Ini Penyebab Kita Jadi Aneh ketika Jatuh Cinta
https://www.naviri.org/2015/12/ini-penyebab-kita-jadi-aneh-ketika.html
Naviri.Org - Setiap kita tentu sudah tak asing lagi dengan perasaan “aneh” ini ketika sedang jatuh cinta; jantung berdebar tak karuan, tiba-tiba jadi suka berkhayal, merasa tergila-gila, kehilangan selera makan, menjadi begitu dramatis atau bahkan melankolis dan hal-hal lain semacamnya. Mengapa perasaan-perasaan aneh semacam itu terjadi ketika kita sedang jatuh cinta?
Coba ingat lagi ketika perasaan-perasaan semacam itu hadir dalam dirimu ketika kau sedang jatuh cinta. Saat akan bertemu dengan orang yang kaucintai, kau merasakan perasaanmu tak karuan, jantungmu berdebar lebih cepat. Saat kalian berpapasan, kau pun merasa wajahmu begitu panas, kau merasa grogi, salah tingkah dan sejuta perasaan lain yang tak dapat diungkapkan dengan kata-kata.
Lalu kau pun menjadi begitu romantis sekaligus dramatis. Bagimu, sosok yang terindah adalah sosok orang yang kaucintai, pribadi paling menawan adalah pribadi yang kini tengah membuatmu mabuk kepayang…dan hidup tiba-tiba jadi terasa penuh bunga-bunga keindahan. Tak peduli umpama Perang Dunia Ketiga akan pecah nanti sore, orang yang sedang jatuh cinta tetap saja memandang hidup dengan penuh kebahagiaan.
Pertanyaannya, darling, mengapa kita jadi “aneh” seperti itu ketika sedang jatuh cinta?
Kita akan mulai dari salah satu alasan kuat yang dipercayai oleh para ilmuwan mengenai bagaimana cara orang jatuh cinta. Selama bertahun-tahun, para ilmuwan telah mencari tahu jawaban atas persoalan ini, dan salah satu teori yang terkenal menyangkut hal ini adalah teori genetika. Secara insting, begitu menurut teori ini, manusia mencari pasangan untuk memperbaiki keturunan (genetika) dan untuk meminimalkan kemungkinan penyakit. Untuk hal itulah, menurut studi, manusia telah terprogram secara alami untuk tertarik pada orang yang memiliki DNA berbeda.
Nah, di dalam diri setiap manusia—di dalam diri setiap kita—ada suatu hormon yang disebut “feromon” (pheromones). Apa yang disebut sebagai feromon ini berkaitan dengan hormon seks yang menyenangkan bagi orang tertentu yang menyukai orang tersebut. Jadi, hormon feromon dari seseorang akan tercium bagi orang yang tengah jatuh cinta kepadanya—dan hormon feromon ini pulalah yang akan menuntun seseorang untuk menemukan orang yang memiliki struktur genetika yang jelas berbeda dengan dirinya.
So, ketika seseorang menemukan sosok yang tepat, maka indera penciuman orang itu pun akan aktif seketika dan memberitahu pusat otak untuk merasa senang karena telah menemukan “jodoh” yang cocok secara biologis—dan dari sinilah mengapa kita jadi merasa berbunga-bunga ketika sedang jatuh cinta.
Setelah itu, ketika pusat rasa senang di dalam otak telah menjadi aktif, maka bola mata akan menjadi membesar dan saluran air mata akan mengeluarkan sedikit cairan untuk menghasilkan “wajah yang berseri” sehingga menjadi menarik bagi orang yang tengah dicintainya, sekaligus “memanipulasi” pandangan dari orang yang sedang jatuh cinta—dan dari sinilah mengapa kita menganggap orang yang kita cintai itu (tampak) begitu indah menawan, sekaligus kita jadi merasa lebih “seksi” ketika jatuh cinta.
Nah, ketika kontak-kontak cinta itu telah menjadi aktif, maka semua perasaan akan menjadi semakin intensif. Otak akan melepaskan dophamine, yaitu suatu zat kimia yang menghasilkan rasa senang. Setelah itu, norepinephrine (salah satu zat kimia dalam tubuh kita) akan aktif merangsang produksi adrenalin—suatu zat kimia lain yang menyebabkan jantung berdebar-debar. Ketika itu terjadi, zat kimia lainnya lagi di dalam tubuh yang bernama pheniletilamine akan mengalir ke dalam otak untuk memacu euforia tersebut—dan lengkaplah sudah perasaan “kacau-balau” itu terjadi di dalam diri kita.
Studi terbaru yang dilakukan di Italia bahkan menyebutkan bahwa ada kesamaan antara otak orang yang sedang jatuh cinta dengan otak orang yang menderita gangguan kompulsif2; mereka sama-sama memiliki tingkat serotonin yang rendah. Serotonin sendiri disebut sebagai “contentment chemical”. Jadi, menurut studi ini, cinta dan gangguan kompulsif memiliki kesamaan dalam kebutuhan dan pengulangan—suatu pola pikiran yang tak bisa dikendalikan.
Kombinasi dari zat-zat kimia yang terjadi ketika kita sedang jatuh cinta (sebagaimana yang dijelaskan di atas) itulah yang kemudian mendorong kita menjadi suka berkhayal, kehilangan selera (biasanya selera makan), tidak mampu menilai segala sesuatu secara lebih baik (cenderung subjektif) dan melakukan hal-hal bodoh lain yang biasa terjadi ketika orang sedang jatuh cinta.
Dalam taraf yang “normal”, perasaan-perasaan “aneh” yang digambarkan di atas itu masih dalam tahap yang wajar. Namun ketika kombinasi dari hal-hal di atas itu menjadi berlebihan, maka orang pun kemudian dapat menjadi “tergila-gila”, mabuk kepayang tak karuan, bahkan terkadang sampai menjadi terobsesi dengan orang yang dicintainya.
Yeah, jatuh cinta memang berjuta rasanya…
Baca juga: Mengapa Kita Bisa Jatuh Cinta? Ini Jawabannya