Kecamuk Mengerikan di Balik Perang Sipil Myanmar (Bagian 2)
https://www.naviri.org/2016/04/Eva-Kartini-page-2.html
Uraian ini adalah lanjutan uraian sebelumnya (Kecamuk Mengerikan di Balik Perang Sipil Myanmar - Bagian 1). Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik dan urutan lebih lengkap, sebaiknya bacalah uraian sebelumnya terlebih dulu.
Gadis itu bukan satu-satunya perempuan yang menderita di tangan para serdadu ini. Thiha mengaku bergabung dengan militer untuk memperoleh uang, namun dirinya terkejut dengan tindakan yang terpaksa dia lakukan dan kekejian yang dia saksikan. Dia lantas memaparkan nasib sekelompok perempuan muda yang mereka tangkap di Yae Myet.
Seorang perwira, sebagaimana dikenang Thiha, menyerahkan perempuan-perempuan ini kepada bawahannya dan berkata, "Lakukan yang kalian inginkan."
Menurut Thiha, para serdadu memrkosa perempuan-perempuan muda tersebut. Namun, dia mengaku tidak ikut-ikutan.
BBC melacak keberadaan perempuan-perempuan itu dan menemui dua di antara mereka.
Pa Pa dan Khin Htwe mengatakan mereka berjumpa dengan sekelompok serdadu selagi berusaha kabur. Para perempuan ini bukan berasal dari Yae Myet. Mereka ke sana untuk mendatangi seorang penjahit.
Walau berkeras bukan anggota PDF atau dari Yae Met, mereka ditahan di sebuah sekolah selama tiga malam. Setiap malam mereka dilecehkan berulang kali oleh sejumlah serdadu yang mabuk.
"Mereka menutup wajah saya dengan sarung dan mendorong saya sampai jatuh. Mereka melepaskan pakaian saya dan memrkosa saya. Saya berteriak saat mereka memrkosa saya," jelas Pa Pa.
Dia memohon agar serdadu-serdadu itu berhenti, tapi mereka memukuli kepalanya dan mengancamnya dengan todongan senjata api.
"Kami harus tunduk tanpa melawan, karena kami takut akan dibunuh," kata Khin Htwe, adik Pa Pa, seraya terbata-bata.
Para perempuan ini terlalu takut melihat para pemrkosa dengan jelas, tapi mereka ingat melihat beberapa tidak memakai seragam, dan sebagian lainnya mengenakan seragam militer.
"Saat mereka menangkap perempuan muda, mereka akan berkata, 'ini karena kamu mendukung PDF' saat mereka [memrkosa] perempuan-perempuan ini," jelas Thiha.
Sedikitnya 10 orang tewas akibat aksi kekerasan di Yae Myet dan delapan perempuan dilaporkan diprkosa dalam jangka waktu tiga hari.
Pembunuhan keji yang melibatkan Maung Oo selaku tentara bayaran, terjadi di Desa Ohake pho, wilayah Sagaing, pada 2 Mei 2022.
Kesaksiannya mengenai tindakan rekan satu regunya dari Divisi Infantri ke-33, yang mengumpulkan dan menembak orang-orang di biara, klop dengan pengakuan saksi lainnya serta video pascakejadian yang didapat BBC.
Video itu memperlihatkan sembilan mayat dijajarkan. Seorang perempuan dan seorang pria beruban tampak dibaringkan bersebelahan. Mereka semua memakai kaos dan sarung. Rentetan tayangan dalam video mengindikasikan mereka ditembak dari belakang dan jarak dekat.
BBC juga berbicara dengan sejumlah penduduk desa yang menyaksikan kekejian itu. Mereka mengenali jenazah perempuan yang tampak bersebelahan dengan jenazah seorang pria lansia.
Perempuan itu bernama Ma Moe Moe. Dia sedang menggendong anaknya dan membawa sebuah tas berisi sejumlah emas. Dia memohon kepada para serdadu untuk tidak mengambil barang miliknya.
"Meskipun ada anak yang sedang dia gendong, mereka menjarah barang miliknya dan menembaknya mati. Mereka juga membariskan [para pria] dan menembak satu per satu," kata Hla Hla, yang berada di lokasi kejadian, namun tidak dieksekusi.
Anak perempuan tersebut selamat dan kini dirawat oleh keluarganya.
Hla Hla mendengar para serdadu bicara menggunakan ponsel sembari membanggakan bahwa mereka telah membunuh delapan atau sembilan orang. Mereka, menurut Hla Hla, berkata "enak" membunuh orang, dan menyebutnya "hari paling sukses sampai sekarang".
Dia mendengar para serdadu meninggalkan desa sembari berseru, "Menang! Menang!"
Seorang warga lain menyaksikan suaminya dibunuh.
"Mereka menembaknya pada bagian paha, lalu mereka menyuruh dia tengkurap dan menembak bokongnya. Akhirnya mereka menembaknya sampai tewas," kata perempuan itu. Dia berkeras suaminya bukan anggota PDF.
"Dia benar-benar seorang petani lontar yang mencari nafkah secara tradisional. Saya punya putra dan putri, dan saya tidak tahu bagaimana melanjutkan hidup."
Baca lanjutannya: Kecamuk Mengerikan di Balik Perang Sipil Myanmar (Bagian 3)