Hitam Putih Prostitusi dari Masa ke Masa
https://www.naviri.org/2017/11/prostitusi-dari-masa-ke-masa.html
Naviri.Org - Sepertinya masalah Prostitusi tak pernah benar-benar selesai. Sebuah tempat prostitusi tumbuh dan hidup, lalu ditutup, apakah kemudian prostitusi hilang? Sepertinya tidak. Karena para pelaku prostitusi lalu melakukan praktik serupa di tempat lain, atau secara sembunyi-sembunyi. Kenyataan semacam itu sudah terjadi sejak masa lampau.
Di masa sekarang, banyak tempat prostitusi yang ditutup. Di Jakarta, misalnya, atau di Surabaya dan Bandung. Tempat-tempat prostitusi itu telah tutup, dan para penghuninya sudah tidak lagi berpraktik di tempat semula. Tetapi, sekali lagi, apakah kemudian praktik prostitusi benar-benar hilang? Itu masih jadi pertanyaan besar, apalagi saat ini ada internet yang memungkinkan siapa pun melakukan praktik prostitusi secara online.
Kalau kita kembali ke masa lalu, di masa kolonial, prostitusi pernah mendapat ruang hidup secara legal. Saat Hindia Belanda Timur berada dalam kuasa Prancis, Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels (menjabat 1808-1811) mengeluarkan aturan perihal prostitusi.
Kaisar Napoleon ikut membidani lahirnya aturan itu. Dia melihat daya tempur tentara Prancis mengendor akibat penyakit kelamin. Sumber penyakit kelamin berasal dari perempuan pekerja seks. Maka, Napoleon mewajibkan mereka mengikuti pemeriksaan medis secara rutin. “Ini berarti bahwa prostitusi dibolehkan...,” tulis Liesbeth Hesselink, dalam “Prostitution: A Necessary Evil,” termuat dalam Indonesian Women in Focus, suntingan Elsbeth Locher Scholten dan Anke Borkent-Niehof.
Aturan itu berumur pendek karena Prancis hengkang dari Hindia Belanda Timur pada 1813. Prostitusi pun merebak tanpa kendali.
Terusik maraknya sebaran penyakit kelamin dan prostitusi ilegal, sekelompok masyarakat mendesak pemerintah kolonial mengeluarkan aturan perihal prostitusi. Menurut mereka, prostitusi sudah jadi kebutuhan alamiah laki-laki. Orang mustahil menolak prostitusi sebab mereka membutuhkannya. Muncullah sebutan untuk prostitusi: “kejahatan yang dibutuhkan.”
Pemerintah kolonial berpihak pada kelompok pendukung prostitusi. Mereka mengeluarkan Reglement tot wering van de schadelijke gevolgen, welke uit de prostitutie voortvloejen (Aturan untuk melawan dampak buruk prostitusi) pada 1852. Ini berarti prostitusi kembali menemukan pijakan legal.
Berdasarkan aturan 1852, para perempuan pekerja seks wajib mendaftarkan diri ke polisi. Pemerintah kolonial berharap pendaftaran itu bisa menekan prostitusi ilegal. Perempuan pekerja seks juga harus memeriksakan kesehatannya saban minggu ke dokter. “Jika seorang perempuan pekerja seks terinfeksi penyakit kelamin, dia harus masuk rumah sakit dan tidak boleh pergi hingga sembuh,” tulis Liesbeth.
Harapan pemerintah kolonial meleset. Sebaran penyakit kelamin dan prostitusi liar tetap semarak. Penentang prostitusi pun bersuara keras. Kata mereka, aturan 1852 sangat konyol. Tidak ada cukup polisi dan dokter untuk mengurus prostitusi. Argumen lain mereka ialah soal moralitas dan dosa agama.
“Secara bertahap, suara para penentang aturan prostitusi menguat. Dan sampai puncaknya pada 1 September 1913 ketika pemerintah kolonial memberlakukan Undang-Undang Kesusilaan Publik,” tulis Liesbeth. Maka, rumah bordil dan pergermoan jadi ilegal. Menurut Marieke Bloembergen dalam Polisi Zaman Hindia Belanda, Polisi Susila Hindia Belanda lekas bergerak memberantas prostitusi begitu UU itu berlaku.
Tapi prostitusi tak lantas mati. Para pelakunya bergerak secara sembunyi-sembunyi. Pemilik hotel, restoran, dan tempat hiburan malam menyediakan jasa seks berbayar terselubung. Catatan RDGPH Simons, ahli demartologi Batavia, bahkan menyebut prostitusi di Surabaya berkembang menjadi delapan jenis pada 1939.
“Yang ditemukan di warung-warung kopi kecil di dekat pelabuhan dan kota pelabuhan tua; prostitusi jalanan dari kampung setempat; rumah-rumah bordil di pusat kota; rumah bordil kampung di pinggiran kota; pelayanan berbeda dari pelayan wanita pribumi; pelayanan yang lebih beragam dari pelayan wanita Belanda; prostitusi Eropa di rumah bordil yang terorganisasi; dan terakhir prostitusi homoseksual dan waria,” tulis John Ingleson dalam “Prostitusi di Kolonial Jawa,” termuat dalam Perkotaan Masalah Sosial dan Perburuhan di Jawa Masa Kolonial.
Baca juga: Masalah dan Pro-Kontra Kondom di Indonesia