Kerajaan Bisnis Misterius di Balik Kudeta Myanmar (Bagian 2)
https://www.naviri.org/2016/04/Dillian-Gresta-page-1.html
Uraian ini adalah lanjutan uraian sebelumnya (Kerajaan Bisnis Misterius di Balik Kudeta Myanmar - Bagian 1). Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik dan urutan lebih lengkap, sebaiknya bacalah uraian sebelumnya terlebih dulu.
AS telah memberlakukan sanksi baru terhadap militer dan beberapa sosok pemerintahan, bersama tiga perusahaan tambang. Kanada, Selandia Baru, dan Inggris juga telah memberlakukan kebijakan mereka sendiri, namun demikian belum ada negara yang secara langsung berfokus pada konglomerat.
Para pegiat berpendapat bahwa sanksi yang lemah di masa lalu telah memungkinkan Tatmadaw untuk melakukan kudeta dan melanjutkan dugaan pelanggaran hak asasi manusia. Namun para pakar mengatakan, ada keinginan kuat untuk menambah sanksi - pada waktu yang tepat.
"Dunia masih menunggu untuk melihat apa yang terjadi," kata George McLeod, direktur manajemen Access Asia, perusahan manajemen risiko yang berspesialisasi di wilayah itu. "Dari yang saya dengar dari orang dalam, Norwegia sedang mencoba untuk melakukan semacam upaya awal untuk mewujudkan solusi lewat negosiasi."
Sementara itu, timbul kekesalan yang semakin besar di kalangan pengusaha lokal tentang kekuatan konglomerat.
"Mereka menggambarkannya dengan cara yang hampir sama dengan seorang pemilik bisnis di Sisilia berbicara tentang Mafia," kata McLeod. "Anda harus berurusan dengan mereka jika Anda masuk radar mereka. Tapi Anda tidak mau."
Mereka ingin jadi pemain internasional
Tatmadaw sudah mulai merasakan tekanan dari investor di luar negeri. Perusahaan minuman ringan Jepang, Kirin, mengakhiri dua kesepakatan bisnis yang menguntungkan dengan MEHL, yang telah membantunya mendominasi pasar bir di Myanmar. Pengusaha Singapura Lim Kaling juga memutus investasinya di perusahaan tembakau yang terkait dengan konglomerat.
Sementara itu, para pengunjuk rasa di Myanmar memboikot perusahaan yang terkait dengan pemerintah baru - termasuk toko perhiasan dan merek rokok.
Namun tidak semua negara menyerukan sanksi internasional. China dan Rusia menolak upaya anggota Dewan Keamanan PBB lainnya untuk mengecam Tatmadaw.
Para ahli sepakat bahwa meskipun sanksi adalah bagian penting dari solusi, ia harus dibarengi dengan tekanan hukum dan diplomatik, serta embargo senjata. Wakil panglima Tatmadaw, Soe Win, mengatakan kepada PBB bahwa mereka siap menghadapi tekanan internasional jika perlu.
Tanpa tindakan multilateral, Myanmar bisa kembali menjadi negara yang dikucilkan, kata Peter Kucik, mantan penasihat di Departemen Keuangan AS.
"Kelompok jenderal yang berkuasa saat ini kurang lebih adalah kelompok yang sama yang berkuasa di bawah rezim SPDC (junta militer yang memerintah Myanmar dari 1997-2011), dan mereka telah menunjukkan bahwa mereka sangat nyaman tinggal di negara yang terisolasi," katanya.
Tetapi sementara negara itu dapat mengandalkan mitra dagang seperti China, para pengusaha lokal waspada dengan prospek ini, tambah Kucik.
"Mereka ingin berurusan dengan perusahaan papan atas Jepang, mereka ingin berurusan dengan perusahaan Barat, dan mereka ingin menjadi pemain di panggung internasional seperti halnya Thailand," kata Kucik.
Apapun yang terjadi selanjutnya, kelompok advokasi mengatakan bahwa mengendalikan pendanaan militer, dan mereformasi konglomerat mereka, sangat penting untuk reformasi demokrasi.
"Itulah yang diinginkan orang-orang Burma," kata Anna Roberts, direktur Burma Campaign UK. "Mereka ingin militer kembali ke barak, dan mereka menginginkan ekonomi sipil dan pemerintah federal sipil yang menghormati keinginan mereka."