Prostitusi di Indonesia di Zaman Penjajahan Belanda
https://www.naviri.org/2017/11/prostitusi-di-zaman-kolonial.html
Naviri.Org - Tampaknya, prostitusi memang profesi yang sangat tua, bahkan disebut sebagai profesi paling tua di dunia. Setidaknya, Indonesia telah mengenal praktik prostitusi jauh-jauh hari sebelum merdeka. Sejak zaman penjajahan Belanda, praktik prostitusi sudah eksis di berbagai wilayah, yang waktu itu bernama Hindia Belanda.
Sama seperti di zaman sekarang, prostitusi juga menjadi masalah sosial yang membutuhkan pembenahan sekaligus pengawasan. Dalam hal itu, kolonial Belanda juga melakukan beberapa tindakan.
Penanggulangan prostitusi telah dilakukan sejak zaman kolonial Belanda. Pada 15 Juli 1852, Gubernur Jenderal Albertus Jacobus Duymaer van Twist mengeluarkan surat keputusan mengenai peraturan penanggulangan prostitusi. Surat keputusan ini memuat tiga hal penting.
“Pertama, anggaran tahunan dari direktur jenderal keuangan sebesar f 20.000 untuk menanggulangi penyakit sifilis; kedua, memerinci aturan prostitusi untuk menangkal aspek berbahayanya; dan ketiga, peraturan ini hanya berlaku di beberapa daerah tertentu,” seperti dikutip dalam Pemberantasan Prostitusi di Indonesia Masa Kolonial terbitan Arsip Nasional Republik Indonesia.
Mulanya, aturan itu hanya berlaku di Batavia, Semarang dan Surabaya. Dua tahun kemudian, peraturan itu diterapkan di Cianjur dan empat kota lain.
Dalam perkembangannya, pemerintah kolonial memperluas jangkauan penerapan peraturan penanggulangan penyebaran prostitusi. Sejak 1857, peraturan tersebut diberlakukan di Banten, Banyumas, Madiun, Bagelen, Probolinggo, Besuki, Cirebon, Jepara, Pasuruan, Buitenzorg, Karawang, Yogyakarta, Magelang, Bandung dan Kudus. Disusul Tegal, Madura, Sumedang, Tulungagung pada 1861. Lalu Purwodadi dan Pekalongan pada 1863; Banyuwangi pada 1866; serta Gresik dan Cirebon pada 1869.
Meski sudah banyak kota menerapkan pembatasan pelacuran, jumlah rumah bordil dan pelacur tak berkurang. Pemerintah pun memperbarui aturan dan semakin memperketatnya. Pada 21 Januari 1874, gubernur jenderal Hindia Belanda mengeluarkan besluit No.14 tanggal 21 Januari 1874 yang memuat 23 pasal untuk menanggulangi masalah prostitusi. Pengendalian pelacur dilakukan dengan cara pemberian kartu.
“Masing-masing pelacur yang didaftar akan diperiksa kesehatannya oleh tim kesehatan untuk mengetahui apakah dia terinfeksi atau tidak. Dan jika mereka sehat, akan diberi kartu yang berisi nomor urut pendaftaran, nama dan tempat tinggal, dan tanggal penyerahan nama serta kualitas,” seperti dikutip dalam Pasal 8 dan 9, termuat dalam Pemberantasan Prostitusi di Indonesia Masa Kolonial.
Diterangkan pula, jika seorang wanita sudah terdaftar sebagai “wanita-publik”, maka dia sulit lepas dari statusnya tersebut, kecuali tiga hal yaitu: mati, permintaan menikah, dan permintaan keluar sebagai “wanita-publik” dengan rujukan polisi.
Kartu tersebut menjelaskan nomor pendataan, nama dan alamat yang bersangkutan, serta tanggal pemeriksaan dan nama orang yang memeriksa beserta jabatannya. Berdasarkan peraturan baru tersebut, seorang pelacur pun harus tinggal tidak lebih dari 6 pals atau sekira 1,51 hingga 1,81 kilometer dari rumah sakit tempat dokter sipil berpraktik.
“Di tataran implementasi, peraturan tersebut hanya mengatur para pelacur. Dalam beberapa pasal memang disebut pengawasan terhadap para pengelola rumah pelacuran. Hanya saja, sebetulnya, para pelacurlah yang menjadi subjek di dalamnya. Bisa dikatakan peraturan tersebut lebih ditujukan untuk menjinakkan para pelacur,” tulis Gani Ahmad Jaelani dalam disertasinya, yang dibukukan berjudul Penyakit Kelamin di Jawa 1812-1942.
Baca juga: Hitam Putih Prostitusi dari Masa ke Masa