Ketika Para Pemimpin Dunia Saling Mengejek
https://www.naviri.org/2017/11/pemimpin-dunia-saling-mengejek.html
Naviri.Org - Ejek mengejek umum dilakukan anak-anak kecil. Ketika berselisih dengan teman, mereka pun tak jarang saling melontarkan ejekan. Hal sama terjadi pada para remaja, meski ejekan yang keluar juga sering dimaksudkan untuk bercanda. Namun, ejek mengejek selama ini identik atau diidentikkan dengan orang-orang yang belum cukup nalar, atau bahkan dipredikatkan pada orang yang kurang berpendidikan.
Namun, ternyata, aktivitas saling ejek tidak hanya dilakukan anak kecil atau remaja. Pun tidak hanya dilakukan orang yang belum cukup nalar atau kurang berpendidikan. Nyatanya, sejumlah pemimpin dunia dan pejabat pemerintahan pun melakukannya.
Belum lama ini, misalnya, di sela-sela kunjungan kenegaraan 12 harinya ke Asia, Presiden Amerika Serikat Donald Trump menulis cuitan untuk pemimpin Korea Utara, Kim Jong-un. Cuitan Trump membalas ucapan Kim yang menyebut dirinya “tua”.
Dalam cuitannya, Trump meradang, “Kenapa Kim Jong-un menghinaku dengan sebutan “tua”, di saat aku tidak pernah menyebutnya "kuntet” atau “gembrot”? Trump melanjutkan dengan sindiran: “Okelah, aku akan coba jadi temannya dan mungkin suatu hari keinginan itu bakal terwujud!”
Bagi masyarakat internasional, balasan Trump kepada Kim tidak mengagetkan. Trump selama ini memang dikenal sebagai pemimpin dunia yang rajin menggunakan media sosial (khususnya Twitter) untuk merepons para pengkritiknya atau mengomentari isu terkini. Melania Trump pernah menjelaskan, jika Trump diserang, ia akan “memukul balik 10 kali lebih keras”.
Hinaan Trump ke Kim—begitu pula sebaliknya—muncul ketika hubungan antara Washington dan Pyongyang di titik didih akibat lonjakan aktivitas uji coba senjata nuklir Korea Utara selama beberapa bulan terakhir sejak Trump menjabat. Para analis menganggap pesan Trump sebagai tanda eskalasi ketegangan antara kedua negara. Di lain sisi, The Washington Post menyatakan pesan yang diunggah Trump di Twitter merupakan retorika baru dalam upaya penyelesaiannya menangani konflik dengan Korea Utara.
Sementara itu, Kementerian Luar Negeri Korea Utara mengeluarkan pernyataan berkaitan dengan cuitan Trump di Twitter. Menurut Kementerian Luar Negeri Korea Utara, kunjungan 12 hari Trump di Asia merupakan perjalanan untuk memancing konfrontasi dengan pihaknya. Kementerian Luar Negeri meneruskan, “Ucapan sembrono yang terlontar dari mulut orang gila seperti Trump tidak membuatnya takut, apalagi menghentikan pengembangan program nuklir.”
Nyatanya, hinaan terhadap pemimpin Amerika bukan sekali ini saja dilakukan Korea Utara. Sebelum kejadian 12 November kemarin, Trump pernah diolok-olok Pyongyang sebagai “pikun”, “maniak perang”, sampai “orang gila”. Kemudian, delapan tahun lalu, seperti diwartakan The New York Times, Hillary Clinton disebut “wanita lucu” yang “sama sekali tidak cerdas”. Lontaran ejekan ke arah Clinton disampaikan terkait sikap sang mantan Menlu AS yang menekan Pyongyang untuk membongkar program nuklirnya.
Pemerintahan George W. Bush juga pernah jadi sansak olok-olok Korea Utara. Pyongyang menyebut kabinet Bush sebagai “sekelompok penipu yang kumpul jadi satu”. Wakil Bush, Dick Cheney pun dihujat sebagai “monster paling kejam dan haus darah”. Ejekan terhadap Cheney dilatarbelakangi kritiknya kepada Kim Jong Il dalam sebuah wawancara CNN. Cheney menyebut Kim Jong Il “pemimpin dunia paling tidak bertanggung jawab”.
Dalam pelaksanaannya, tak jarang kata-kata mengejek diluncurkan oleh kantor berita Korea Utara, Korean Central News Agency. Kantor berita ini membungkus olok-olok terhadap pemimpin Amerika dengan balutan propaganda.
Sebagai contoh, pada Mei 2014 Korea Utara menyasar Presiden Barack Obama dengan menyebutnya “badut", “gembel”, sampai menyarankan agar Obama “tinggal bareng sekelompok monyet di kebun binatang terbesar di Afrika sambil menjilati remah roti yang dilempar penonton”.
Hal serupa terjadi juga dengan Presiden Korea Selatan Park Geun-hye. Menurut laporan The Guardian, propaganda olok-olok yang dilontarkan ke Park berbunyi “lonte culas” serta “gadis penghibur Obama”. Ungkapan tersebut bermula ketika Park mengadakan pertemuan dengan Obama di Seoul. Lalu, pada Februari 2016, Korea Utara mengeluarkan pernyataan senada dengan menyebut Park “perempuan jalang tua dan gila” usai Park mengutuk keras uji coba nuklir Korut.
Budaya mengejek
Jika ditelisik ke belakang, budaya saling ejek para pemimpin dunia sudah setua politik itu sendiri. Di mana ada politik, dipastikan di situ ada olok-olok.
Pada 1999, Menteri Pertahanan Suriah Mustafa Tlass mengumpat pimpinan Otoritas Palestina dengan sebutan “anak dari 60 ribu pelacur”. Tlass mengungkapkan hinaannya itu di acara peringatan Hari Angkatan Darat Suriah.
Serapah Tlass berangkat dari tuduhannya bahwa Arafat menyerah pada Israel terkait Yerusalem dan membebek Presiden AS, Bill Clinton. Editor harian al-Quds al-Arabi Abdeldari Atwan mengkritik pernyataan Tlass seraya menyebut ucapannya tak pantas keluar dari mulut seorang menteri.
Di Amerika Latin, pemimpin yang acapkali melontarkan ejekan pahit kepada pemimpin lainnya ialah mantan Presiden Venezuela, Hugo Chavez. Tentu saja target utamanya adalah Amerika yang bagi Chavez merupakan musuh abadi.
Pada Maret 2006 di acara televisi nasional, Chavez mengejek George W. Bush dengan sebutan “keledai”, “pembunuh”, “pecandu alkohol” sampai “sosok tanpa moral”. Beberapa bulan berselang ketika pidato di PBB, Chavez menyamakan Bush dengan iblis.
“Kemarin, lewat mimbar ini, presiden Amerika Serikat, pria yang saya sebut sebagai iblis datang kemari dan berbicara seolah-olah dirinya memiliki dunia. Benar, sebagai pemilik dunia,” ujarnya seperti dilansir BBC.
Setahun sebelumnya, Chavez mengolok-olok Presiden Meksiko, Vicente Fox, sebagai “anjing peliharaan”. Chavez mengatakan, “Saya dan banyak orang sedih ketika sosok seperti presiden (Vicente Vox) membiarkan dirinya jadi anjing peliharaan kerajaan [imperialisme Amerika].”
Perdana Menteri Inggris Winston Churchill lain lagi. Ia menganggap Mahatma Gandhi—tokoh yang sangat dihormati di India—sebagai ancaman Kerajaan Inggris. “Sangat mengkhawatirkan dan membuat mual kala menemui Gandhi, seorang pengacara penghasut yang berpose bak fakir miskin lantas berjalan setengah telanjang menaiki tangga Istana,” kata Churchill pada 1931.
Fenomena sama terjadi ketika zaman abad 16 sampai 17. Pelaku utamanya yakni Napoleon Bonaparte. Waktu itu, di usia 28 tahun, Napoleon merupakan pemimpin militer dan politik Perancis dengan ambisi menaklukkan seluruh daratan Eropa. Pada Januari 1809, Napoleon dituduh melancarkan kampanye militer sampai Spanyol.
David Lawday, dalam buku Napoleon’s Master: A Life of Prince Talleyrand (2006), menjelaskan bahwa misi Napoleon di Spanyol tersebut menarik perhatian Charles Maurice de Talleyrand-Perigord yang waktu itu menjabat Menteri Luar Negeri Perancis. Talleyrand beranggapan misi penguasaan wilayah yang dilakukan Napoleon harus dihentikan untuk meminimalisir jumlah korban.
Demi memuluskan tujuannya, Talleyrand pun mendatangi Napoleon. Bukannya mendapatkan respon yang baik, Talleyrand justru dilepeh: “Anda itu tai dalam balutan stocking sutra.” Alhasil, Talleyrand yang mendengarkan hinaan Napoleon langsung angkat kaki dari ruangan.
Namun, di balik cemooh yang merendahkan, ada juga pemimpin dunia yang melontarkan ejekan cerdas. Perdana Menteri Polandia Beata Szydlo, misalnya. Awal 2017, pemerintah Polandia berupaya menghalangi Szydlo untuk menjabat posisi senior Uni Eropa. Dukungan senada juga diutarakan pemimpin UE lainnya termasuk Presiden Perancis, Francois Hollande.
Hollande mengatakan dana Polandia dari UE bisa tertahan jika mereka masih bersikukuh mengusung Szydlo. Menanggapi ancaman Hollande, Sydlo mengatakan, “Apa perlu saya menyeriusi ancaman presiden yang elektabilitasnya cuma 4 persen?”
Kemudian Wakil Kanselir Jerman, Sigmar Gabriel, membalas Trump yang menyinggung soal orang Jerman yang emoh beli mobil Amerika. Gabriel bilang, “Amerika mestinya bikin mobil yang lebih baik.”
Tapi untuk olok-olok pengundang tawa, mantan Perdana Menteri Inggris Winston Churchill-lah jagonya.
Nancy Astor, anggota parlemen perempuan pertama Inggris, mengejek Churchill, "Seandainya saya istri Anda, saya sudah racuni kopi Anda." Churchill pun menjawab santai, “Jika saya suami Anda, saya akan minum kopi itu.”
Tentang penggantinya, Clement Attlee, politisi Partai Buruh yang berlatar belakang pengacara, Churchill yang anggota Partai Konservatif itu mengatakan dengan congkak, "Domba berbulu domba."
Di antara semua cemooh yang terlontar dari mulut Churchill, ada satu yang paling tersohor. Pada 1964, Churchill bertemu Bessie Braddock, anggota parlemen dari Partai Buruh. Braddock mengatakan, “Winston, Anda mabuk!” Seperti biasa, Churchill pun menjawab seenaknya: “Madam, Anda tetap jelek ketika saya sudah sadar paginya.”
Baca juga: Seratus Tahun Deklarasi Balfour, Antara Perayaan dan Protes