Meluruskan Pola Pikir Keliru Terkait Kehidupan (1)
https://www.naviri.org/2017/05/pola-pikir-page-1.html
Naviri.Org - Ada suatu pembusukan dalam kehidupan kita yang tak pernah kita sadari keberadaannya, dan kemudian menjebak kita dalam lingkaran setan tanpa henti, tanpa selesai, sampai mati...
Masih ingat masa kecilmu?
Mungkin, dulu saat kita masih kecil, masih SD atau SMP, kita pernah (atau bahkan sering) mendapat nasihat yang (terkesan) bijak dan baik seperti ini, “Hei Nak, belajarlah yang rajin, agar bisa mendapat nilai yang tinggi. Kalau kamu dapat nilai yang tinggi, kamu bisa masuk universitas terkenal. Kalau kamu bisa menjadi lulusan universitas terkenal, kamu bisa mudah mendapat pekerjaan...”
Mungkin kata-kata nasihatnya tak persis sama, namun esensinya seperti itu. Belajarlah yang rajin agar kamu dapat nilai tinggi. Dapatkanlah nilai tinggi, agar kamu bisa masuk perguruan tinggi. Dapatkanlah ijazah perguruan tinggi, agar kamu mudah dapat pekerjaan. Dan... yang memprihatinkan sekaligus memilukan, persis seperti itulah yang kemudian kita lakukan!
Sedari kecil, kita telah dipacu untuk giat belajar dengan rajin untuk mendapatkan nilai yang tinggi. Mental semacam itu telah ditanamkan ke dalam bawah sadar kita dari semenjak SD hingga kita duduk di bangku perguruan tinggi. Gapailah nilai yang tinggi!
Ketika akhirnya kita berhasil lulus dari perguruan tinggi, kita pun kesana-kemari menawarkan ijazah kita untuk memperoleh pekerjaan. Dan karena (mungkin) nilai-nilai kuliah kita baik dan terhitung tinggi (ditambah lagi mungkin nama universitas kita termasuk terkenal), kita pun lalu mendapat pekerjaan dengan penghasilan lumayan, dengan gengsi profesi lumayan, dengan kemungkinan naik jenjang karir yang juga lumayan.
Hidup pun rasanya sudah nyaman; kita sudah mendapatkan penghasilan cukup, dan rasanya pekerjaan kita di perusahaan (atau di kantor atau di instansi atau di biro) itu akan berlangsung selamanya. Kita mendapat tunjangan kesehatan, cuti bulanan yang cukup, bonus akhir tahun, dan juga mungkin... uang pensiun yang cukup setelah kita berhenti bekerja saat kelak usia kita tua. Hidup sudah indah, bukan?
Apa yang kemudian terjadi setelah itu? Aha, pikiran pertama yang terlintas dalam kebanyakan kepala orang yang telah bekerja dengan nyaman seperti itu adalah... menikah.
Pikiran terbesar dalam setiap kepala seseorang (khususnya lelaki) ketika mereka sudah merasa cukup mapan dalam pekerjaannya, adalah keinginan untuk menikah.
Mereka mungkin berpikir, “Penghasilanku sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Rasanya sudah layak bagiku untuk menikah, memiliki pasangan hidup. Syukur kalau istriku juga bekerja, hingga kami bisa memiliki dua penghasilan. Kami bisa menyisihkan uang untuk mengontrak rumah, menabung, dan... hm, memiliki anak-anak... dan... ya, rasanya sudah layak bagiku untuk menikah.”
Maka dia pun lalu mulai mencari calon istri (diprioritaskan yang juga memiliki pekerjaan dan penghasilan cukup). Setelah menikah, mereka pun lalu mulai mencari rumah kontrakan, karena mungkin belum ada cukup uang untuk membeli rumah sendiri. Mereka lalu mengumpulkan uang penghasilan mereka berdua, mencari-cari rumah kontrakan yang harganya sesuai dan tak terlalu jauh dari tempat kerja, lalu memulai hidup sebagai keluarga yang mandiri.
Setelah hidup di rumah sendiri, apa lagi yang kurang? Perabotan, tempat tidur, alat-alat dapur, dan televisi, juga beberapa hal lain. Maka mereka pun menganggarkan uang untuk memenuhi rumah mereka dengan barang-barang itu.
Dan kemudian? Oh ya, kendaraan. Mereka berpikir mungkin akan lebih nyaman kalau punya kendaraan sendiri (motor atau mobil) agar pulang-pergi dari tempat kerja lebih nyaman. Maka mereka pun mengumpulkan uang lagi untuk mendapatkan kendaraan impian. Syukur kalau bisa beli cash. Kalau tidak bisa ya... kredit juga tidak apa-apa, kan?
Setelah waktu berlalu dan setelah rumah terisi cukup perabotan dan alat-alat dapur, serta perangkat hiburan, apa lagi yang biasanya terpikirkan? Ingin punya rumah sendiri! Senikmat-nikmatnya mengontrak rumah, pasti lebih nyaman kalau bisa menempati rumah milik sendiri, tak perlu mikir bayar tagihan bulanan atau tahunan.
Maka mereka pun mulai mencari-cari rumah yang diidamkan. Sekarang sedang musim KPR atau rumah yang dapat dibeli dengan sistem kredit dengan uang muka ringan, dan mereka pun membeli satu unit rumah untuk hidup yang baru. Kelak, mereka akan menghabiskan umur mereka hanya untuk membayar cicilan rumah itu!
Satu setengah tahun setelah menikah, sang istri pun mulai melahirkan anak mereka—seorang anak yang mungil, lucu, seorang anak yang diimpikan sebagai penerus generasi mereka, seorang anak yang akan menyandang nama belakang ayahnya—seorang anak yang dicita-citakan dapat memenuhi segala fantasi dan impian indah mereka tentang hidup dan kehidupan.
Tahun-tahun berlalu, dan sang anak terus tumbuh besar. Mereka makin giat dan makin keras bekerja untuk menghidupi anaknya, dan anak kedua pun lahir. Lalu mungkin anak ketiga. Kebutuhan hidup makin banyak. Sekarang tidak cuma kebutuhan makan dan hidup sehari-hari, namun juga kebutuhan membiayai sekolah anak-anak mereka.
Karena tahu betapa susah mencari uang untuk terus membiayai sekolah anak-anak, mereka pun menasihati anak-anaknya dengan nasihat yang baik dan bijak, sebagaimana dulu orangtua mereka menasihati saat mereka masih bersekolah. Dan nasihat itu adalah, “Hei Nak, belajarlah yang rajin, agar bisa mendapat nilai tinggi. Kalau kamu dapat nilai tinggi, kamu bisa masuk universitas terkenal. Kalau kamu bisa menjadi lulusan universitas terkenal, kamu bisa mudah mendapat pekerjaan.”
Dan anak-anak mereka pun mematuhi nasihat itu, persis sama seperti ayah dan ibunya yang juga mematuhi nasihat orangtua mereka dahulu. Anak-anak itu belajar dengan rajin, mendapatkan nilai yang tinggi, mereka masuk universitas yang baik, lalu lulus dan mulai mencari pekerjaan.
Siklus hidup orangtua mereka pun kembali diulangi—mendapat pekerjaan, mencari pendamping hidup, menikah, kontrak rumah, beli perabotan, beli kendaraan, kredit rumah, punya anak, membesarkan mereka hingga bersekolah, kemudian menasihati anak-anaknya dengan nasihat yang tak jauh berbeda dengan nasihat yang dulu mereka dapatkan dari orangtua mereka, “Hei Nak, belajarlah yang rajin, agar mendapat nilai yang tinggi. Kalau kamu dapat nilai tinggi, kamu bisa masuk universitas terkenal. Kalau kamu menjadi lulusan universitas terkenal, kamu bisa mudah mendapat pekerjaan.”
Dan anak-anak mereka pun mematuhi nasihat itu, dan kembali mengulangi siklus hidup orangtua mereka, untuk kemudian mewariskannya lagi pada anak-anak di generasi selanjutnya.
Baca lanjutannya: Meluruskan Pola Pikir Keliru Terkait Kehidupan (2)