Resensi Serial Ms. Marvel, Tontonan Bagus tapi Kurang Memuaskan (Bagian 1)
https://www.naviri.org/2016/04/Nabilla-Gomes-page-2.html
Serial televisi tentang superheroine muslim pertama di semesta Marvel akhirnya tayang di Disney+ sejak 8 Juli lalu. Tak sampai sepuluh tahun sejak debutnya di komik, karakter Kamala Khan sebagai Ms. Marvel kini bergabung dalam Marvel Cinematic Universe (MCU) Fase Keempat.
Selama enam minggu penayangannya, Ms. Marvel diwarnai keriuhan di media sosial. Dari mulai soal rating opening terendah di antara serial Marvel lain (banyak pihak yang menuding waktu penayangan yang bersamaan dengan serial Obi-Wan Kenobi sebagai biangnya), review bomb bermotif rasial, hingga munculnya polemik menyoal asal-usul Kamala ketika serial mencapai season finale.
Soal perdebatan asal-usul sang superhero—yang dikonfirmasi sebagai mutan pertama di MCU, alih-alih inhuman seperti di komik, barangkali bisa dikesampingkan sepenuhnya sebagai kegiatan pengisi waktu para fan fanatik. Lagi pula, medium live-action—entah itu film atau serial televisi—tentu tak mesti 100 persen mengikuti source material-nya.
Ingat, meski berangkat dari motif berbeda, Marvel pun sebelumnya telah mengutak-atik asal-usul Wanda dan Pietro Maximoff. Kendati demikian, perubahan-perubahan lainnya dari versi komiknya tetap saja menjadi sorotan fan.
Melipir dari Komik
Secara keseluruhan, serial ini tampak paling banyak mengacu pada komik pertama Ms. Marvel rekaan Sana Amanat, Gwendolyn Willow Wilson, dan seniman komik Adrian Alphona yang terbit pada 2013. Ada modifikasi yang lebih sepele seperti perubahan sosok Aamir Khan, abangnya Kamala, yang kini tak sekaku dalam komik.
Begitu pula penggambaran sahabat Kamala, Bruno Carrelli, yang sejatinya berasal dari keluarga Italia-Amerika dan berbagi nasib serupa dengan Kamala sebagai keturunan imigran.
Serial Ms. Marvel lantas mengambil cerita dan poin-poin dari komik orisinal itu dengan beragam perubahan, semisal adaptasi nama Ms. Marvel yang sebelumnya digunakan Carol Danvers, konflik pertemanan dengan Nakia, atau sosok Kamran yang nyaris sepenuhnya mengambil jalan berbeda, bahkan tak bisa dibilang menjadi antagonis sepenuhnya.
Sektor yang mengalami perubahan drastis ialah perubahan kekuatan Kamala dan bagaimana dia memperolehnya.
Di serial, kekuatan Kamala tak diaktifkan oleh kabut hijau misterius (Terrigen Mist) sebagaimana yang biasa terjadi pada karakter-karakter inhuman, melainkan oleh artefak mistis. Ini lantas diikuti dengan perubahan kekuatan morfogenetis (manipulasi bentuk dan ukuran tubuh), barangkali demi menghindari kesamaan visual dengan Mr. Fantastic.
Wujud kekuatan itu pun digantikan dengan visual energi padat berwarna ungu yang terasa lebih generik. Dalam komik orisinalnya, Ms. Marvel menjadi semacam suara bagi generasinya (Gen Z) yang kerap dipandang sebelah mata oleh generasi-generasi yang lebih senior. Namun, hal itu tidak—atau belum—tercapai dalam serial sejauh ini.
Friendly Neighborhood Superheroine
Dalam kisah yang ditulis ulang oleh Bisha K. Ali, kita masih mendapatkan kesan Ms. Marvel yang berbagi kesamaan dengan Spider-Man sebagai superhero remaja sekaligus jagoan di kawasan mereka tinggal. Spider-Man di New York, sementara Kamala di New Jersey.
Kisah Kamala berkitar di dunia pasca-Blip, selepas konflik besar di film Endgame. Kemanusiaan tampak sudah pulih dan dampak Blip bahkan sama sekali tak disinggung. Kamala adalah seorang perempuan remaja dari keluarga imigran Pakistan, seorang geek yang memproduksi konten Youtube seputar Avengers dengan Captain Marvel sebagai jagoan favoritnya.
Kisahnya ditopang visual yang indah dan kekinian. Teks obrolan di ponsel ditampilkan “nyeni” di layar, demikian pula pengantar serupa doodle dan grafiti bergerak seiring vibran warna neon di Jersey City. Musik-musik populer mengalun sepanjang seri, tak lupa bebunyian atau lagu dengan unsur-unsur musik Asia Selatan.
Para sineas Ms. Marvel agaknya berupaya keras menuturkan saga yang keluar dari pakem MCU. Sebuah upaya untuk tampil beda agar tak formulaik dan klise. Upaya itu tentu patut diapresiasi, tapi di lain sisi, ia juga kerap mendatangkan masalah.
Dalam saga kelahiran superhero baru, kita lazimnya disuguhi seorang jagoan pemula yang memberantas kejahatan remeh maupun penyelamatan skala kecil—sesuatu yang kemudian turut mengangkat namanya sendiri. Namun, serial Ms. Marvel tidak demikian. Ms. Marvel tak banyak melakukan aksi semacam itu.
Dia tidak melawan manusia berkepala burung yang mengeksploitasi anak-anak, tak juga bisa dibilang sebagai penyuara keresahan generasinya. Dia bahkan tak menghadapi villain yang serius.
Pendekatan ini pada akhirnya malah membuat tokoh antagonisnya terasa hadir dengan motif dan aksi yang kurang memenuhi potensi mereka. Najma dan The Clandestine alias grup para Djinn (yang bukanlah jin sesungguhnya), misalnya, tewas begitu saja setelah puluhan tahun teguh berpegang pada misi untuk pulang ke dunia mereka.
Sementara itu, Damage Control justru tampak seperti kroco, meski telah diperkuat senjata energi. Seorang superhero hampir pasti selalu punya “slogan” khas. Bagi Ms. Marvel slogan itu adalah seruan “embiggen” setiap kali hendak beraksi. Dalam serial, slogan embiggen itu baru dimunculkan di episode terakhir.
Cara ini dapat dinalar sebagai upaya untuk menyampaikan proses menjadi superhero yang mengklimaks, dan itu bukan sesuatu yang buruk. Namun, cara ini seakan menutup ruang perihal apa saja yang mampu dilakukan Ms. Marvel—kalau bukan minim gagasan untuk mendemonstrasikan macam-macam kekuatannya.
Baca lanjutannya: Resensi Serial Ms. Marvel, Tontonan Bagus tapi Kurang Memuaskan (Bagian 2)