Resensi Serial Ms. Marvel, Tontonan Bagus tapi Kurang Memuaskan (Bagian 2)
https://www.naviri.org/2016/04/Nabilla-Gomes-page-3.html
Uraian ini adalah lanjutan uraian sebelumnya (Resensi Serial Ms. Marvel, Tontonan Bagus tapi Kurang Memuaskan - Bagian 1). Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik dan urutan lebih lengkap, sebaiknya bacalah uraian sebelumnya terlebih dulu.
Sebagai protagonis utama, wajar jika serial ini menjadikan pergulatan Kamala dengan kekuatan barunya sebagai sentral cerita. Tak sekadar itu, Ms. Marvel melampaui hal itu dengan menyuguhkan juga soroton untuk drama dan interaksi antarkarakter lain. Lagi-lagi, itu adalah upaya yang patut diacungi jempol.
Namun, ada kalanya Kamala justru tak menjadi protagonis untuk kisahnya sendiri. Misalnya saat Kamala terlempar ke India 1940-an, di tengah berlangsungnya peristiwa Partisi antara India dan Pakistan. Selama setengah episode, dia seolah menjadi sekadar pengantar bagi kisah Aisha, nenek buyutnya.
Dalam kelanjutan aksinya di Pakistan, Kamala pun sepertinya melanggar ketentuan time-traveling di MCU (TVA maupun Kang the Conqueror mungkin punya beberapa hal yang perlu dibicarakan dengannya).
Dan jangan lupakan kejanggalan adegan di stasiun. Di tengah sesak keramaian orang-orang yang berbondong-bondong meninggalkan India, sama sekali tak ada yang menyadari seorang perempuan muda mengeluarkan energi ungu nan vibran dari tangannya. Kok bisa? Itu baru pertanyaan pertama.
Padat Teka-teki
Kisah Partisi, jika sedemikian krusial bagi keseluruhan bangun cerita, barangkali bisa diperdalam di musim berikutnya. Itu sekalian mengelaborasi pertanyaan-pertanyaan semacam: Atas dasar apa Aisha dianggap aib keluarga? Bagaimana dengan latar cerita bangle yang dikenakan Kamala? Apa bedanya memiliki satu atau sepasang bangle?
Tanpa kisah Partisi pun, musim pertama Ms. Marvel sudah padat teka-teki. Pertama, mengapa Najma tidak merampas bangle kepunyaan Kamala ketika sang superhero berada di rumah mereka?
Kedua, dari mana kekuatan Kamran berasal? Apakah jawabannya sekadar "dari ibunya yang tak terlihat memiliki kekuatan super, tapi bisa mentransportasikan energi ke Kamran yang berada jauh di ruangan berbeda"?
Ketiga, mengapa pula Najma menutup selubung menuju dimensinya, sementara dia berupaya mati-matian untuk pulang ke sana selama puluhan tahun? Andaikanlah perkataan Kamala pada momen genting itu sukses membangkitkan sisa kebajikan atau keibuan Najma terhadap Kamran (anak yang hendak ditinggalkannya begitu saja di dimensi lain).
Untuk perkara ini, kita bisa mengaitkannya dengan kebiasaan Marvel mengaburkan villain mereka dengan karakteristik antivillain—dalam hal punya setitik kebaikan atau tujuan mulia/netral dengan cara yang keliru dari perspektif the greater good yang lazim mereka usung.
Keempat, bagaimana juga para Clandestine ini bisa tiba di dimensinya Kamala? Selain itu, masih ada pertanyaan tak penting: Ke mana lubang yang diciptakan Kamala (pada episode finale) berujung? Dari Jersey City tembus ke Pakistan ataukah menuju gorong-gorong yang memungkinkan Kamran muncul di pelabuhan untuk menumpangi kapal ilegal? Ataukah tempat sembunyi sementara saja selama Kamala membereskan pasukan Damage Control?
Tetap Layak Dapat Musim Kedua
Terlepas dari kelemahan dan teka-teki itu, Ms. Marvel toh tetap memiliki percikan-percikan positifnya. Visualnya tentu menjadi aspek paling menonjol. Selain yang sudah dituliskan di atas, serial ini punya nuansa berkesan enerjik yang mengingatkan pada film-film Edgar Wright, khususnya Scott Pilgrim Vs. The World (2010).
Ms. Marvel setidaknya menampilkan kritis dan progresifnya Nakia ("sejarah ditulis opresor!"), kegeniusan Bruno, sekaligus mempertahankan penjelasan-penjelasan saintifik yang juga hadir dengan porsi layak seperti dalam komiknya.
Ada pula anasir-anasir sosio-teknologi terkini seperti Tiktok, nafsu meraih likes, serta media sosial sebagai penyebar kabar kesewenang-wenangan aparat tercepat. Begitu pula soal prasangka dari aparat terhadap golongan minoritas. Dan kendati disederhanakan sebagai kisah pelarian dari villain, ada edukasi ihwal sejarah Partisi Pakistan-India serta dampak meluas dari kolonialisme bagi warga biasa.
Jika Kerajaan Inggris layak menerima cercaan atas kebijakan-kebijakan cerobohnya di masa lalu, yang pantas untuk menyampaikannya tentulah orang-orang Pakistan atau India. Salah satu pendekatan berbeda dari komik yang berhasil adalah bagaimana Kamala dan beberapa atribut dari orang-orang terdekatnya.
Misalnya, pemilihan nama Ms. Marvel yang disampaikan dengan romantis—bahwa ada andil yang tak kecil dari orang-orang terkasih di balik suksesnya seorang pahlawan super. Dari sisi penokohan, Iman Vellani jelas adalah Kamala Khan. Hanya dalam satu season, rasanya sulit melihat karakter ini diperankan aktor lain.
Aktor asal Kanada ini sukses menampilkan karakter remaja biasa dengan segala permasalahannya—kendati tak punya skill khusus layaknya Kate Bishop, tapi tetap mampu menjadi superhero. Dan yang terakhir pula terpenting, tentu perkara representasi.
Serial atau film dengan protagonis atau mayoritas karakternya muslim tentu bukan barang baru, tapi untuk pasar seluas MCU, kita baru mendapatinya di Ms. Marvel. Selama beberapa dekade, penonton kerap disuguhi penokohan Arab, muslim, atau bahkan yang menyerupainya sebagai penjahat.
Ms. Marvel seolah menjadi jawaban untuk trope usang itu—menjadi tontonan yang bagi sebagian kalangan tak ubahnya selebrasi.
Secara keseluruhan, Ms. Marvel adalah tontonan yang bisa lebih dinikmati tanpa banyak mikir, pula bisa diikuti penonton baru yang sama sekali tak menyimak mitologi MCU. Dengan deretan celanya, ia tak bisa ditempatkan di ranking yang tinggi di antara serial Marvel lainnya. Pun tak sukses-sukses amat membalikkan anggapan luas ihwal permulaan MCU Fase Keempat yang "di bawah standar".