Waspada, Lonjakan Inflasi di RI Mulai 'Aneh' dan Tak Wajar
https://www.naviri.org/2016/06/Mari-Hosokawa-page-2.html
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat inflasi sebesar 4,35 persen pada Juni 2022 dibanding periode yang sama tahun sebelumnya (year on year/yoy).
Kenaikan inflasi tahunan yang berada di atas angka empat ini merupakan yang tertinggi sejak 2017 alias lima tahun terakhir. Peningkatan inflasi terutama disebabkan oleh kenaikan harga pangan bergejolak (volatile food) yang mencapai 10,07 persen (yoy).
Komoditas pangan yang meningkat meliputi cabai merah, cabai rawit, dan bawang merah. Lonjakan harga terjadi akibat curah hujan tinggi di wilayah sentra sehingga menimbulkan gagal panen dan terganggunya distribusi.
Selain itu, kenaikan inflasi ini juga terjadi di tengah ketidakpastian global akibat perang Rusia dengan Ukraina dan harga minyak mentah yang melambung.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu mengatakan meski inflasi cukup tinggi, tapi Indonesia masih lebih baik dari negara lain. Terlebih, negara maju yang inflasinya tertinggi dalam puluhan tahun.
"Dibandingkan dengan banyak negara di dunia, inflasi Indonesia masih tergolong moderat. Laju inflasi di AS dan Uni Eropa terus mencatatkan rekor baru dalam 40 tahun terakhir, masing-masing mencapai 8,6 persen dan 8,8 persen," ujarnya dalam keterangan resmi.
Demikian juga jika dibandingkan dengan negara berkembang lainnya seperti Argentina dan Turki, dengan laju inflasi masing-masing mencapai 60,7 persen dan 73,5 persen.
Ia mengatakan inflasi di Indonesia masih lebih baik karena berbagai kebijakan yang dilakukan pemerintah untuk meredam gejolak harga komoditas global berhasil.
"Pemerintah, melalui instrumen APBN, berhasil meredam tingginya tekanan inflasi global, sehingga daya beli masyarakat serta momentum pemulihan ekonomi nasional masih tetap dapat dijaga," kata Febrio.
Jika benar begitu, apakah ekonomi kita masih bisa dipandang kuat?
Ekonom Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira menuturkan kenaikan inflasi harus diwaspadai di paruh kedua tahun ini. Pasalnya, ia mulai mencium tanda bahwa inflasi mengarah ke stagflasi.
Hal itu terlihat dari kenaikan inflasi tahunan yang tinggi pada Juni. Kenaikan itu abnormal atau tidak wajar. Sebab, secara musiman pasca Lebaran idealnya inflasi mulai menurun akibat normalisasi harga pangan.
"Inflasi yang tidak wajar pertanda adanya sinyal stagflasi yakni kondisi kenaikan inflasi tidak dibarengi dengan naiknya kesempatan kerja juga," kata Bhima.
Ia menuturkan masih ada 11,5 juta orang tenaga kerja yang terdampak pandemi. Jumlah yang ia sebut ini selaras dengan data dari BPS yang mencatat jumlah penduduk usia kerja yang terdampak pandemi covid-19 berkurang 7,57 juta orang dalam setahun terakhir, sehingga totalnya menjadi 11,53 juta orang pada Februari 2022.
Bhima mengatakan dengan kondisi seperti ini tekanan inflasi beberapa bulan ke depan bisa berlanjut. Ia memprediksi inflasi hingga akhir tahun dapat mencapai 4,5 persen hingga 5 persen (yoy).
Ia menyebut risiko terbesar adalah imported inflation, yakni pelemahan kurs yang membuat harga berbagai barang di dalam negeri meningkat. Selain itu, kebijakan pemerintah yang 'memaksa' masyarakat membeli BBM jenis Pertamax dengan menerapkan kebijakan beli BBM subsidi jenis pertalite dan solar dengan aplikasi MyPertamina juga dapat memicu kenaikan inflasi.
Tidak hanya itu, pemberlakuan MyPertamina sebagai kewajiban beli Pertalite juga bisa meningkatkan jumlah orang miskin baru. Ia juga khawatir hal tersebut membuahkan pelemahan konsumsi rumah tangga yang signifikan.
Pelemahan sebenarnya sudah tercium dari peralihan atau migrasi yang dilakukan masyarakat dari pertamax ke pertalite saat pemerintah menaikkan harganya beberapa waktu lalu.
"Bayangkan orang miskin harus punya gadget, beli pulsa dulu untuk dapatkan haknya. Sementara hanya 14 persen desil terbawah atau rumah tangga miskin yang gunakan internet," imbuh Bhima.
Terkait pernyataan Kemenkeu yang menyebut inflasi Juni ini masih moderat, Bhima mengatakan itu karena produsen masih tahan harga.
"Dan administered prices atau harga energi subsidi masih dijaga pemerintah. Sampai kuartal I 2022 inflasi harga produsen sebenarnya sudah 9 persen yoy," imbuhnya.
Oleh karena itu, ia meminta pemerintah untuk menahan dulu pembatasan subsidi BBM, LPG 3 kg, dan tarif listrik. Apalagi, APBN masih surplus Rp132 triliun per Mei 2022.
Ia berpendapat pemerintah bisa menahan subsidi dengan beberapa opsi. Pertama, alihkan windfall penerimaan dari komoditas ke subsidi energi.
Kedua, alihkan sebagian dana pemulihan ekonomi nasional (PEN) yang belum terserap untuk tambah kompensasi BBM dan listrik. Ketiga, tunda proyek infrastruktur yang belum prioritas.
Sementara itu, Ekonom Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Yusuf Rendy Manilet mengatakan proyeksi ekonomi Indonesia di paruh kedua 2022 tergantung pada beberapa hal.
Termasuk di dalamnya, bagaimana kelanjutan proses pemulihan ekonomi yang dilihat dari berbagai indikator, seperti penjualan riil, keyakinan konsumen, Purchasing Managers Index (PMI), dan inflasi.
"Indikator inflasi menjadi penting karena ini akan mempengaruhi kondisi daya beli masyarakat dan kita tahu kondisi daya beli masyarakat akan mempengaruhi seberapa tinggi pertumbuhan dari konsumsi rumah tangga di sisa akhir 2022," imbuh Yusuf.
Ia menyebut peluang inflasi berada pada batas atas dari range prakiraan pemerintah itu cukup besar. Pasalnya, melihat dari inflasi terakhir di Juni 2022 itu memang relatif tinggi, apalagi jika dibandingkan dengan posisi yang sama di tahun lalu yang hanya mencapai 1,33 persen (yoy).
Ia juga memperkirakan pada semester II tahun ini tekanan terhadap kenaikan harga barang dan jasa masih berpeluang terjadi. Mengingat beberapa kebijakan pemerintah sudah mulai berjalan, seperti misalnya kenaikan harga pertamax dan juga tarif listrik.
"Belum lagi jika kita berbicara intervensi bantuan pemerintah. Jika asumsinya pemerintah tidak menyalurkan bantuan tambahan di tengah kenaikan inflasi yang tinggi, maka ini saya kira akan sekali lagi menekan daya beli masyarakat," sambung Yusuf.
Oleh karena itu, ia memprediksi inflasi Indonesia bisa menyentuh angka 4,5 persen (yoy) pada akhir tahun. "Proyeksi sementara kami masih berada di kisaran 4 persen sampai dengan 4,5 persen. Namun kami akan melakukan penyesuaian angka kembali, mengikuti situasi," kata Yusuf.
Untuk angka inflasi, sambung dia, jika dibandingkan dengan negara-negara lain memang ini terjadi gap yang cukup signifikan. Terlebih, bila bandingkan dengan inflasi di negara-negara maju seperti AS.
Titik inflasi di Negeri Paman Sam memang relatif cukup tinggi jika dibandingkan dengan pencapaian inflasi di Indonesia. Namun, hal itu tidak bisa dikomparasikan begitu saja karena struktur ekonomi AS dan Indonesia jelas berbeda.
"Sekali lagi bahwa perlu diketahui perbedaan struktur ekonomi antara satu negara dengan negara yang lain, yang kemudian memang mengharuskan kita perlu hati-hati dalam melakukan komparasi termasuk di dalamnya komparasi angka inflasi," tandas Yusuf.