Kisah Terindah di Dunia (6)
https://www.naviri.org/2016/08/kisah-terindah-di-dunia-6.html
Naviri.Org - Ibu Nazar beberapa kali menasihati anak lelakinya itu untuk mengalah, namun Nazar sepertinya terlalu keras kepala. Untuk beberapa hal lain dia telah berulang-ulang kali mengalah demi keegoan ayahnya yang terlalu besar, namun untuk hal menyangkut Amina, Nazar tahu bahwa dia tak bisa mengalah dan menuruti kehendak ayahnya yang membuta. Dia mencintai Amina, dan apabila Nazar harus terpaksa untuk memilih Amina atau ayahnya, Nazar tahu bahwa dia akan memilih Amina—apapun risikonya.
Amina tahu soal pertengkaran kekasihnya dengan ayahnya itu—dan ia pun tahu bagaimana ayah Nazar menentang hubungan mereka—Nazar telah menceritakan segalanya kepadanya.
“Aku sedih kau harus menghadapi kenyataan seperti ini,” bisik Amina suatu malam di balik dinding kamar saat Nazar menggenggam jarinya melalui lubang di dinding kayu kamarnya seperti biasa.
“Aku akan lebih sedih lagi bila aku kehilanganmu, Amina,” bisik Nazar dari luar, dan Amina merasakan genggaman tangan kekasihnya terasa lebih erat di jarinya.
***
Sudah satu minggu itu ayah Nazar tidak pulang ke rumah. Ini tidak seperti biasanya. Nazar memang terkadang mendapati ayahnya pergi, dan baru pulang setelah tiga atau empat hari, namun baru sekaranglah sang ayah pergi sampai satu minggu lamanya. Didorong oleh rasa penasarannya, Nazar pun mencoba menanyakan hal itu pada ibunya, namun sang ibu pun tidak tahu.
“Ayahmu biasa pergi tanpa pamit, dan Ibu tak tahu kemana sekarang ia pergi,” jawab ibunya saat ditanya mengenai hal itu. “Mungkin sekarang ayahmu sedang ada urusan dengan orang di kota lain.”
Semenjak mengalami perubahan hidup setelah kekayaan mereka disita pemerintah, ayah Nazar memang tidak mau bekerja sebagaimana orang-orang di kampung mereka, namun berkat hubungannya yang cukup luas dengan banyak orang yang telah ia jalin semenjak masa penjajahan, ayah Nazar pun beberapa kali menjadi perantara penjualan beberapa tanah dan bangunan, dan ia memperoleh kentungan yang cukup besar dari usahanya itu. Sekarang pun mungkin ayahnya tengah dalam usaha penjualan tanah seperti itu, dan Nazar maupun ibunya pun berpikir begitu.
Sembilan hari kemudian ayah Nazar baru pulang ke rumah kembali, dan senyum nampak menghias di bibirnya. Nazar berpikir kalau ayahnya mungkin memperoleh keuntungan yang sangat besar dari usahanya seperti biasa, namun ia tak mau repot-repot menanyakannya. Perang dingin dengan ayahnya belum berakhir.
***
Siang itu, seperti biasa, Nazar menghentikan pekerjaannya ketika sudut matanya menangkap bayangan seseorang yang tengah berjalan di pematang sawah. Amina. Nazar berdiri di bawah terik matahari, menatap Amina yang berjalan dengan ceting di gendongannya.
Amina nampak menghentikan langkahnya. Setelah menengok kanan kiri dan terlihat orang-orang yang lain sedang sibuk dengan pekerjaannya masing-masing, Amina melambaikan tangannya ke arah Nazar. Nazar segera bergerak dan mendekati tempat Amina berdiri.
“Besok malam di kampung sebelah ada yang menggelar layar tancap,” bisik Amina saat Nazar telah berdiri di hadapannya. “Kau tahu?”
Nazar menggeleng. Namun ia memahami maksud kekasihnya. “Aku akan datang ke sana. Dimana kita bisa bertemu?”
“Seorang kawanku mengenal anak tuan rumahnya. Aku dan kawan-kawanku mungkin akan berkumpul di rumahnya.”
Nazar mengangguk. “Aku pasti datang.”
***
Namun ternyata Nazar tak pernah datang. Besok malamnya, ketika Amina dan kawan-kawannya berkumpul di rumah orang yang menggelar layar tancap itu, Amina begitu gelisah menanti kedatangan kekasihnya, namun Nazar tak pernah datang menemuinya. Belum pernah Nazar tak menepati janjinya, dan itu membuat Amina gelisah setengah mati. Apa yang terjadi pada kekasihnya itu hingga ia terlupa untuk menemuinya seperti yang telah dijanjikannya?
Bersambung ke: Kisah Terindah di Dunia (7)