Barang-barang Tak Berwujud pun Kini Kena Pajak

Naviri.Org - Pemerintah Indonesia tampaknya terus agresif dalam menetapkan pajak, untuk beragam barang, jasa, dan layanan. Terkait barang, sebelumnya pemerintah Indonesia hanya mengenakan pajak pada jual beli barang yang terlihat, semisal sepeda motor, mobil, rumah, dan semacamnya. Namun, kini, pajak juga akan diterapkan untuk barang-barang yang tak berwujud.

Barang tak berwujud yang dimaksud di sini adalah barang-barang digital, semisal e-book (buku elektronik). Kita tahu, e-book berbeda dengan buku fisik yang dibuat menggunakan kertas. Jika buku fisik jelas berbentuk barang yang bisa disentuh, e-book hanya bisa dilihat atau dibaca di layar komputer. Jika di masa lalu e-book bebas pajak, kini penjualan e-book akan dikenai pajak.

Pajak yang akan diterapkan terkait barang-barang digital semacam itu adalah pajak bea masuk, untuk barang digital dari lar negeri, yang dijual lewat perdagangan elektronik (e-commerce).

Barang digital, atau biasa disebut barang tak berwujud (intangible goods) ini contohnya piranti lunak, aplikasi, musik, film, buku elektronik (e-book), dan sebagainya. Selama ini produk-produk digital ini bebas bea masuk.

Bea masuk adalah pungutan negara yang dikenakan terhadap barang-barang impor. Sebabnya, selama ini Indonesia terikat perjanjian moratorium dengan World Trade Organization (WTO) atas barang-barang digital. Perjanjian WTO ini ditandatangani di Swiss pada 20 Mei 1998, dan bakal habis masa berlakunya akhir 2017.

Menurut Kepala sub Direktorat Komunikasi dan Informasi Direktorat Jenderal Bea Cukai, Kementerian Keuangan Deni Surjantoro, untuk mengenakan bea masuk, Indonesia harus mengajukan persetujuan WTO.

"WTO minta (moratorium) dipermanenkan, kita anggap ya tidak bisa begitu dong. Ini kan barang dan merupakan objek bea masuk. Maka sedang kita lobi ke WTO agar negara kita bisa kenai pajaknya (bea masuk)," kata Deni kepada media, (8/12/2017).

Menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani, Indonesia dan negara lain sedang koordinasi di tingkat menteri agar barang digital bisa dikenai bea masuk. "Kami terus melakukan kajian," ujar Sri Mulyani, Jumat (8/12/2017).

Menteri Koordinator Perekonomian, Darmin Nasution, memastikan aturan pengenaan bea masuk barang digital dari luar negeri yang dijajakan e-commerce bakal mulai dilakukan tahun depan.

Pemerintah masih terikat perjanjian WTO. "Tapi (perjanjian) itu akan berakhir akhir bulan ini, tahun depan dia (barang digital) kena," kata Darmin, Jumat (8/12/2017).

Pengenaan bea masuk atas produk digital tak lepas dari makin maraknya e-commerce. Menurut Direktur Jenderal Bea Cukai Heru Pambudi, seiring pertumbuhan e-commerce, potensi penerimaan negara dari barang digital semakin besar.

"Sebelumnya intangible goods dikemas secara fisik untuk dijual. Namun saat ini telah berubah menjadi digital," kata dia, Selasa (21/11/2017).

Heru mengatakan pemerintah menghadapi sejumlah tantangan untuk menerapkan bea masuk terhadap barang tersebut. "Tantangannya ialah bagaimana mendeteksi transaksi dan mengenakan pungutan kepabeanan atas transaksi tersebut," ujarnya.

Selama ini, hanya barang berwujud (tangible goods) dari luar negeri dikenai bea masuk. Menurut Peraturan Menteri Keuangan PMK-182/PMK.04/2016, jika harganya di bawah US $100 maka dibebaskan bea masuk. Jika harganya lebih dari US $100 kena bea masuk sebesar 7,5 persen.

Jika barang tersebut dibeli melalui salah satu e-commerce dan dikirimkan melalui jasa pengiriman, maka 7,5 persen dihitung dari harga barang plus ongkos kirim.

Jika jadi diberlakukan, maka kemungkinan barang-barang digital ini akan naik harganya.

Kenaikan harga ini salah satu yang akan menutup target bea masuk APBN 2018. Tahun depan, bea masuk dipatok sebesar Rp35,7 triliun. Angka ini naik 9,3 persen dari target bea masuk APBN-P 2017 sebesar Rp33,3 triliun.

Baca juga: Negara-negara yang Menjadi Surga Penghindar Pajak