Kisah Terindah di Dunia (9)
https://www.naviri.org/2016/08/kisah-terindah-di-dunia-9.html
Naviri.Org - Waktu itu, Amina telah berusia 20 tahun. Di Pekalongan pada tahun 1956, seorang perempuan akan disebut perawan tua bila belum menikah sementara usianya telah melewati 17 tahun. Begitu pula dengan Amina. Mulai timbul gunjingan. Mulai muncul tatapan tidak menyenangkan—dan Amina menyadari hal itu. Saat ia berusia 18 tahun, Amina masih dapat mengharapkan seseorang, karena ia masih memiliki Nazar yang ia harapkan akan menikahinya, menjadi suaminya, namun sekarang Nazar menghilang, dan Amina tak tahu sekarang ia harus mengharapkan siapa—atau merindukan siapa.
“Sesuatu yang paling rapuh seringkali adalah hati manusia. Setiap saat, bahkan setiap detik, hati manusia dapat berubah—dan kita tak pernah tahu.”
Sekarang Amina memahami ucapan ibunya itu. Bahkan ia tak pernah tahu hati kekasihnya. Ia tak pernah dapat memastikan isi hati kekasihnya meski ia telah merasa begitu dekat dengannya. Dan jika memang hati sebegitu rapuhnya, barangkali begitu pula dengan hati kekasihnya. Mungkinkah ia sekarang telah melupakan Amina? Dan mendapatkan penggantinya...?
“Kau memang punya hak untuk melupakannya atau untuk terus mengingatnya. Tetapi kalau itu adalah pilihan, kau tentu bisa memilihnya. Kita selalu punya pilihan, dan hidup kita ditentukan oleh pilihan itu. Begitu pun denganmu.”
Ya, Amina menyadari bahwa ia selalu memiliki pilihan. Dan ia harus memilihnya. Dan sekarang ia memilih untuk melupakan kekasihnya. Mengapa harus terus mengingat seseorang yang telah melupakannya?
Maka pada tahun 1957, Amina pun lalu menikah. Pernikahan itu terjadi karena desakan dari kedua orangtuanya yang terus-menerus meminta agar putri mereka segera menikah untuk menghentikan gunjingan tetangga. Seorang perempuan berusia 20 tahun belum menikah—benar-benar sesuatu yang tak pantas.
Lelaki yang kemudian menjadi suami Amina adalah Basir, seseorang dari kampung sebelah, berusia 30 tahun. Sesungguhnya, Basir adalah lelaki yang baik, hanya saja ia memiliki cacat yang ia peroleh saat berperang melawan penjajah ketika tentara Jepang menyerbu kota Pekalongan.
Basir ikut berperang bersama pejuang Pekalongan yang lain untuk mengusir penjajah waktu itu, dan Basir tertembak tepat di matanya. Sejak saat itulah, satu mata Basir diangkat, dan ia kemudian hidup hanya dengan satu mata. Dan dengan lelaki inilah, Amina kemudian menikah.
Acara perkawinan mereka diadakan secara sederhana di halaman rumah orangtua Amina, dan saat mereka disahkan menjadi suami-istri, diam-diam Amina berdoa agar dapat melupakan Nazar—agar ia dapat berbakti dengan sepenuh hati pada suaminya, juga agar ia dapat mencintainya dengan sepenuh hati.
Doa Amina terkabul. Perlahan namun pasti, Amina mulai dapat melupakan Nazar seutuhnya dan mulai dapat belajar mencintai suaminya dengan sepenuh jiwa raganya.
Dan tahun-tahun pun berganti.
Baik Amina maupun Basir, suaminya, sangat mengharapkan kehadiran seorang anak, namun rupanya Tuhan tak juga mengabulkan keinginan mereka. Lebih dari tujuh tahun mereka menikah, namun Amina tak juga mengandung—tetapi Basir tetap menyayanginya. Mereka tak pernah bosan untuk berdoa, meminta agar dikaruniai keturunan, seorang anak—tak peduli lelaki ataupun perempuan. Namun langit seperti tak mendengar.
Dan mereka terus berdoa.
Sepuluh tahun setelah mereka menikah dan setelah doa-doa yang setiap hari mereka panjatkan sepertinya telah menggumpal dan mengkristal di pintu langit, barulah doa-doa mereka terjawab. Amina mulai mengandung, dan pasangan suami-istri itu merasakan kebahagiaan yang luar biasa. Dan tepat pada tanggal 7 Juni 1967, lahirlah seorang anak perempuan yang kemudian diberi nama Karima.
Bersambung ke: Kisah Terindah di Dunia (10)