Kisah Arswendo dan Geger Angket Tabloid Monitor (Bagian 2)
https://www.naviri.org/2016/05/Pricyla-Neva.html
Uraian ini adalah lanjutan uraian sebelumnya (Kisah Arswendo dan Geger Angket Tabloid Monitor - Bagian 1). Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik dan urutan lebih lengkap, sebaiknya bacalah uraian sebelumnya terlebih dulu.
Reaksi keras juga muncul dari kalangan pemerintah, seperti Harmoko dan Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Moerdiono.
“Angket yang dimuat Monitor telah menjurus ke hal SARA. Kalau pun pengelola menganggap angket itu sebagai suatu gurauan, harusnya mereka tahu diri, mana yang boleh diguraukan dan mana yang tidak. Keyakinan adalah hal yang hakiki, tidak boleh dibuat suatu gurauan,” kata Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH. Hasan Basri kala itu, seperti dikutip Pantau dan Gramedia pada 2019.
Tapi rupanya kemarahan massa yang protes terus memuncak. Mereka menggeruduk kantor redaksi Monitor di Jalan Palmerah, Jakarta Barat, pada 17 Oktober 1990.
Arswendo meminta maaf secara terbuka melalui siaran televisi pada tanggal 19 Oktober. Ia meminta maaf karena menerbitkan hasil jajak pendapat ‘tanpa penyuntingan’. Tabloid Monitor juga merilis permohonan maaf di berbagai surat kabar nasional pada 22 Oktober.
Tapi, karena kadung emosional, massa pemuda Islam kembali menggeruduk dan mengobrak-abrik kantor Monitor pada hari itu. Kaca jendela pecah, komputer dirusak, dan foto artis yang dipajang di dinding pun menjadi sasaran. Arswendo sempat menyelamatkan diri, dan meminta perlindungan ke Polres Jakarta Pusat di Jalan Kramat.
Menteri Penerangan mengeluarkan keputusan Nomor 162/Kep/Menpen/1990 pada 23 Oktober 1990 yang isinya membatalkan SIUPP atau membredel Monitor. Arswendo pun dipecat dari Group Gramedia dan resmi ditahan polisi pada 26 Oktober 1990, dan dipindahkan ke Rutan Salemba ketika kasusnya disidangkan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Selama persidangan, sekitar 1.000 personel polisi dan militer berjaga-jaga.
Jaksa menuntut Arswendo, pria kelahiran Surakarta, 24 November 1948, dengan pasal berlapis. Arswendo dikenakan Pasal 156 KUHP tentang penghinaan agama, Pasal 157 KUHP tentang penyebaran penghinaan terhadap golongan penduduk, dan Pasal 19 Undang-Undang Pokok Pers tahun 1982 tentang pelanggaran fungsi dan kewajiban pers.
Dalam persidangan, Arswendo membacakan pledoi setebal 16 halaman berjudul “Sebagai Pribadi Atau Kelompok Kita Ini Lemah dan Mudah Cemas. Sebagai Bangsa Kita ini Kuat, Liat, dan Selalu Mayoritas”.
Dia meminta maaf lagi dan menyatakan penyesalan dalam pledoinya, sembari menjelaskan kronologi pembuatan angket “Kagum 5 Juta” itu. “Harusnya saya sudah tahu. Tanpa ada yang memberi tahu pun, harusnya sudah tahu. Nyatanya saya bego. Sangat bego. Jahilun,” ungkap Arswendo saat itu.
Akhirnya Arswendo divonis majelis hakim hukuman lima tahun penjara pada April 1991. Selama dibui di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Cipinang, Arswendo masih tetap rajin menulis artikel, naskah skenario, novel, hingga cerita bersambung. Ia kerap memakai nama alias, seperti Sukmo Sasmito, Lani Biki, Said Saat, dan BMD Hararap.
Dari semua tokoh yang begitu keras mengkritik tabloid Monitor dan Arswendo, hanya KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur yang lebih moderat. Sebagai Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Gus Dur saat itu tak sepakat bila media cetak itu dibredel SIUPP-nya, dan menolak adanya aksi main hakim sendiri.
“Saya tidak setuju dengan pencabutan SIUPP apapun. Bawalah ke pengadilan. Itulah penyelesaian yang terbaik. Bung Karno zaman kolonial, dia dihukum oleh pemerintah kolonial, tapi dia membuat pledoi dalam 'Indonesia Menggugat'," kata Gus Dur dalam buku Tabayyun Gus Dur (1998).
Atas pembelaan Gus Dur itulah, Arswendo memuji sosok yang dianggapnya dewa tersebut. "Bagi saya Gus Dur itu bukan wali, aslinya sampai sekarang pun saya yakin beliau itu dewa, cuma nyamar jadi kiai. Saya tidak habis pikir, apa untungnya membela saya? Toh saya nggak kenal dekat dengan Gus Dur,” kata Arswendo dalam sebuah acara di kantor PBNU pada 2014.
Arswendo meninggal dunia pada 19 Juli 2019 di rumahnya, di kawasan Jakarta Selatan. Jurnalis senior yang nyentrik ini tutup usia pada usia 71 tahun, dan dikuburkan di tempat pemakaman San Diego Hills, Karawang, Jawa Barat.