Biografi Ranggawarsita: Kehidupan dan Ramalannya
https://www.naviri.org/2017/10/ranggawarsita.html
Naviri.Org - Ranggawarsita, yang sering pula disebut Ronggawarsito, dikenal sebagai penyair keraton zaman dulu yang visioner. Syair-syairnya serupa ramalan yang mampu mengilustrasikan sesuatu yang kelak akan terjadi. Sebenarnya, nama julukannya adalah Ranggawarsita III, dan berikut ini biografi perjalanan hidupnya.
Terlahir dengan nama Bagus Burhan pada tahun 1802 M, Ranggawarsita III adalah putra dari seorang ayah yang namanya mirip dengannya, Ranggawarsita II yang juga seorang penulis keraton. Dari jalur ayah, beliau masih cicit dari pujangga terkenal RT Yasadipura I. Sejak kecil, Bagus Burhan mempunyai seorang pengasuh yang sangat ramah dan pandai bergaul, bernama Ki Tanujaya. Dia begitu sayang, sehingga mengikuti ke mana pun Bagus Burhan pergi.
Pada usia remaja, Bagus Burhan dimasukkan ke pondok pesantrean Gebang Tinatar, asuhan Kyai Kasan Besari. Ki Tanujaya pun ikut serta. Walau kelak menjadi pujangga besar, jangan dikira Bagus Burhan santri yang rajin, dia bahkan seorang pemalas yang suka membolos. Kegemarannya berjudi dan mempelajari klenik, dua hal yang menjadi larangan di pondok. Kyai Kasan Besari sangat jengkel dan marah dengan kelakuan Bagus Burhan. Dia kemudian mengusir Bagus Burhan dari pondok.
Bagus Burhan dan Ki Tanujaya kemudian mengembara ke seantero Jawa Timur. Ketika sampai di Madiun, mereka menginap di rumah tokoh lokal Kasan Ngali. Di tempat itu mereka bertemu dengan Pangeran Cakraningrat yang sedang bertamu. Anak Pangeran Cakraningrat yang ikut serta, Rajeng Ajeng Gombak, tampaknya membuat kesan di hati Bagus Burhan.
Di lain tempat, Kyai Kasan Besari gelisah telah mengusir Bagus Burhan. Dia kemudian mengirim utusan untuk mencari. Setelah kembali ke pondok, Bagus Burhan dimarahi habis-habisan oleh Kyai Kasan Besari. Beliau juga memberi nasihat-nasihat yang keras, hingga Bagus Burhan insyaf. Inilah titik balik kesadaran Bagus Burhan dalam belajar. Dia kemudian menjadi santri yang berprestasi, sehingga diberi kepercayaan ikut mengelola pondok.
Setelah dirasa cukup ilmunya oleh Kyai Kasan Besari, Bagus Burhan diserahkan kepada RT Sastranagara untuk suwita atau ngenger. Suwita adalah tahapan awal bagi seseorang yang akan mengabdi sebagai pegawai keraton. Dalam tahap suwita ini, seseorang berlaku sebagai pesuruh dalam berbagai pekerjaan kenegaraan, sambil mempelajari agar kelak dapat melakukan pekerjaan secara mandiri.
Pada tahun 1815, Bagus Burhan melanjutkan suwita kepada pangeran Buminata. Tampaknya sang pangeran sangat berkenan dengan Bagus Burhan, sehingga banyak pelajaran yang diberikan kepadanya tentang pemerintahan. Setelah cukup ilmu oleh Pangeran Buminata, Bagus Burhan diserahkan kepada Sunan Paku Buwana IV untuk magang sebagai abdi dalem. Itulah awal karir Bagus Burhan sebagai pegawai keraton.
Karir Bagus Burhan terus menanjak, hingga diangkat menjadi Abdi Dalem Carik Kepatihan pada tahun 1819. Burhan kemudian menikah dengan Rajen Ajeng Gombak, putri Bupati Kediri Pangeran Cakraningrat, gadis yang pernah dia lihat sewaktu remaja dulu. Karena kecemerlangannya, karir Bagus Burhan makin menanjak. Jabatan tertinggi diraih pada tahun 1847 sebagai Pujangga Dalem Surakarta Adiningrat, dengan gelar Raden Ngabehi Ranggawarsita.
Sebagai pujangga keraton, tugas utama Ranggawarsita adalah menyusun dan mengembangkan kebudayaan dan kepustakaan Jawa. Dalam jabatannya, Ranggawarsita banyak menelurkan karya yang bermutu. Selain mumpuni dalam bidang susastra Jawa, Ranggawarsita juga seorang cendekiawan yang tidak “kuper”. Salah satu bukti adalah beliau bersahabat dan bekerja sama dengan seorang cendekiawan dan pakar bahasa dari Belanda, C.F. Winter.
Kolaborasi mereka menghasilkan sebuah kamus Kawi-Jawa, Kawi-Javaansche Woodenboek. Karya itu telah diterbitkan ulang oleh Gama Press, dengan judul Kamus Kawi-Jawa. Ranggawarsita juga mendapat tawaran untuk menjadi profesor di negeri Belanda, namun beliau menolak karena ingin mengabdi di keraton.
Menilik dari karya, jabatan, dan pergaulannya, tak aneh kalau Ranggawarsita adalah cendekiawan yang melampaui zaman. Banyak karyanya secara apik mengungkapkan hukum-hukum sejarah dan masyarakat. Misalnya teori beliau tentang zaman Pakewuh, yang merupakan zaman terkutuk, semua orang pada gila, kelak suatu saat pasti berakhir. Dan anehnya Ranggawarsita secara tepat dapat meramalkan kapan berakhirnya keadaan itu. Dalam serat Sabdajati Pupuh Megatruh bait ke 14, Ranggawarsita menuliskan syair ini.
Waluyane benjang lamun ana wiku, memuji ngesthi sawiji, sabuk tebu lir majenun, galibedan tudang tuding, anacahken sakehing wong.
(Berkhirnya nanti jika suatu saat ada seorang sakti, yang ahli beribadah kepada yang Maha Satu, memakai sabuk tebu bagaikan orang gila, berkeliling menuding ke sana ke mari, menghitung-hitung jumlah manusia.)
Kita tidak akan membahas makna bait di atas, tetapi di situ terselip kata: Wiku memuji ngesthi sawiji, adalah candra sengkala atau penanda tahun yang kalau dinominalkan keluar angka: 1877 Jawa, atau bertepatan dengan tahun 1945. Itulah tahun kemerdekaan negara kita, zaman ketika Pakewuh atau serba sulit tersebut berakhir.
Ranggawasita meninggal dunia tahun 1873 M. Beliau dimakamkan di Palar, Klaten, 15 km dari keraton tempatnya mengabdi. Sepeninggalnya, tak lahir lagi pujangga keraton yang sekaliber beliau. Ranggawasita adalah Sang Pujangga Terakhir.
Baca juga: Kisah Laksamana Cheng Ho dan Mitos Durian