Kisah Terindah di Dunia (32)
https://www.naviri.org/2016/08/kisah-terindah-di-dunia-32.html
Naviri.Org - Langkah-langkah Nazar terasa gontai ketika ia mencoba membayangkan pada tahun berapakah sekarang ia terdampar. Bumi yang kini dipijaknya adalah bumi kotanya yang dulu pernah ditinggalkannya, namun semakin jauh ia melangkah, Nazar pun semakin menyadari bahwa kotanya telah banyak berubah—dan ia makin meyakini bahwa ia telah sampai pada tahun yang jauh berbeda dengan tahun saat ia pergi dulu.
Seiring dengan kedua kakinya yang terus melangkah, pandangan mata Nazar tertuju pada sebuah keramaian di pinggir jalan. Sepertinya ada sesuatu di tempat itu, pikirnya, dan ia pun lalu bergerak ke sana.
Nazar menyaksikan orang-orang yang tengah mengerubuti beberapa penjual ikan segar yang kelihatannya baru diangkat dari laut. Dan menyaksikan ikan-ikan yang begitu segar itu, Nazar merasakan perutnya terasa semakin lapar dan keroncongan. Apa yang sekarang harus diperbuatnya?
Dia tak memiliki uang—kalaupun ia memilikinya, ia ragu apakah uangnya masih berlaku pada waktu ini? Dia tak ingat lagi jalan menuju ke rumahnya—kalaupun ia masih ingat, ia tak yakin kalau rumah dan orangtuanya masih ada. Dia tak mengenal orang-orang yang saat ini tengah berkerumun itu—kalaupun ia mengenalnya, apakah mereka juga masih mengenali dirinya...?
Nazar merasakan tubuhnya menjadi begitu letih. Perutnya yang kosong terasa semakin lapar. Dan kakinya yang tanpa alas kini terasa terbakar oleh aspal yang diinjaknya. Dia butuh istirahat.
Maka Nazar pun lalu duduk tak jauh dari kerumunan orang-orang yang tengah membeli ikan itu, dan berharap suatu keajaiban terjadi—mungkin ada orang yang kasihan kepadanya dan lalu memberinya makan, juga sandal.
Tapi tak ada keajaiban yang datang. Dan Nazar merasakan kepalanya jadi terasa berat. Perutnya makin terasa lapar—ia merasa sudah lama sekali tak memasukkan apapun ke dalam mulutnya. Nazar merasakan matanya mulai berkunang-kunang, dan telinganya seperti berdenging. Aku tak boleh pingsan, batinnya. Aku tak boleh pingsan...
Dan tepat di saat ia merasa sudah tak kuat lagi menopang kekuatan bagi kesadaran tubuhnya, sesuatu terasa menyengat dalam diri Nazar yang kemudian membangkitkan kembali kekuatannya. Di dalam pandangannya yang kini mulai mengabur, Nazar menyaksikan sesuatu yang begitu amat dikenalnya—sesuatu yang selama ini dirindukannya—sesosok perempuan berwajah lembut, dengan rambut panjang yang dikepang dua dengan indah...
Perempuan itu seperti baru membeli ikan di tempat itu, dan sekarang perempuan itu tengah melangkah, menjauh dari tempat itu.
Nazar seperti terlupa pada tubuhnya yang lemah. Dengan cepat ia bangkit meski dengan kepala yang berat, lalu berjalan tergesa-gesa mendekati sosok perempuan berkepang dua itu.
“Amina...!” panggil Nazar dengan lirih.
Namun perempuan itu tak menjawab. Juga tidak menengok ke arahnya.
“Amina...!” Nazar mengeraskan panggilannya.
Kali ini perempuan itu menengok ke arahnya, namun menatap Nazar dengan bingung. Ia seperti tak mengenal sosok yang memanggilnya.
Nazar mendekat dan melambaikan tangannya pada perempuan itu. Dan si perempuan berhenti dengan tatapan bingung.
Saat telah berada di hadapannya, Nazar tersenyum dengan bingung—sementara perempuan di hadapannya juga menatap Nazar dengan sama bingungnya.
“Kau...kau Amina, kan?” Nazar bertanya memastikan.
Perempuan itu menggeleng. “Bukan.”
“Kau pasti Amina!” tegas Nazar. “Aku masih mengingatmu. Kau Amina...”
Perempuan itu menatap Nazar dengan bingung, lalu seperti mempelajari sosok di hadapannya. Perempuan itu memperhatikan Nazar dari ujung rambut sampai ujung kaki—seperti memastikan bahwa sosok di hadapannya itu bukanlah orang gila.
Bersambung ke: Kisah Terindah di Dunia (33)