Masalah dan Akar Korupsi di Indonesia
https://www.naviri.org/2017/12/masalah-dan-akar-korupsi-di-indonesia.html
Naviri.Org - Kenyataan buruk yang masih harus diterima oleh Indonesia adalah korupsi. Sebagai kenyataan buruk, korupsi telah berlangsung di negeri ini selama bertahun-tahun, dari satu pemerintahan ke pemerintahan lain. Sejak era Soeharto dan Orde Baru, korupsi sudah menggerogoti Indonesia, dan hal buruk itu terus terjadi meski presidennya berganti, meski pemerintahannya berganti. Bahkan sampai saat ini.
Saat ini, Indonesia memang telah memiliki KPK, lembaga yang berwenang menindak perilaku korupsi yang dilakukan siapa pun. Prestasi KPK dalam memerangi korupsi di Indonesia memang layak dipuji, karena nyatanya banyak koruptor yang diseret ke pengadilan oleh KPK. Namun, meski begitu, korupsi di Indonesia tidak juga berhenti, pelaku korupsi juga tidak habis-habis. Satu ditangkap, yang lain muncul. Dan begitu seterusnya.
Data Indonesian Corruption Watch (ICW) yang dirilis Februari 2017 mencatat, ada 482 kasus korupsi di Indonesia selama kurun waktu 2016. Dari jumlah itu, sebanyak 1.101 orang ditetapkan sebagai tersangka dengan total nilai kerugian negara mencapai Rp1,45 triliun.
Peringkat pertama pelaku korupsi di Indonesia menurut ICW berasal dari kalangan birokrasi, yang umumnya melakukan tindakan korupsi berupa pemerasan, memanipulasi tender, menganggarkan kegiatan fiktif, hingga korupsi kecil-kecilan seperti memanipulasi uang transportasi, hotel, dan uang saku.
Sedangkan merujuk data KPK, selama kurun waktu 2004-2016, jenis perkara yang ditangani komisi antirasuah paling banyak adalah kasus suap. Dari 514 jenis perkara yang ditangani KPK, 262 di antaranya soal suap. Sementara di urutan kedua adalah pengadaan barang atau jasa dengan jumlah 148 perkara, perizinan 19 perkara, pungutan 21 perkara, penyalahgunaan anggaran 44 perkara, merintangi proses KPK 5 perkara, serta TPPU tercatat 15 perkara.
Pertanyaannya adalah, apa yang menyebabkan kasus korupsi masih masif terjadi di Indonesia?
Pertama, faktor budaya politik setempat. Birokrasi di Indonesia menunjukkan ciri-ciri campuran antara birokrasi feodal yang merupakan ciri dari pemerintahan kerajaan, dan birokrasi rasional yang diperkenalkan ke Indonesia oleh pemerintah kolonial Belanda. Max Weber dalam Economic and Society: An Outline of Interpretive Sociology (1978), menyebut perpaduan ini sebagai "Birokrasi Patrimonial."
Weber menjelaskan, seorang pemimpin dalam birokrasi bertipe patrimonial punya kecenderungan untuk menganggap kekuasaan politik sebagai bagian dari milik pribadi, sehingga dalam penggunaannya banyak melakukan diskresi. Pemahaman atau persepsi pemimpin terhadap kekuasaan akan mempengaruhi perilaku kepemimpinannya.
Lalu, faktor lain yang mendorong timbulnya korupsi adalah adanya tradisi pemberian hadiah kepada pejabat pemerintah, dan pentingnya ikatan keluarga dalam budaya masyarakat negara sedang berkembang. Mochtar Mas'oed lewat Politik, Birokrasi, dan Pembangunan (1997), menjelaskan akan terjadi konflik nilai antara pertimbangan keluarga atau kepentingan publik tatkala hendak mengambil keputusan dalam tradisi pemberian hadiah ini. Penolakan bisa diartikan sebagai pengingkaran terhadap kewajiban tradisional. Tetapi menuruti permintaan berarti mengingkari norma-norma hukum formal yang berlaku.
Faktor penyebab korupsi selanjutnya adalah faktor struktural atau faktor pengawasan. Sederhananya: semakin efektif sistem pengawasan diberlakukan, maka akan semakin kecil pula kemungkinan peluang terjadinya korupsi dan kolusi. Sebaliknya, bila korupsi dan kolusi dipraktikkan secara luas, berarti ada yang salah dalam sistem pengawasan.
Masalahnya, pengawasan terhadap jajaran pemerintahan masih terasa sangat lemah. Mas'oed menyatakan lemahnya pengawasan terjadi karena pengaruh posisi dominan birokrasi pemerintah sebagai sumber utama barang, jasa, lapangan kerja, pengatur kegiatan ekonomi. Akibatnya, dominasi negara yang mengerdilkan kekuatan lain dalam masyarakat begitu menonjol.
Namun, alasan utama penyebab korupsi yakni faktor individual. Syed Hussein Alatas, lewat Sosiologi Korupsi: Sebuah Penjelajahan dengan Data Kontemporer (1996), menegaskan korupsi di Indonesia bukanlah akibat buruknya implementasi undang-undang dan peraturan, melainkan faktor-faktor yang ada di luar struktur pemerintahan, dalam hal ini individu-individu.
Jika orang-orang korup menguasai pemerintahan, apapun jabatannya, maka dipastikan struktur tersebut akan tercemar.
Sri Yuliani, pengajar manajemen dan kebijakan publik Universitas Sebelas Maret, menegaskan pemberantasan korupsi di Indonesia harus dilakukan secara struktural, individual, dan kelembagaan.
Mengingat korupsi sudah seperti kanker yang menyebar dan menjerat seluruh organ masyarakat, maka pemberantasan korupsi harus dimulai dengan reformasi sosial dan mental seluruh komponen masyarakat.
Baca juga: Negara-negara yang Digerogoti Korupsi