Kostum Halloween dan Industri di Balik Perayaan
https://www.naviri.org/2017/11/kostum-halloween.html
Naviri.Org - Perayaan Halloween identik dengan aneka kostum yang menyeramkan. Dalam perayaan tersebut, ada yang mengenakan kostum nenek sihir, vampir, dan lain-lain. Di masa lalu, kostum-kostum itu dibuat sendiri, dengan kreativitas sendiri. Namun, sekarang, ada cara yang lebih praktis, yaitu membeli kostum yang sudah jadi, dan tinggal pakai. Perkembangan lain yang terjadi adalah bertambah banyaknya kostum yang bisa dipilih.
Meski kini kostum dengan beragam tema banyak dikenakan pada Halloween, mulanya hanya kostum dengan tema tertentu yang dipilih oleh orang-orang yang merayakannya. Pakaian compang-camping atau yang serupa hantu atau penyihir dikenakan supaya mereka bisa mengelabui roh jahat yang berkeliaran pada tanggal 31 Oktober.
Mereka juga membubuhi wajahnya dengan abu supaya roh jahat tidak menghampiri. Dulu di daerah Jerman dan Perancis, orang-orang menggunakan kostum dari kulit dan kepala hewan untuk bisa berhubungan dengan arwah-arwah pada peringatan Halloween.
Menarik untuk melihat tradisi Halloween yang diteruskan ke berbagai negara. Bila dalam perayaan lain di Amerika Serikat seperti Natal, Valentine, atau Paskah yang diangkat adalah sosok-sosok baik—seperti Santa Claus, Cupid, dan kelinci Paskah—, dalam perayaan Halloween justru sosok-sosok antagonis yang ditonjolkan. Caplow et. al. (1982) yang menulis Middletown Families: Fifty Years of Change and Continuity memandang Halloween sebagai antitesis dari perayaan-perayaan lain di Negeri Paman Sam.
Pada perkembangannya, orang-orang tidak lagi memakai kostum menyeramkan saja saat berpesta atau mendatangi rumah-rumah untuk meminta hadiah. Awal abad 20, pesta topeng kerap dilakukan saat Halloween. Hal-hal yang dianggap eksotis bagi masyarakat Barat pun menjadi inspirasi kostum untuk perayaan ini, contohnya pakaian orang-orang Mesir.
Berbeda dengan tujuan awal untuk mengelabui setan, penggunaan kostum menyeramkan pada perayaan Halloween modern lebih sering dimaksudkan untuk menakut-nakuti atau malah semata untuk mendulang keseruan. Tidak ada lagi pakem pasti yang diterapkan setiap 31 Oktober.
Seiring dengan menyebarnya budaya populer dari berbagai penjuru dunia, utamanya dari Amerika Serikat, tokoh-tokoh yang menginspirasi pemilihan kostum Halloween pun bertambah. National Retail Federation mencatat, tahun ini pakaian bertema tokoh komik DC dan Marvel masuk dalam lima besar pilihan kostum Halloween terpopuler di samping penyihir dan bajak laut. Sementara di kalangan anak-anak, karakter Princess, superhero, dan tokoh-tokoh Star Wars termasuk dalam kostum-kostum yang paling sering dipilih.
Representasi tokoh-tokoh dalam perayaan Halloween di berbagai negara tidak lepas dari tren yang ada di media massa lokal. Karakter Suzanna yang identik dengan setan misalnya, dicantumkan pada poster "Time After Time: Bloody Promnight". Hal-hal yang tak horor sama sekali pun sah-sah saja ditunjukkan dalam pesta kostum Halloween.
Pakaian seksi ala model-model majalah Playboy sampai kostum Pikachu dan Bugs Bunny bukanlah hal yang tabu untuk dikenakan saat perayaan ini. Pengalaman berdandan habis-habisan atau memakai baju yang eksentrik bukanlah bagian dari keseharian. Maka tak heran bila pesta kostum ini dimanfaatkan sebagian orang untuk unjuk diri dan bersenang-senang.
Industri di balik perayaan Halloween
Popularitas Halloween di Amerika Serikat mendorong perilaku konsumerisme masyarakat. Mulai dari biaya membeli kostum, berdandan, sampai biaya pengadaan makanan atau hadiah rela mereka keluarkan. Tahun 2012, biaya total yang dihabiskan untuk perayaan Halloween di sana diestimasikan sebesar $8 triliun, sementara lima tahun kemudian, angka ini melonjak hingga $9,1 triliun. Rata-rata pada 2017 ini, warga Amerika Serikat menghabiskan $86,13 untuk keperluan Halloween.
Bagaimana dengan di Indonesia? Popularitas Halloween boleh dikatakan hanya menyentuh kalangan tertentu saja karena tidak semua tertarik dengan pesta kostum yang digadang-gadang dalam perayaan ini. Untuk bergabung dalam pesta yang digelar The Safe House, pengunjung perlu mengeluarkan Rp100 ribu yang ditukar dengan minuman. Sementara untuk Halloween Brunch, pengunjung dikenakan biaya Rp200 ribu.
Jika kita kembali melihat akar tradisinya, perayaan Halloween kini telah digeser. Halloween bukan lagi tradisi sakral, melainkan perayaan ekspresi diri yang mendatangkan untung berlipat bagi beragam industri.
Baca juga: Geger Kemunculan Vampir Pengisap Darah di Afrika