Kejanggalan-kejanggalan di Balik Kasus Penembakan Brigadir J (Bagian 2)
https://www.naviri.org/2016/04/Sisi-Salsabila-page-4.html
Uraian ini adalah lanjutan uraian sebelumnya (Kejanggalan-kejanggalan di Balik Kasus Penembakan Brigadir J - Bagian 1). Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik dan urutan lebih lengkap, sebaiknya bacalah uraian sebelumnya terlebih dulu.
Keluarga Sempat Dilarang Melihat Jenazah
Pihak keluarga mengaku sempat dilarang aparat melihat kondisi jenazah Brigadir J begitu tiba di rumah pada Sabtu (9/7/2022). Namun setelah ibu Brigadir J terus mendesak ingin melihat sang putra untuk terakhir kali aparat baru mengizinkannya.
Pihak keluarga juga mengatakan sejak jenazah Brigadir J tiba di Sungai Bahar, Kabupaten Muarojambi, Provinsi Jambi, tidak ada satu pun penjelasan dari pihak kepolisian kepada mereka mengenai penyebab atau kronologi terjadinya penembakan.
“Sampai saat ini kita gak tau apa permasalahannya pak. Siapa pelakunya. Mereka cuma bilang kalau pelakunya sudah diamankan di Mabes,” ujar Rohani Simanjuntak, salah satu keluarga korban pada Senin (11/7/2022).
Sementara itu dalam keterangannya kepada wartawan, Ramadhan memastikan bahwa polri telah melakukan visum et repertum terhadap jenazah Brigadir J.
“Pak apakah ada hasil visum et repertum dan bagaimana hasilnya?” tanya wartawan.
“Pasti ada [hasil visum], nanti kita tanyakan [hasilnya],” jawab Ramadhan.
Jika pernyataan Ramadhan benar, mengapa polisi tak menyerahkan hasil visum itu kepada pihak keluarga?
Luka Sayatan dan Jumlah Tembakan
Pihak keluarga mengatakan ada empat luka tembak di jenazah Brigadir J, dua luka ada di dada, satu luka tembak di tangan, dan satu luka tembak lain di bagian leher. Bukan hanya luka tembak, keluarga juga mengatakan adanya luka sayatan senjata tajam di bagian mata, hidung, mulut, dan kaki.
Berbeda dengan keterangan pihak keluarga, Ramadhan mengatakan Brigadir J mengalami tujuh luka dari lima tembakan. Dua luka yang ia maksud berasal dari sayatan proyektil yang ditembakan Bharada E ke Brigadir J.
“Kita belum melihat tetapi penjelasan dari penyidik bahwa yang dibilang sayatan itu adalah karena gesekan proyektil yang ditembakan bharada E ke Brigadir J,” kata Ramadhan.
Pembelaan Diri dan Hanya Ada Dua Saksi
Dalam konfrensi pers kedua Ramadhan berkali-kali "membela" tindakan Bhadara E dengan mengatakan bahwa apa yang dilakukan Bharada E adalah upaya pembelaaan diri karena ditembak lebih dahulu oleh Brigadir J.
Namun keterangan ini dan informasi-informasi lainnya sukar dibuktikan karena hanya bersumber dari dua orang yakni Bharada E dan istri Kadiv Propam.
Ramadhan enggan menjawab apakah ada saksi lain di lokasi kejadian saat peristiwa itu terjadi. Jika tidak ada saksi lain maka ini berarti saat kejadian di rumah dinas itu hanya ada tiga orang: Brigadir J, Bharada E, dan istri Kadiv Propam.
Namun apabila ada saksi lain, mengapa polisi tak mengungkapkan siapa saja mereka?
Kapolri Diminta Bentuk TGPF
Beragam kejanggalan soal kematian Brigadir J di kediaman Ferdy Sambo membuat Indonesia Police Watch (IPW) mendesak Kapolri Jenderal Pol. Listyo Sigit Prabowo membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF).
"Hal ini untuk mengungkap apakah meninggalnya korban penembakan terkait adanya ancaman bahaya terhadap Kadivpropam Irjen Ferdy Sambo atau adanya motif lain," kata Ketua IPW Sugeng Teguh Santoso seperti dikutip dari Antara, Senin (12/7/2022).
Sugeng menilai Polri tidak transparan, lantaran baru mengungkap kasus tersebut tiga hari setelah kejadian.
"Selama tiga hari, kasus itu masih ditutupi rapat oleh Polri yang memiliki slogan Presisi," kata Sugeng.
Sugeng meminta pimpinan tertinggi Polri menonaktifkan Irjen Pol Ferdy Sambo dari jabatan selaku Kadiv Propam. "Alasannya, pertama Irjen Ferdy Sambo adalah saksi kunci peristiwa yang menewaskan ajudannya tersebut. Hal tersebut agar diperoleh kejelasan motif dari peristiwa tersebut," kata Sugeng.
Selain itu, Sugeng mengatakan hingga sekarang status Brigadir J dalam kasus tersebut masih belumn terang, apakah sebagai korban atau pelaku.
"Alasan kedua, Brigadir Pol. Nopryansah Yosua Hutabarat (Brigadir J) statusnya belum jelas apakah korban, atau pihak yang menimbulkan bahaya sehingga harus ditembak," ujarnya.
Alasan lainnya, lanjut Sugeng, tempat kejadian perkara atau "locus delicti" terjadi di rumah pejabat Polri, maka TGPF diperlukan agar tidak terjadi distorsi dalam penyelidikan.
"Locus delicti terjadi di rumah Kadiv Propam Irjen Pol. Ferdy Sambo. Karena itu agar tidak terjadi distorsi penyelidikan, maka harus dilakukan Tim Pencari Fakta yang dibentuk atas perintah Kapolri bukan oleh Propam," katanya.
Peristiwa ini, kata Sugeng, sangat langka karena terjadi di sekitar perwira tinggi dan terkait dengan Pejabat Utama Polri.
"Anehnya, Brigadir Pol. Nopryansah merupakan anggota Polri di satuan kerja Brimob itu, selain terkena tembakan juga ada luka sayatan di badannya," ujar Sugeng.
Sugeng berpendapat dengan dibentuknya TGPF maka pengungkapan kasus penembakan dengan korban anggota Polri yang dilakukan rekannya sesama anggota dan terjadi di rumah petinggi Polri menjadi terang benderang, dengan harapan masyarakat tidak menebak-nebak lagi apa yang terjadi dalam kasus tersebut.