Memahami Ancaman Kesehatan di Balik Asbes
https://www.naviri.org/2017/12/bahaya-asbes.html
Naviri.Org - Sebagian rumah kadang menggunakan asbes sebagai atap. Anda juga mungkin pernah melihatnya, karena asbes memang masih banyak digunakan di Indonesia. Biasanya, asbes yang menjadi atap rumah memiliki bentuk seperti seng yang berliuk-liuk. Pertimbangan orang menggunakan asbes biasanya karena harga yang relatif murah, serta tidak menimbulkan panas. Sayangnya, asbes memiliki ancaman yang serius bagi kesehatan.
Ada masalah kesehatan yang disebut asbestosis, yaitu penyakit paru yang bisa bermuara menjadi kanker paru-paru. Masalah itu disebabkan karena menghirup serat asbes. Asbestosis kerap dialami para pekerja di tempat pembuatan asbes.
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), serat asbes yang mengendap dalam paru-paru dapat menyebabkan sejumlah penyakit, seperti kanker paru-paru, mesothelioma, dan asbestosis. Zat karsinogenik ini disebut bertanggung jawab atas kematian 100 ribu orang setiap tahunnya.
Meski sudah dilarang di 60 negara, asbes masih dikonsumsi banyak negara berkembang, termasuk Indonesia. Asbes selama ini banyak digunakan untuk konstruksi bangunan, tekstil, hingga kampas rem.
Terlepas dari dampak buruknya, beberapa negara terang-terangan menolak pelarangan penggunaan asbes, seperti Rusia dan India.
Di Indonesia, menurut data Survei Geologi AS (SDGS), penggunaan asbes pada 2012 meningkat 6 kali lipat dibanding tahun 1990, yaitu sebesar 161.823 ton, sebelum turun ke angka 109.000 ton pada tahun 2014.
Sekitar 180 perusahaan di Indonesia mengimpor asbes, baik sebagai bahan baku industri, maupun dalam bentuk produk jadi. Hingga kini, belum ada angka pasti berapa orang Indonesia yang terpapar asbes setiap harinya.
Keluarga menanggung risiko
Menurut data Indonesia Asbestos Ban Network (INA-BAN), terdapat sekitar 4.000 pekerja pabrik asbes di Indonesia. Angka itu belum termasuk mereka yang menjadi buruh kontrak dan pekerja konstruksi bangunan.
Risiko terpapar asbes tidak hanya ditanggung para pekerja, tetapi juga anggota keluarga mereka. Serat-serat yang menempel pada tangan, rambut, sepatu, hingga pakaian bisa saja terhirup oleh anggota keluarga di rumah.
Paparan asbes juga menerpa mereka yang belajar di gedung sekolah atau bahkan berobat di layanan kesehatan yang beratapkan asbes. Terlebih mereka yang tinggal di rumah beratap asbes.
Pemerintah sendiri belum berencana melarang penggunaan asbes. Untuk sementara, mereka membuat regulasi keselamatan kerja dan meningkatkan sosialisasi bahaya asbes bagi kesehatan.
“Kami sudah memulai program untuk meningkatkan kesadaran itu, namun tentu karena Indonesia sangat luas, kami harus melakukannya secara bertahap,” ujar Kartini Rustandi, Direktur Kesehatan Kerja dan Olahraga Kemenkes.
Memang, asbestosis dan penyakit lainnya yang muncul akibat menghirup serat asbes tak langsung terasa dampaknya. Penyakit-penyakit itu baru mulai terasa 5-10 tahun setelah terpapar asbes. Namun, bukankah mencegah lebih baik daripada mengobati?
Baca juga: Aneurisma Aorta, Tidak Terkenal tapi Berbahaya