Kisah Terindah di Dunia (19)
https://www.naviri.org/2016/08/kisah-terindah-di-dunia-19.html
Naviri.Org - Nazar menatap mata Laras, dan ia melihat mata itu memancarkan keyakinan yang amat teguh. Nazar dapat mengira kalau Laras pastilah salah satu orang yang disebut ‘telah terjamin kesetiaannya’ itu—dan Nazar pun merasa ia pasti akan sia-sia untuk dapat meminta penjelasan yang lebih banyak menyangkut hal itu.
Kalau memang Ibu Ratu atau orang utusannya bisa keluar dari negeri ini untuk datang ke dunianya, maka pastilah ada pintu atau tempat tertentu di negeri ini yang bisa digunakannya untuk kabur dan keluar dari tempat ini—dan kembali ke dunianya. Namun Nazar tahu, Laras pasti tak akan memberitahukan jalan atau pintu rahasia itu, dan Nazar cukup tahu untuk menahan mulutnya.
Ia nanti bisa menanyakan pada orang lain yang mungkin bisa ditemuinya—dan sekarang yang bisa dilakukannya hanyalah bersikap mematuhi apa yang dikatakan Laras. Perempuan itu akan tahu bahwa suatu saat nanti dia akan dapat keluar dan pergi meninggalkan negeri antah-berantah ini!
***
Seperti yang telah direncanakannya, Nazar pun mulai menunjukkan sikap bisa menerima keberadaannya di tempat itu, bisa menerima takdir kenyataannya—dan Laras terlihat senang akan hal itu.
“Kini saatnya kau menemui Ibu Ratu,” kata Laras hari itu—mungkin karena telah merasa yakin akan kesiapan hati Nazar untuk menerima kenyataan hidup di negeri itu.
“Menemui Ibu Ratu?” tanya Nazar dengan gelisah.
Laras tersenyum, seperti ingin membesarkan hati Nazar. “Ya, setiap rakyat baru yang telah bisa menerima kenyataan untuk hidup di negeri ini akan dipertemukan dengan Ibu Ratu, sebagai semacam penghormatan atau ucapan selamat datang. Kau termasuk yang akan bertemu dengan beliau hari ini.”
“Apakah...apakah ada orang lain sepertiku yang juga akan dipertemukan dengan Ibu Ratu?”
“Ada beberapa,” sahut Laras. “Hari ini Ibu Ratu akan bertemu dengan empat orang yang akan disahkan menjadi bagian dari rakyat negeri ini. Nah, aku bawakan baju yang layak untukmu.” Laras memberikan sebuah kantung berukuran cukup besar kepada Nazar.
Nazar menerimanya dengan bingung. Saat dibukanya kantung itu, didapatinya satu setel baju yang terlihat masih baru—berwarna biru muda—sepertinya dibuat dari kain sutera.
“Pakailah,” kata Laras dengan halus. “Kau tentu harus berpakaian dengan layak untuk menghadap Ratumu, kan?”
Dan Nazar pun mulai melepaskan baju yang telah berhari-hari melekat di tubuhnya dan mulai menggantikannya dengan baju barunya. Sambil mengancingkan baju barunya, Nazar bertanya, “Laras, ini hari apa? Maksudku, selama tinggal di sini, aku sulit untuk menghitung hari.”
“Ini hari Barbad,” sahut Laras sambil memperhatikan baju baru yang kini terpakai di tubuh Nazar.
“Hari...apa?”
“Hari Barbad, Nazar,” ulang Laras.
“Aku...aku tak pernah tahu kalau ada nama hari seperti itu.”
Laras tersenyum. “Kau harus mulai terbiasa dengan nama hari di sini yang mungkin berbeda dengan nama hari di duniamu.”
“Kalau...kalau hari ini hari...apa tadi?”
“Barbad.”
“Ya, itu. Kalau hari ini adalah hari Barbad, besok hari apa?”
“Besok hari Mando.”
Nazar memakai celana barunya. “Dan besoknya lagi?”
“Besoknya lagi hari Balmin.”
Nazar mengancingkan celananya. “Dan besoknya lagi?”
“Hari Musra.”
“Hm...dan besoknya lagi?”
“Hari Balmo.” Laras menatap penampilan baru Nazar. “Nah, kelihatannya kau telah siap. Kita berangkat sekarang.”
Pintu besi di ruangan tempat tinggal Nazar terlihat dibuka oleh dua orang penjaga, dan Laras membimbing Nazar untuk keluar dari ruangan itu. Dua penjaga itu terlihat mengangguk hormat kepada Laras—dan Nazar makin yakin kalau perempuan itu pastilah salah satu kepercayaan Ibu Ratu.
Bersambung ke: Kisah Terindah di Dunia (20)