Kisah Terindah di Dunia (2)
https://www.naviri.org/2016/08/kisah-terindah-di-dunia-2.html
Naviri.Org - Sebagian besar wilayah di Pekalongan waktu itu masih berupa tanah pertanian, dan rumah-rumah hunian pun masih dibangun dengan kayu atau pagar bambu. Hanya sebagian kecil rumah yang telah dibangun dengan tembok, dan biasanya itu adalah rumah-rumah para juragan, atau mantan pejabat kolonial, atau setidaknya rumah para petinggi daerah, selebihnya adalah rumah-rumah sederhana dengan pagar bambu sebagai dindingnya, dan anyaman geribig (atap rumah yang dibuat dari anyaman janur atau daun pohon kelapa) sebagai atapnya.
Di salah satu rumah yang sederhana itulah Amina tinggal bersama orangtuanya. Amina adalah seorang perempuan berusia 18 tahun, berambut panjang yang biasa dikepang dua, putri dari pasangan yang sederhana. Ayahnya menjadi petani yang menggarap tanah milik majikannya, sementara ibunya menjadi abdi yang membantu di rumah sang majikan.
Waktu itu, Amina menjalin hubungan cinta dengan seorang lelaki berusia 20 tahun yang biasa ia panggil Nazar. Nama lengkapnya Nazarudin.
Amina berjumpa dengan Nazar di suatu siang yang sejuk—suatu perjumpaan yang tak disengaja—saat Amina tengah membawakan bekal makan siang untuk ayahnya yang istirahat dari bekerjanya di sawah. Dengan membawa ceting berisi nasi dan lauk-pauk yang telah dimasaknya seperti biasa, siang itu Amina berjalan menyusuri pematang sawah, melewati jalan setapak yang biasa ia lewati, menuju saung tempat ayahnya biasa beristirahat untuk makan siang.
Siang itu tak terlalu terik, dan tadi malam hujan mengguyur tanah Pekalongan dengan sangat deras. Jalan setapak yang dilalui Amina pun masih basah, tanahnya tidak kering seperti biasa, dan Amina harus sangat berhati-hati agar tak terpeleset. Tetapi kain kemben yang dikenakannya begitu sempit dan menghambat langkah kakinya.
Akibatnya, ketika ia hendak melangkah cukup lebar untuk menghindari bagian depannya yang berkubang air, Amina justru terpeleset dan jatuh. Tanpa sadar Amina menjerit saat tubuhnya jatuh dan terkapar di atas tanah sawah yang basah, sementara ceting nasinya terlempar cukup jauh dari tubuhnya. Isinya berhamburan kemana-mana.
Di saat itulah, seorang pemuda yang tengah mencangkul tak jauh dari situ segera melemparkan cangkulnya, dan dengan berlari-lari menuju ke tempat Amina terjatuh. Si pemuda menolong Amina bangkit dari jatuhnya, dan Amina terlihat malu, kikuk, salah tingkah—bajunya kotor penuh lumpur, bahkan rambutnya, juga sebagian pipinya.
Si pemuda juga terlihat kikuk, dan mungkin karena terlalu kikuknya, ia sampai terlupa untuk melepaskan pergelangan tangan Amina semenjak tadi. Si pemuda memperhatikan wajah Amina, begitu pula Amina menatap sosok di hadapannya—sang penolongnya—sesosok lelaki dengan wajah kekanak-kanakan, dengan bajunya yang juga lusuh penuh lumpur sawah, dan saat Amina menurunkan tatapan matanya karena malu, si pemuda pun baru tersadar untuk melepaskan genggamannya pada pergelangan tangan Amina.
“Maaf,” bisik si pemuda dengan kikuk dan salah tingkah.
“Terima kasih sudah menolongku,” sahut Amina.
“Kau Amina, kan?”
Amina mengangguk. Dan menunduk.
“Aku Nazar.” Pemuda itu memperkenalkan diri.
Sekali lagi Amina mengangguk. Ia sudah tahu. Ayahnya pernah bercerita tentang pemuda ini—seorang anak muda yang begitu rajin, dan beberapa pujian lainnya.
Kemudian diam. Si pemuda sepertinya terlalu kikuk untuk mengatakan sesuatu, sementara Amina juga sepertinya tak tahu bagaimana harus mengakhiri pertemuan itu. Angin berhembus. Mereka masih berdiri di samping jalan setapak di tengah sawah, sementara langit menampakkan mendung yang sayu. Amina menyeka anak-anak rambutnya yang turun ke wajahnya, dan ia merasakan pipinya terkena noda lumpur. Dia tak bisa membayangkan bagaimana tampangnya saat itu.
Bersambung ke: Kisah Terindah di Dunia (3)