meningkat pesat. Tetapi, kemudian, ketika tren teenlit memudar, ke mana para penulis baru itu?
Lalu muncul booming novel islami. Penulis-penulis yang tadinya menulis teenlit, mencoba mengikuti tren untuk juga menulis novel islami. Apa yang terjadi? Para penerbit sudah mengenal satu dua nama para penulis ini, dan mereka cenderung tidak mau menerima naskah mereka. Mungkin para penerbit itu berpikir bahwa seorang penulis teenlit tidak bisa begitu saja ‘hijrah’ menjadi penulis novel islami, karena di sini ada faktor pembaca yang ikut diperhitungkan.
Itu mungkin kenyataan yang pahit, dan tidak adil. Tetapi kenyataan semacam itulah yang terjadi. Ketika sebuah nama telah diidentikkan dengan suatu genre tertentu, maka nama itu akan kesulitan untuk masuk ke genre lain, khususnya lagi jika masing-masing genre saling ‘tidak nyambung’ (baca: berseberangan).
Selain itu, menulis dengan hanya berdasar pada tren seringkali menjadikan kerja menulis lebih berat. Mengapa? Karena kita harus berpacu dengan tren. Seperti yang sudah kita bahas panjang lebar di atas, tren tidak pernah abadi. Secepat ia muncul, secepat itu pula akan menghilang. Karenanya, kalau kita memang mampu bekerja sesuai dengan irama tren, memang tidak masalah. Tetapi, jika kita tidak mampu mengikuti kecepatan iramanya, kita akan tertinggal.
Ketika novel islami mengalami booming, ada teman saya yang bermimpi menulis novel dalam genre itu, dengan harapan menjadi bestseller sekaligus dapat difilmkan. Selama satu tahun dia menggarap novelnya, dan kemudian membawanya ke penerbit yang biasa menerbitkan genre itu. Apa jawab penerbit itu? “Maaf, Mbak, novel islami sekarang sudah tidak laku.”
Teman saya kalah cepat dengan kecepatan naik turunnya tren. Tren berjalan secepat kilat, sementara kebanyakan kita melangkah dengan lambat. Dalam siklus tren, yang menang adalah yang datang lebih dulu, si pionir adalah sang raja.
Karenanya, kita tidak perlu memusuhi tren, tetapi juga jangan menggantungkan nasib kita hanya pada tren semata. Jika kita memang ingin menggantungkan nasib pada tren, maka jadilah pionir, jangan jadi follower. Jadilah yang pertama dalam tren itu, jadilah penciptanya! Dan, untuk bisa menjadi pencipta tren, kita harus ‘gila’.
Para pionir adalah orang-orang ‘gila’, pencipta tren dan fenomena adalah orang-orang ‘gila’. Begitu pula dengan dunia perbukuan, dengan tren perbukuan, khususnya di Indonesia. Pertanyaannya, sebanyak apa penulis dan penerbit yang cukup gila di negeri ini?
Baca juga: Fredy S, Enny Arrow, dan Novel-novel Panas Indonesia