Kisah Terindah di Dunia (26)
https://www.naviri.org/2016/08/kisah-terindah-di-dunia-26.html
Naviri.Org - “Mungkin baru sekitar satu bulan, kan?” Nazar nampak ragu-ragu. “Atau sudah dua bulan? Hm...tiga bulan?”
“Mungkin sekitar empat setengah bulan.” Naufal menegaskan. “Nah, itu berarti, kalau mau menggunakan hitungan di duniamu, maka saat ini masih terhitung tahun 1954. Atau paling tidak, mulai memasuki tahun 1955—aku sudah tak terlalu ingat bagaimana menghitung bulan dan tahun di dunia kita dulu. Tetapi dengarkan ini, ketika kau masuk ke dalam pusaran waktu di danau itu, maka pusaran itu akan melemparkanmu ke lintasan waktu yang amat jauh dari hitungan tadi. Maksudku, bisa saja kau berpikir bahwa ini baru tahun 1954 atau 1955, tapi jika kau terlalu lama tersesat dalam pusaran di danau itu, maka kau akan terlempar kepada puluhan tahun yang akan datang. Bisa saja kau muncul di duniamu kembali ketika di sana sudah memasuki tahun 2000, atau 2010 atau 2050 atau bahkan tahun 3000.”
Nazar termangu-mangu mendengar penjelasan itu.
Dan Naufal masih melanjutkan, “Bisakah kau membayangkan apa yang akan kau hadapi kalau kau terlalu lama tersesat dalam pusaran di danau itu dan kemudian kau muncul di duniamu ketika di sana telah memasuki tahun 2005, misalnya? Kau hilang dalam pusaran waktu selama 50 tahun, dan bisakah kau membayangkan apa yang kelak akan kau hadapi? Itu kalau kau hanya tersesat selama 50 tahun. Bagaimana kalau kau tersesat selama 100 tahun, umpamanya? Bisakah kau membayangkan seperti apa kehidupan di duniamu pada tahun 2055...?”
Naufal kembali menepuk-nepuk tangan sahabatnya yang kini nampak merapuh, dan berkata perlahan dengan nada yang bijak, “Itulah mengapa sejak semula kukatakan, kau memang mungkin saja bisa keluar dari negeri ini dengan aman, namun kau bisa menjadi gila begitu kau telah sampai kembali ke duniamu.”
Nazar mengangguk lemah. “Dan itu pula yang membuatmu tak berani keluar dari sini melalui danau itu?” tanya Nazar kemudian.
Naufal menjawab, “Kuakui, ya—dan itu pula yang menjadi alasan orang-orang yang lainnya di sini, yang juga mengetahui akan adanya danau itu. Sejujurnya aku sudah ngeri saat membayangkan kalau seumpama aku tersesat dalam waktu yang lama dalam pusaran di danau itu, dan kemudian aku muncul di duniaku pada waktu yang jauh berbeda dari tahun ketika pertama kali aku tinggalkan dulu. Aku tak bisa membayangkan seperti apa duniaku ketika segalanya telah berubah tanpa bisa kukenali lagi.
“Orangtuaku mungkin sudah meninggal beberapa tahun sebelum itu, semua tetanggaku, kawan-kawanku, sahabat-sahabatku, saudara-saudaraku, semuanya mungkin sudah tak ada lagi, kampungku mungkin telah hilang, mata uang yang berlaku di sana juga mungkin sudah diganti, dan...bisa saja tak ada lagi seorang pun di sana yang masih mengenaliku.” Naufal menghela napas, kemudian berkata dengan letih, “Itulah mengapa aku kemudian lebih memilih di sini. Aku terlepas dari duniaku—kehilangan orang-orang yang dulu pernah kukenal—namun setidaknya di sini aku masih bisa melanjutkan hidupku dengan normal.”
“Di sini tidak normal, Naufal,” keluh Nazar.
“Kau bisa menilainya seperti itu—dan itu hakmu,” jawab Naufal gusar.
Mereka terdiam—Nazar memikirkan dan mencerna segala yang baru saja didengarnya, sementara Naufal sepertinya telah lelah untuk berbicara lagi.
Kemudian, dengan suara yang sama lirihnya seperti tadi, Nazar berkata, “Kalau memang kenyataannya adalah seperti itu—maksudku, kalau memang setiap orang yang melalui pusaran di danau itu akan terlempar dalam pusaran waktu—pernahkah ada orang yang mencoba kabur dari sini melalui pusaran itu?”
Bersambung ke: Kisah Terindah di Dunia (27)