Prostitusi, Seks, dan Kepribadian Pria Penggunanya
https://www.naviri.org/2016/08/prostitusi-seks-dan-kepribadian-pria.html
Naviri.Org - Umumnya, praktik prostitusi atau jual beli seks dilarang di berbagai negara di dunia. Meski begitu, praktik prostitusi tetap ada di hampir semua negara, meski dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Empat negara yang dianggap memiliki tingkat prostitusi tertinggi di dunia adalah Cina, Spanyol, Jepang, dan Amerika.
Havoscope, sebuah agency yang mengumpulkan data pada aktivitas pasar gelap, melakukan penelitian yang mengungkap penghasilan para pekerja seks di berbagai negara. Dalam indeks yang diungkap Havoscope, Cina menempati peringkat tertinggi dalam dunia prostitusi, dengan total uang yang berputar di dalamnya mencapai 73 miliar dollar AS per tahun. Spanyol menempati urutan kedua, dengan total uang sejumlah 26,4 miliar dollar AS per tahun, sementara Jepang di urutan selanjutnya dengan pengeluaran 24 juta dollar AS per tahun.
Bagaimana dengan Indonesia? Meski menyatakan melarang praktik prostitusi, tapi nyatanya aktivitas jual beli seks tetap dilakukan di Indonesia, meski secara sembunyi-sembunyi. Beberapa waktu lalu, misalnya, kita dikejutkan dengan berita mengenai prostitusi artis yang bahkan melibatkan uang dalam jumlah sangat besar. Ilustrasi itu menunjukkan kalau prostitusi memang industri yang subur.
Lalu bagaimana dengan para konsumennya? Meski sebenarnya ada wanita yang menjadi konsumen bisnis prostitusi, namun sebagian besar konsumen jual beli seks adalah kaum pria. Pada 2015, para peneliti di University of California, Los Angeles, melakukan penelitian menyangkut hal ini, dan menemukan fakta bahwa para lelaki yang membeli seks di dunia prostitusi bukan semata orang-orang kesepian.
Dalam studi yang dilakukan, para peneliti membandingkan 100 pria yang melakukan aktivitas prostitusi dan 100 pria yang tidak pernah berhubungan dengan praktik prostitusi. Hasilnya, peneliti menemukan bahwa para pria yang terlibat dalam praktik prostitusi memiliki perilaku agresif seksual yang lebih tinggi. Mereka juga cenderung antisosial, tidak melibatkan perasaan ketika bercinta, dan cenderung mengekspresikan maskulinitasnya secara keliru.
Melissa Farley, direktur Prostitution Research and Education, menyatakan, “Hasil studi ini bisa mengubah mitos yang menyebutkan pembeli seks cuma pria biasa yang frustasi secara seksual.”
Tiga tahun sebelumnya, pada 2012, ada penelitian serupa yang menemukan bahwa para pria yang menjadi konsumen seks berbayar umumnya memiliki kebutuhan intimasi emosional. Dalam penelitian itu, para peneliti meneliti 394 pria yang terlibat dalam percakapan di situs The Erotic Highway, sebuah serikat internasional untuk “penghibur erotis”.
Hasilnya, sekitar sepertiga pria yang melakukan percakapan itu diketahui memiliki “romantisme yang terbatas atau koneksi emosional kepada pekerja seks, atau sebaliknya murni hanya menginginkan fisik para pekerja seks.” Para peneliti juga menemukan bahwa sebagian pria itu memiliki sikap negatif terhadap pekerja seks, meski ada pula dari mereka yang tampaknya menghormati wanita-wanita pekerja seks tersebut.
Beberapa pria terkadang memiliki hubungan emosional yang mendalam, hingga memperkenalkannya pada keluarga mereka, atau bahkan sampai meninggalkan istri karena terpikat pada PSK.
Uraian di atas terkait dengan sisi psikologis. Namun urusan prostitusi tidak hanya terkait dengan urusan psikis, namun juga fisik. Bagaimana pun, praktik prostitusi dipercaya memiliki dampak terhadap kesehatan, khususnya pada pria konsumennya. Jika si pria telah memiliki pasangan tetap atau istri, maka pasangan atau istrinya pun rentan ikut terkena dampak tersebut.
Dampak kesehatan yang paling jelas adalah risiko terinfeksi penyakit menular seksual, khususnya bagi mereka yang tidak menggunakan kondom, atau yang melakukan seks berganti-ganti pasangan. Dalam hal ini, sebuah penelitian mengungkapkan bahwa semakin berumur pria pengguna jasa prostitusi, semakin malas mereka mengenakan kondom.
Upaya melarang atau memberantas praktik prostitusi, meski telah dilakukan sejak lama, nyatanya sulit untuk mewujudkannya. Bagaimana pun, prostitusi selalu ada, meski di negara yang jelas melarang sekali pun. Karenanya, dalam menghadapu kenyataan semacam itu, ada beberapa hal yang direkomendasikan untuk para pembuat kebijakan, dalam upaya untuk menurunkan risiko penularan penyakit.
Para pakar dari WHO, misalnya, menilai pendekatan dekriminalisasi pekerja seks dapat memberi manfaat bagi semua pihak yang terlibat. Melegalkan prostitusi dengan cara membuat lokalisasi juga dinilai bisa membuat pemerintah lebih mudah mengontrol, terutama dalam upaya pencegahan infeksi menular seksual.
Penelitian di UCLA pada 2014 juga menemukan bahwa langkah-langkah tersebut dapat mengurangi penularan infeksi menular seksual secara dramatis pada masyarakat umum. Hal itu dibuktikan di Rhode Island yang telah melegalkan prostitusi selama 6 tahun dari 2003-2009. Dalam jangka waktu tersebut, ada sekitar 2.000 kasus gonorea pada “pasar” seks, yang telah teridentifikasi. Kenyataan itu bisa sulit dilakukan jika Rhode Island melarang praktik prostitusi, dan para penggunanya melakukan secara sembunyi-sembunyi, sehingga proses identifikasi sulit dilakukan.