Kisah Terindah di Dunia (7)
https://www.naviri.org/2016/08/kisah-terindah-di-dunia-7.html
Naviri.Org - Sampai malam telah menjadi larut, Nazar tak pernah datang menemui Amina. Beberapa kawan Amina mencoba menghibur hatinya—bisa saja Nazar ada keperluan lain yang mendadak dan ia tak bisa datang—namun Amina merasakan suatu perasaan tidak enak yang begitu mengusik di kedalaman hatinya. Ia merasa ada sesuatu yang terjadi dengan diri kekasihnya.
Besok siangnya, saat mengantarkan makanan untuk ayahnya di sawah, Amina sengaja berhenti di tengah jalan setapak untuk melihat Nazar di tempatnya, namun Nazar tak dapat ditemuinya. Kekasihnya itu tak ada di sawah seperti biasa, dan Amina tak dapat melihatnya. Kemana Nazar...?
Besoknya lagi Amina mencoba mencari keberadaan Nazar di sawah, namun sekali lagi Amina tak dapat menemukannya. Juga besoknya lagi. Dan besoknya lagi. Lalu besoknya lagi. Nazar seperti hilang, dan Amina merasa kehilangan.
Sampai kemudian Amina nekat, dan mencoba menanyakan hal itu pada ayahnya saat ia menemani sang ayah makan siang di saung tempat ayahnya biasa beristirahat untuk makan siang.
“Beberapa hari ini aku tak melihat Nazar,” ucap Amina dengan menahan malu, sementara ayahnya asyik mengunyah makanan di mulutnya.
“Ayah juga tak melihatnya, Nduk,” sahut ayahnya di sela-sela makannya. “Mungkin dia sakit, hingga tak bisa pergi ke sawah.”
Ya, mungkin dia sakit. Amina seperti baru tersadar akan kemungkinan itu. Dan sudah enam hari Amina tak melihatnya. Sakit apakah Nazar—kalau memang benar dia sakit...?
***
Akhirnya, setelah memikirkan segalanya—ditambah dengan perasaan rindu serta risaunya—Amina lalu meminta seorang tetangganya yang ia percaya untuk mendatangi rumah Nazar. Khafidz, tetangganya itu, bersedia untuk membantu Amina, dan suatu malam Khafidz pun bertandang ke rumah Nazar untuk mencari tahu.
Kedatangan Khafidz disambut dengan cukup ramah oleh ayah Nazar—sesuatu yang di luar dugaan Khafidz. Dia diterima di ruang tamu oleh ayah Nazar dan istrinya. Khafidz mengaku sebagai sahabat Nazar, dan ingin bertemu dengannya.
“Sayang sekali Nazar sudah berangkat, Nak,” jawab ayah Nazar dengan ekspresi menyayangkan.
“Berangkat?” Khafidz tidak paham. “Berangkat kemana, Pak?”
“Kau tidak diberitahunya? Nazar mendapat tawaran pekerjaan bagus di Semarang, dan dia menginginkan pekerjaan itu. Satu minggu yang lalu ia berangkat ke Semarang.”
Khafidz merasa bingung untuk menjawab apa atas pernyataan itu. Yang meluncur dari bibirnya kemudian adalah, “Bagaimana cara saya bisa menemuinya, Pak?”
Ayah Nazar terlihat bingung sejenak atas pertanyaan itu, namun buru-buru ia menjawab, “Sayang sekali Nazar tidak meninggalkan alamatnya di sana pada kami. Tapi tak perlu khawatir. Dia pasti akan pulang sewaktu-waktu, dan kalau nanti ia pulang, kami akan memberitahukan padanya tentang dirimu. Oh ya, siapa namamu?”
“Khafidz.”
Ayah Nazar mengangguk. “Baiklah, Khafidz. Kami pasti akan menyampaikan kedatanganmu ini pada Nazar, kelak kalau ia pulang.”
***
Khafidz menyampaikan segala yang telah didengarnya itu kepada Amina, dan Amina merasa terpukul. Mengapa Nazar tidak memberitahunya? Kalau memang Nazar pergi ke Semarang atau kemana pun untuk suatu pekerjaan, sepenting apapun pekerjaan itu, tak adakah sedikit waktu untuk menemuinya, untuk mengatakan hal itu, atau sekedar untuk mengucapkan selamat tinggal?
Dan hari-hari kemudian berganti. Lalu minggu demi minggu. Dan bulan demi bulan. Tapi Nazar tak pernah datang, tak pernah pulang. Juga tak pernah memberi kabar. Amina merasa kehilangan. Dan bukan hanya merasa kehilangan, ia juga merasa suatu bagian dari dirinya seperti dicabut secara paksa—dengan cara yang...menyakitkan. Sosok kekasih yang amat dicintainya tiba-tiba pergi tanpa pamit, tanpa ucapan selamat tinggal, dan kemudian menghilang... begitu saja, seperti melupakan segalanya... melupakan dirinya. Amina merasa sakit hati. Namun ia bahkan tak tahu bagaimana memahami hatinya sendiri.
Bersambung ke: Kisah Terindah di Dunia (8)