Kisah Terindah di Dunia (14)
https://www.naviri.org/2016/08/kisah-terindah-di-dunia-14.html
Naviri.Org - “Dan siapa kau...?” Nazar menatap perempuan itu. Sepertinya perempuan itu juga manusia biasa—seperti dirinya.
“Namaku Laras.” Perempuan itu memperkenalkan dirinya. “Aku salah satu abdi dalem istana Ibu Ratu, dan tugasku adalah mengantarkan makanan dan minuman, serta memberikan penjelasan bagi orang-orang yang baru sampai di tempat ini.”
Nazar merasakan kepalanya jadi terasa berat. “Jadi, ada orang-orang lain yang juga sepertiku? Maksudku, ada orang-orang yang sampai di tempat ini tanpa mereka tahu mengapa bisa sampai ke tempat ini?”
“Anggap saja seperti itu,” jawab Laras pendek. “Nah, siapa namamu?”
“Nazar,” jawab Nazar dengan kaku.
“Baiklah, Nazar.” Laras menghela napas sesaat, seperti seorang dosen yang akan memulai presentasi, kemudian berkata perlahan-lahan, “Ayahmu menjalin hubungan dengan Ibu Ratu. Bentuk hubungannya adalah; ayahmu meminta kekayaan dari Ibu Ratu dengan perjanjian bahwa ayahmu akan memberikan seorang anaknya sebagai semacam pengganti untuk kekayaan itu—dan itulah mengapa kau sekarang berada di tempat ini.”
Nazar pernah mendengar dari orang-orang di kampungnya bahwa Ratu Dewi Lanjar bisa dimintai kekayaan bagi orang-orang yang bisa berhubungan dengannya—dengan syarat adanya tumbal dari salah satu keluarganya. Dan seketika bayangan Nazar kembali pada rumah orangtuanya—tentang ayahnya yang beberapa hari sebelumnya menghilang entah kemana, tentang usaha batik yang kemudian dirintis oleh ayahnya—apakah ibunya tahu akan hal ini?
Dan saat mulai memahami apa yang dimaksud oleh Laras, Nazar merasakan tenggorokannya seperti tercekik. “Jadi...jadi aku ditumbalkan oleh ayahku untuk Ibu Ratu, begitu?”
“Kalau kau menganggapnya begitu,” jawab Laras dengan suara yang halus. Kemudian, saat melihat Nazar seperti amat terpukul dengan kenyataan itu, Laras kembali berkata, “Kau tak perlu terlalu merisaukan hal itu, Nazar. Kau baru sampai di sini, dan aku bisa memahami keterkejutanmu. Tapi nanti, perlahan-lahan kau akan terbiasa dengan kehidupan barumu di sini.”
“Kau tidak paham, Laras!” sergah Nazar tiba-tiba. “Aku punya kekasih di duniaku, maksudku, di dunia...oh, bagaimana aku harus menyebutnya??? Aku punya kekasih di alamku—kalau kau tahu maksudku. Dan aku sudah berjanji kepadanya untuk...”
“Lupakan saja semuanya itu,” sela Laras dengan lembut. “Semuanya sudah berlalu. Kau telah sampai di tempat ini—dan kau tak akan pernah dapat kembali.”
Seketika Nazar menjadi kalap, dan hal pertama yang dilihatnya adalah pintu besi di ruangan itu.
Laras seperti memahami maksud dalam pikiran Nazar, dan dia lalu berkata seolah menjelaskan, “Kau tak akan bisa membuka pintu itu secara paksa, Nazar—bahkan seumpama kau mampu mendobraknya dengan tubuhmu sekalipun. Dan kalaupun kau bisa keluar dari tempat ini dengan cara seperti itu, akan ada banyak penjaga yang mengawasi tempat ini—dan kau pasti akan ditangkap untuk dikembalikan ke sini.”
Nazar merasa dunianya tiba-tiba menjadi gelap, dan seketika satu bayangan melintas cepat dalam pikirannya. Dengan wajah memerah menahan kemarahan, Nazar berkata kaku kepada Laras, “Mungkin aku tak bisa keluar dari sini dengan paksaan seperti itu, tapi mungkin aku bisa mencobanya...” Dan kemudian, dengan tenaganya yang kuat karena tiap hari mencangkul di sawah, Nazar tiba-tiba mencengkeram lengan Laras dengan keras, kemudian berkata dengan pasti, “Aku tak akan melepaskanmu sampai aku diberitahu bagaimana jalan untuk bisa keluar dari sini.”
“Kau tidak tahu apa yang kau lakukan, Nazar,” kata Laras dengan tenang.
Bersambung ke: Kisah Terindah di Dunia (15)