Rhoma Irama, dan Sejarah Dangdut di Indonesia (1)
https://www.naviri.org/2017/12/sejarah-dangdut-indonesia-page-1.html
Naviri.Org - Dangdut adalah musik yang sangat lekat dengan Indonesia, bahkan disebut-sebut sebagai musik asli Indonesia. Selama puluhan tahun, dangdut telah melahirkan begitu banyak penyanyi dengan begitu banyak lagu yang populer. Di antara sekian banyak penyanyi dangdut, beberapa bahkan ada yang fenomenal, atau bahkan menjadi legenda.
Dari waktu ke waktu, dangdut di Indonesia terus digemari, dan musik ini kemudian melahirkan berbagai genre yang terus berkembang seiring dinamika zaman. Di masa lalu, dangdut mungkin sangat dipengaruhi irama gambus. Kemudian Rhoma Irama muncul, dan dangdut mendapat sentuhan rock. Belakangan, sebagaimana kita tahu, muncul genre dangdut baru yang disebut dangdut koplo.
Membicarakan dangdut, mau tak mau kita harus membahas Rhoma Irama. Pasalnya, Rhoma Irama bukan hanya musisi dangdut paling terkenal di Indonesia, tapi juga dijuluki sebagai Raja Dangdut, yang hingga saat ini belum ada yang mampu menggantikannya. Sebagai musisi dangdut, Rhoma Irama juga telah menciptakan serta menyanyikan lagu dalam jumlah tak terhitung banyaknya. Yang lebih menakjubkan, lagu-lagu Rhoma Irama terus abadi dari zaman ke zaman.
Dalam Dangdut: Musik, Identitas, dan Budaya Indonesia (2012), Andrew Weintraub menulis bahwa Rhoma melakukan penjejakan sejarah pada kisah kebudayaan Melayu Deli—dulu masuk dalam wilayah Sumatera Timur, kini bagian dari Sumatera Utara—di mana Orkes Melayu muncul sejak zaman sebelum penjajahan hingga periode 1950-an dan 1970-an.
Irama Melayu memang jadi inti dari musik dangdut, betapa pun kemudian Rhoma meraciknya dengan unsur musik rock. Bagian dari mengoplos musik rock ini tampak jelas pada awal karier Rhoma: menenteng gitar Fender putih yang mengesankannya terpengaruh Ritchie Blackmore dari Deep Purple hingga peralihan ke Steinberger hitam andalannya.
Akar sejarah dangdut bisa ditarik jauh lebih ke belakang. Mengutip The Komedie Stamboel: Popular Theater in Colonial Indonesia 1891-1903 (2006), Weintraub mengatakan bahwa leluhur Melayu musik dangdut adalah orkes keliling dari Malaya (Malaysia) yang berlabuh ke Pulau Jawa pada 1890-an. Orkes ini memainkan banyak jenis musik: Melayu, Tionghoa, India, Timur Tengah, juga Eropa.
Selepas di Jawa, para orkes keliling ini lantas pergi ke Sumatera. Di sana, rombongan teater dan orkes musik ini mencari peluang bisnis. Sumatera pada era 1930-an adalah pasar musik yang bergairah. Weintraub menyebut Sumatera bersama Malaya dan Permukiman Selat adalah pasar tunggal untuk rilisan musik beberapa label rekaman Melayu kala itu. Ditambah alasan geografis, penyanyi di Sumatera lebih sering tampil di Malaya dan Singapura ketimbang di Jakarta. Hal ini membuat akulturasi budaya di kawasan-kawasan itu terjadi secara alamiah.
Pada 1930-an, radio berpengaruh besar terhadap popularitas tiga jenis musik yang jadi pondasi awal dangdut: orkes harmonium, orkes gambus, dan orkes Melayu.
Orkes harmonium (OH) disebut-sebut oleh musisi Husein Bawafie sebagai "asal-usul dangdut". Harmonium adalah nama alat musik sejenis organ asal Eropa yang masuk melalui India dan menyebar ke banyak negara. Peralatan musik OH biasanya terdiri dari harmonium, biola, terompet, gendang, rebana, dan sesekali tamborin.
Weintraub mengatakan bahwa OH biasanya memainkan lagu-lagu dengan irama Hindustan, dan lagu-lagu campuran musik Melayu, Arab, India, dan Eropa. Namun, pada era 1940-an, nama OH mulai meredup. Beberapa OH memilih berganti istilah orkes Melayu.
Pondasi dangdut kedua datang dari orkes gambus. Musik yang dimainkannya adalah musik ala Timur Tengah, mengandalkan alat musik gambus serta kendang-kendang bermembran ganda nan kecil, biasa disebut marwas atau marawis. Alat musik gambus dan marwas diperkirakan berasal dari Hadramaut (Yaman). Sebagai penyemarak, ditambahkan pula harmonium, biola, suling, rebana, tamborin, dan bas betot.
Salah satu musisi paling masyhur dari orkes gambus adalah Syech Albar, ayahanda Ahmad Albar. Menurut sejarawan Fandy Hutari, Albar sempat belajar alat musik gambus kepada Sayid Thah bin Alwi Albar di Yaman pada 1926. Albar pertama kali mendapat kontrak rekaman dengan label His Master’s Voice pada 1931. Weintraub mencatat, musik yang dihasilkan Albar berasal dari banyak pengaruh, dan tampak pada karyanya. Mulai Melayu, Arab, hingga Rumba ala Kuba.
Orkes Melayu (OM) adalah kepingan pelengkap dua pondasi awal. Dari pelbagai catatan radio, OM mulai muncul di Indonesia pada 1930-an. Salah satu yang punya nama mentereng adalah Orkest Melajoe Sinar Medan yang dipimpin oleh Abdul Halim. Meski namanya Sinar Medan, orkes ini berasal dari Jakarta.
Dalam kajian Weintraub, orkes ini memakai instrumen Eropa tetapi tetap mempertahankan unsur musikal Melayu. Antara lain pantun dan frasa semisal 'aduhai sayang'. Weintraub mencatat, lagu Melayu seperti "Sayang Manis" dan "Sinar Malacca" diiringi oleh vokalis dengan suara melengking, dan senggakan untuk menyemangati penyanyi.
Setelah Indonesia merdeka, OM mulai memasukkan sentuhan baru dalam musik mereka: membuat melodi baru berdasarkan melodi film India. Ini disebut-sebut sebagai pintu kelahiran dangdut. Lima tahun setelah Indonesia merdeka, pertukaran budaya semakin kencang. Arab, Melayu, India, Amerika Latin, juga Eropa—yang memperkaya musikalitas orkes Melayu.
Pengaruh tilawah terhadap cengkok
Komunitas Arab berperan penting dalam perkembangan dangdut di Indonesia. Selain Syech Albar, ada banyak nama warga keturunan Arab yang menjadi tokoh penting dalam jagat musik dangdut. Nama-nama itu, antara lain, Husein Bawafie yang memimpin orkes Chandralela, Said Effendi (Irama Agung), Umar Alatas (Chandraleka), juga Husein Aidid (Kenangan).
Komunitas warga keturunan Arab ini membentuk jaringan yang saling bertukar ilmu. Mereka bermain musik bersama, diskusi, dan ini yang kemudian tanpa disadari punya pengaruh penting dalam dangdut: mengaji. Rupa-rupanya, pelajaran seni baca Alquran (tilawah) adalah faktor utama yang membuat para penyanyi orkes Melayu jadi penyanyi dangdut yang lihai, dengan cengkok aduhai. Weintraub menyebutkan nama-nama seperti Ellya Khadam, Munif Bahasuan, A. Rafiq, Mansyur S., Elvy Sukaesih, dan Rita Sugiarto.
"Yang mereka pinjam dari seni baca Alquran bukan cengkok vokal spesifik, melainkan teknik-teknik vokal penetapan frasa lagu, diksi, pernafasan, dan pelafalan," tulis Weintraub.
Penggunaan cengkok yang berpijak pada seni baca Alquran ini yang seiring waktu menghasilkan perbedaan antara musik Melayu dan genre musik populer lain saat itu. Maka, tak sukar bagi mereka untuk menyanyikan lagu Arab sekalipun.
Baca lanjutannya: Rhoma Irama, dan Sejarah Dangdut di Indonesia (2)