Tak Lama Lagi, Jepang dan Korea akan Kehilangan 50% Penduduknya
https://www.naviri.org/2016/05/Pricyla-Neva-page-2.html
Dalam beberapa dekade mendatang, Jepang dan Korea Selatan akan kehilangan 50% penduduknya. Jumlah penduduk mereka akan anjlok hingga 50%. Lenyap dan tak tergantikan.
Krisis demografi seperti itu benar-benar akan memberikan dampak kelam bagi ekonomi mereka. Alasannya simple: saat sebuah bangsa kehilangan 50% penduduknya, maka omzet ekonomi mereka juga akan kolaps pada angka yang relatif sama.
Pangsa pasar mereka akan anjlok 50%. Dan output ekonomi mereka juga akan mengalami kejatuhan yang signifikan. Siapa lagi yang akan memproduksi dan membeli produk mereka saat 50% penduduknya hilang?
Saat ini krisis demografi kelam seperti itu telah menggerogoti kekuatan ekonomi Jepang. Menggerus pelan-pelan tapi dampaknya amat brutal. Misal: di pinggiran kota Jepang kini banyak desa dan kecamatan yang menjelma desa hantu. Sebab semua penduduknya punah.
Ada ribuan rumah yang ditinggal kosong, sebab penghuninya wafat dan tak ada lagi generasi penerusnya. Kota-kota yang mati semacam ini pelan-pelan akan menyergap beragam kota di Jepang dan Korea.
Lalu, di Korea dan Jepang juga makin banyak TK dan SD yang tutup karena tak ada lagi murid yang mendaftar. Kenapa? Sebab memang tak ada lagi bayi baru yang lahir. Tak ada generasi penerus yang tiap tahun berbondong-bondong mendaftar sekolah TK. Pasokan bayi barunya telah lenyap.
Penyebab krisis demografi yang brutal ini amat sederhana. Penyebabnya adalah makin banyak anak muda (lelaki dan perempuan) Jepang dan Korea yang enggan menikah dan punya anak. Ada banyak di antara mereka memilih hidup melajang. Sementara yang memilih menikah, memutuskan untuk tidak punya anak selamanya (childless family).
Akibatnya fatal, tak ada lagi bayi-bayi baru yang lahir. Dan ini petaka, sebab orang tua yang meninggal tak punya lagi generasi penerusnya. Mereka tak punya anak dan cucu yang bisa melanjutkan peradaban.
Di Jepang, misalnya, tahun lalu ada 1,4 juta penduduk yang meninggal (sebagian besar karena memang sudah lanjut usia dan meninggal secara alamiah). Saat keluarga muda di Jepang enggan punya anak, maka jumlah kematian 1,4 juta ini tak ada lagi penggantinya. Dengan kata lain, tiap tahun penduduk Jepang akan berkurang secara signifikan.
Fenomena semacam itu juga terjadi di Korea dan China (penduduk China juga akan anjlok 50% dalam beberapa dekade mendatang, karena banyak anak muda di sana yang enggan punya anak sekarang).
Tiga negara raksasa ini, yakni Jepang, China dan Korea, mengalami krisis demografi yang akibatnya fatal. Tiap tahun, jumlah bayi yang lahir di tiga neraga itu selalu jauh di bawah jumlah penduduk usia tua yang meninggal dunia.
Secara alamiah, ketiga negera besar itu pelan-pelan akan ambruk. Ambruk bukan karena serbuan negara asing atau karena perang. Ketiga negara raksasa ini akan kolaps hanya karena anak-anak muda mereka memilih melajang atau menjalani childless family.
Pertanyaannya, kenapa makin banyak anak muda di Jepang, Korea dan China enggan punya anak? Sebab punya anak itu ribet, dan mahal sekali biayanya.
Seperti juga di Indonesia, biaya hidup dan harga rumah di 3 negara itu makin mahal. Banyak keluarga muda di Jepang, Korea dan China yang tak sanggup membeli rumah (persis seperti kejadian banyak keluarga muda di Indonesia yang tak sanggup membeli rumah sendiri).
Pada sisi lain, biaya hidup untuk membesarkan anak, dan membiayai dana pendidikan anak, di tiga negara itu juga makin mahal. Sementara penghasilan banyak anak muda di sana pas-pasan. Mereka khawatir tak akan cukup memiliki dana untuk membiayai kehidupan dan pendidikan anak-anaknya.
Lalu apa solusi dari krisis demografi ini?
Pemerintah Jepang, Korea dan China mulai ketakutan dengan krisis demografi yang menyimpan bom waktu ini. Mereka sadar, tanpa ada perbaikan, kondisi ekonomi bangsa mereka akan kolaps. Sebab 50% penduduknya akan hilang tak tergantikan.
Ada tiga solusi yang mungkin layak dilakukan pemerintah Jepang, Korea dan China, agar masa depan bangsa mereka tidak anjlok.
Pertama, mereka harus menyediakan perumahan murah kepada para anak muda yang baru menikah. Jangan biarkan developer swasta menguasai tanah, lalu menetapkan harga rumah terlalu tinggi. Pemerintahan ketiga negara itu mesti agresif membangun rusun yang memadai, dengan harga terjangkau, sehingga keluarga muda yang baru menikah akan lebih leluasa memiliki rumah tinggal yang memadai. Harapannya, dengan ini, beban biaya hidup jadi lebih terjangkau.
Kebijakan itu diharapkan akan mendorong anak-anak muda lebih mau memiliki anak, sebab pemerintahan mereka ikut mensubsidi biaya kepemilikan atau sewa rumah (elemen penting bagi sebuah keluarga muda yang baru menikah).
Solusi kedua, sediakan layanan child care yang berkualitas dengan harga murah, atau bahkan digratiskan.
Layanan child and baby care (pengasuhan bayi dan balita) yang bagus, tersedia secara luas, dan dengan biaya murah atau bahkan gratis, akan membuat keluarga muda yang barus menikah tidak perlu khawatir dengan beban pengasuhan bayi mereka yang baru lahir. Harapannya, ini akan mendorong generasi muda Jepang, Korea dan China agar tertarik punya anak.
Solusi ketiga, Jepang dan Korea harus lebih memudahkan kedatangan imigran asing dari berbagai negara untuk bekerja dan menjadi warga negara mereka. Selama ini Jepang dan Korea agak membatasi kehadiran tenaga kerja asing.
Biarkan ribuan tenaga kerja asing (TKA) mencari kerja dan bahkan menetap menjadi warga negara Jepang atau Korea. Bahkan pemerintah Jepang dan Korea perlu mendorong agar TKA itu menjadi warga negara mereka, dan menikah dengan warga lokal Jepang atau Korea.
Asimilasi pernikahan TKA dan warga lokal Jepang dan Korea mungkin akan jadi solusi efektif dalam mengatasi krisis demografi yang akut.